Banten
Banten: Hukum dan Politik
Oleh: (@IndraJPiliang) Indra Jaya Piliang
Ketua Departemen Kajian dan Kebijakan DPP Partai Golkar
Sebagai rangkaian tulisan, tentulah artikel ini tidak terlepas dengan artikel sebelumnya: “Banten, Partai Golkar dan Pemilu 2014). Bagaimanapun, sebagai pelaku politik aktif, pandangan dari dalam (view from within) diperlukan. Saya tentu tidak ingin membuat polemik. Kalaupun terjadi, justru menarik. Tetapi mendudukkan persoalan pada tempat yang semestinya memerlukan kesungguhan. Bukankah kita ingin politik adalah pengejawantahan dari nilai-nilai yang ideal di masyarakat? Politik yang tidak sekadar gerutuan. Politik yang tentu tidak bekerja di ruang hampa. Politik yang dilingkupi oleh banyak faktor.
Banten hanyalah contoh kasus. Tentu banyak kasus yang lain, baik besar ataupun kecil. Kasus penyuapan, misalnya, terjadi dalam kasus kecil sampai besar, dari pengurusan izin, tertib lalu lintas, sampai kepada upaya mendapatkan konsesi dan proyek multinasional. Sikap kita tentulah membersihkan Indonesia dari seluruh perilaku korupsi yang terjadi. Namun sikap itu memerlukan kejelian juga dalam membaca persoalan. Tidak asal tuduh, apalagi teriakan yang bergelora atas nama kepedulian. Atau atas nama orang kaya versus orang miskin sebagai benturan kepentingan.
Para penyidik memiliki tugas besar dalam melakukan pekerjaannya. Dalam kasus korupsi, misalnya, minimal harus terdapat dua alat bukti sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka. Penyidik tidak boleh bersikap menurut tekanan pejabat yang lebih tinggi atau rakyat yang lebih rendah. Termasuk tekanan publik, tentunya. Sebertubi-tubinya publik melakukan tekanan, sebelum penyidik benar-benar menemukan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan di pengadilan, sikap profesional diperlukan. Bukankah ada prinsip, lebih baik melepaskan seribu orang yang bersalah dari penjara, ketimbang memasukkan seorang yang tidak bersalah atas titah hakim?
Kita sama-sama melihat bagaimana mesin opini digerakkan untuk menunjukkan kesalahan dan kelemahan pemerintahan Gubernur Ratu Atut di Banten. Lambang Partai Golkar ditaruh di setiap sisi negatif, sebagai unsur ikutan. Penolakan terjadi atas kehadiran Ratu Atut di panggung publik, dalam rupa yang berjarak dengan rakyat. Masalahnya, Ratu Atut masih merupakan Gubernur Banten yang sah menurut hukum dan perundang-undangan. Tugas itu ia emban sesuai dengan keputusan yang sudah diambil menurut undang-undang.
Hukum
Ketika ada upaya menghambat kinerjanya sebagai Gubernur, apakah tindakan itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum? Ataukah hanya menjadi bagian dari upaya politisasi yang mengandung bias? Benar, ada ruang bagi sikap protes di negara ini. Ada ruang untuk kritik. Tetapi ketika ruang itu berisi kalimat-kalimat makian, politik berubah menjadi pergumulan dendam. Ide terinjak di bawah sepatu kaum demonstran. Hukum juga menjadi pajangan, ketika hak seseorang yang dikenakan tuduhan dihilangkan sama sekali berdasarkan opini.
Politisasi di sini terkait dengan kekalahan atau kemenangan dalam kontestasi politik. Di negara demokrasi, kesempatan adalah kata yang perlu diungkap, ketika seseorang sudah dilantik menjadi pejabat negara (pemerintahan dalam arti khusus). Kesempatan itulah yang digunakan untuk mewujudkan program dan janji kampanye yang sudah dimasukkan dalam bingkai hukum. Ketika Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun, misalnya, itu bagian dari upaya menjalankan roda pemerintahan. Apabila RAPBD itu diganggu hanya karena ada kasus hukum yang sedang berproses dan berjalan, kepentingan yang lebih besar diabaikan.
Tanpa pengesahan RAPBD menjadi APBD, akan sulit bagi Banten untuk menjalankan roda pemerintahan. Tanpa pengesahan RAPBD menjadi APBD, pemerintahan bekerja berdasarkan anggaran tahun sebelumnya yang sudah terpakai. Baru saja kita saksikan bagaimana rumitnya persoalan ini, ketika terjadi government shutdown. Di Amerika Serikat, government shutdown ini sudah terjadi sebanyak 18 kali, sejak tahun 1976. Para pegawai pemerintah dirumahkan. Walau akhirnya ada akhir dari konflik antara pemerintah dan DPR, tetap saja memiliki pengaruh kepada perjalanan pemerintahan secara keseluruhan.
Hukum tentu menjadi panglima besar dalam seluruh proses. Hukum bekerja bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Hukum juga memberikan hak kepada pihak yang dijadikan sebagai saksi, tersangka, bahkan terpidana sekalipun. Hukum tidak mengambil seluruh hak yang dimiliki oleh seseorang, baik dalam kapasitas sebagai warga negara, maupun dalam kapasitas sebagai penyelenggara negara. Kecuali hukuman mati yang mengambil hak hidup seseorang, jenis hukuman yang lain masih memberikan ruang dan nafas lain untuk bekerja.
Bahwa penyelewengan kekuasaan wajib diusut, betul. Bahwa potensi penyelewengan kekuasaan juga patut dicurigai, juga betul. Demokrasi adalah tindakan mencurigai para penguasa yang tidak bekerja berdasarkan kehendak dan aspirasi rakyat. Demokrasi adalah pikiran yang terus-menerus kritis dan skeptis kepada siapapun yang dinamai sebagai penyelenggara negara. Ketika tangan-tangan penguasa lebih sibuk memoles gincu di bibirnya, atau memandang raut mukanya sendiri, saat itulah protes perlu digerakkan. Tetapi bukan berarti juga tidak ada ruang untuk para penguasa memanjakan dirinya, di tengah himpitan pekerjaan yang menumpuk.
Politik
Politik jarang dimengerti sebagai satu hal yang positif. Ini terjadi akibat pembungkaman atas demokrasi dalam waktu yang lama, sejak pra kolonial, kolonial dan era demokrasi semi diktatorial pasca kemerdekaan. Politik kehilangan elan sebagai sikap mental untuk terus-menerus menggali dan menyigi permasalahan dasar sebagai bangsa, lalu dicarikan solusi dalam bentuk kebijakan. Dan masalahnya, sedikit sekali warga masyarakat yang memiliki ketertarikan. Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menunjukkan bahwa hanya 37% masyarakat Indonesia yang tertarik atau sangat tertarik dengan politik dan pemerintahan.
Konstalasi politik tidak hanya berputar di dalam diri penguasa. Tetapi juga beredar di seputar panggung. Ada yang bertugas bertepuk tangan, ada yang jadi sutradara, namun ada juga yang hanya memainkan sorot lampu. Dalam bahasa yang lebih jelas, setiap penyelenggara negara juga diintari oleh kelompok lain. Kita sebut saja kelompok penekan (pressure group) atau juga dikenal sebagai advocacy group, kelompok kepentingan (interest group) dan sebagainya. Terdapat juga apa yang dikenal sebagai masyarakat sipil (civil society) dan komunitas ekonomi (bussiness community). Segala kepentingan bertarung atas nama publik.
Masalahnya, per definisi, perlu ada upaya membuat satu garis yang jelas. Interest group atau pressure group, misalnya, sama sekali bukan pihak yang mengajukan kandidat dalam sebuat kompetisi politik. Mereka sama sekali melepaskan diri dari para pihak yang berkepentingan dengan pemilu, menjaga jarak, serta bersikap independen dalam banyak hal. Track record menjadi penting di sini. Untuk kasus Banten, misalnya, mereka tentu bukan pendukung, pengusung ataupun tim sukses yang berada dalam salah satu pihak dalam pilkada. Di luar itu, catatan advokasi mereka tercatat terus, sekalipun pemerintahan silih berganti.
Pakem-pakem itu yang sama sekali belum terlihat dengan jelas. Masih banyak ucapan-ucapan sinis yang dialamatkan kepada partai tertentu, sembari menutupi kiprah partai yang lain. Bahkan terdapat riwayat yang jelas keiikutsertaan dalam tim-tim pemenangan, bahkan menjadi peserta pemilihan. Di sinilah perspektif menjadi bias. Yang terjadi bukanlah advokasi berupa usulan kebijakan, legislasi ataupun pengawasan, melainkan terjebak dalam blok-blok kepentingan yang bermuara kepada perebutan kekuasaan dalam wajah lain.
Sejak awal saya sudah mengingatkan pentingnya setiap rezim pemerintahan daerah untuk memberi ruang kepada pressure group atau interest group untuk mengambil peran. Tidak terkecuali di Banten. Setiap rezim tidak bisa menutup diri dari apa yang berkembang di publik. Dalam negara-negara demokrasi yang sudah mapan, sudah hukum alam ketika kian sedikit orang memasuki partai-partai politik, lalu lebih banyak bergabung dalam kelompok-kelompok penekan dan kelompok-kelompok kepentingan. Jadi, tidak mengherankan kalau partai politik lebih banyak hadir pada saat pemilu saja, terutama akibat keterbatasan dalam banyak hal.
Ke depan, tentu perlu dibuatkan forum yang secara rutin melibatkan pelbagai kalangan untuk secara terbuka membicarakan masalah-masalah di Banten. Tentu bukan forum mengambil keputusan, melainkan untuk mengkontestasikan ide-ide yang relevan bagi kepentingan masyarakat Banten secara luas. Sehingga, rezim pemerintahan perlu membuka dirinya. Sebaliknya, pihak di luar pemerintahan juga menunjukkan itikad untuk memperbaiki keadaan, sebagai pihak yang mengajukan usulan-usulan yang belum tentu bisa diterima seluruhnya. Di sinilah kedewasaan berpolitik berbicara, dalam panggung yang sejajar, sesuai dengan peran masing-masing…
Jakarta, 25 November 2013