Serba-Serbi
Cerita Lengkap “Layangan Putus” Mommi Asf Part 1
16.32
“mommi aku mau kumon habis ini.” ucap anak sulungku.
Aku menatapnya sedikit tak percaya
“abang ngga capek sayang?”
“engga kok, kan aku kumon kan? Matematika ya mommi?”
Aku tersenyum mendengarnya.
Kita masih setengah perjalanan menuju rumah dari sekolah.
Amir anak sulungku genap berusia 8 tahun awal bulan ini. Sekarang dia sudah duduk dikelas 2 sekolah dasar. Tahun lalu dia memang mengambil kelas bahasa inggris dan matematika di kumon. Namun kami putuskan untuk berhenti mengambil subjek Bahasa inggris karena Amir lebih tertarik belajar di English First.
Lembaga les bahasa asing yang menitik beratkan pada latihan percakapan menggunakan bahasa inggris. Tak berselang lama matematika pun harus dihentikan, sebab bertabrakan dengan jadwal sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler.
Tetapi hari minggu kemarin, kudampingi dia mengerjakaan PR di buku tematik.
Amir terlihat kepayahan dalam menyelesaikan soal matematika.
Padahal saat masih belajar di kumon dia sangat lancar menjawab hitungan sederhana.
Iseng aku tawarkan untuk kembali mengambil bimbingan matematika di kumon, dengan catatan berhenti sejenak les di EF, dengan tidak mengambil term selanjutnya.
Selain karena sisa waktu nya yang terbatas aku juga mengkhawatirkan biaya nya.
Ternyata respon nya cukup baik, terbukti dia menanykan hal ini.
“abang hari ini belum kumon dulu, mommi kan belum daftar ulang, insyaalloh bulan depan ya, doain mommi ada rejeki untuk bayar les kumon nya ya”
“hmm mommi gak punya uang ya?” pertanyaan polos nya membuat aku tersenyum. Tersirat dari ucapan nya, dia mengerti kondisi keuangan kami tidak sebaik tahun tahun sebelumnya,
juga ada rasa ngilu karena apa yang diucapkan Amir ada benarnya.
“mmm sekarang beluum.. belum loh bukan TIDAK ada.. kalau buat belajar nya abang, mommi yakin nanti akan ada uangnya.”
Dia mengangguk dan kembali mengikuti lantunan murottal Ibrahim el-haq dari audio mobil.
16.55
45 menit kami berkendara akhirnya sampai dirumah. Kuparkir dengan rapi dan kumatikan mesin mobil.
“abang mandi ya sayang.. seger segerin badanya, istirahat sebentar, sambil siap siap ke masjid ya.
Mommi mau bangunin adek ya..”
Amir turun dari mobil dan masuk ke dalam kerumah, sementara aku membangunkan pelan Arya yang tertidur di kursi belakang.
Kukeluarkan barang barang bawaan sekolah anak anak yang masih tertinggal di mobil seraya menggendong putra kedua ku.
Disambut Abi, putra keempatku dari dalam rumah, “mommi….” Dengan membuka kedua tanganya, ia meminta ku peluk.
Aku memang mengajarkan anak anaku setiap kali berjumpa harus saling peluk.
Ya kami adalah team hugger.
Tapi kali ini di dekapanku ada Arya, sehingga aku hanya menyambut Abi dengan senyuman dan mimik bahagia.
“Adeeeek… sini sini sini” kuarahkan ia ke sofa ruang tamu, ku letakan pelan Arya yang juga mulai terjaga, kemudian ku dekap erat Abi.
“assalamualaikum sayang…” kuhujani pipinya dengan ciuman bertubi tubi.
“mmmmmmmhhhuuuaaahhh…. “ ia pun membalas mencium pipiku..
Arya yang sudah terbangun kupinta segera menyegarkan diri.
“Alman ngaji mba?” kutanya asisten rumah tanggaku yang sibuk merapikan tas anak anak.
“iya bu..” jawab nya singkat dan berusaha mengajak Abi main keluar
“ayok Abi, main sepeda … biar mami mandi dulu ya”
18.09
Adzan magrib berkumandang. Alman anak ketiga ku pulang kerumah setengah jam yang lalu, ia bersemangat menemuiku dan memamerkan hasil tulisan arab nya yang di nilai 90 oleh guru mengajinya. Bahagia itu sederhana.
Dia senang sekali mendapat hadiah permen dari ustadzah karena sudah berhasil menghapal surah AL Asr.
Amir, Arya, dan Alman berlomba meraih tanganku untuk berpamitan, bergegas menuju mushola dan berlari, berlomba siapa yang lebih dulu sampai untuk menunaikan ibadah sholat maghrib.
Haru bahagia menyeruak ke dadaku.
MasyaAlloh.
Bahagia itu sederhana.
Bersambung….
Lanjutan:
Mushola memang tak berjarak jauh dari rumah.
Hanya terhalang satu rumah dari tempat kami tinggal.
Anak anak sudah biasa berangkat sholat dan mengaji sendiri.
Ini salah satu yang membuat aku terus berusaha mempertahankan rumah ini. Lokasi mushola yang sangat dekat dari rumah dan rasa kekeluargaan yang sangat erat antar tetangga ditengah keberadaan minoritas kami, menjadikanku sangat nyaman dan betah disini.
19.58
Anak anak masih belum pulang dari mushola, mereka mengerjakan sholat isya disana.
Arya memang tidak pulang sedari magrib tadi, berbeda dengan kakak dan adeknya. Amir dan Alman memilih makan malam selepas magrib di rumah.
Sedangkan Arya di hari senin dan kamis terbiasa ikut buka puasa sunnah bersama di mushola.
Kulipat mukena dan sajadah ku, kurapikan tempat tidur kami.
Geruduk geruduk duk duk..
Langkah kaki anak anak berlomba menaiki tangga menyerbu masuk kekamarku
“assalamualaikum…” teriak mereka hampir bersamaan. Masing masing antri memelukku.
“mommi tadi makan nya pakai sateeee” laporan Arya.
“hooo abang Arya tadi gak pulang setelah magrib makan di mushola toh?” aku pura pura tidak tahu
“iyaa ini kan senin”
“hooo iya ya hehe.. mommi ga dibawain sate nih?” ucapku menggoda nya
“weeee ga boleeh.. kalau mau mommi ke mushola aja besok besok” aku hanya tersenyum mendengarnya.
Kupinta mereka segera berganti baju, bersikat gigi dan pipis.
Kutanya mereka apakah ada tugas sekolah atau tidak. Kompak semua menjawab tidak ada.
Jadi kami habiskan malam itu dengan bermain di Kasur, mencoba jurus asal asalan ala boboiboi, kartun kesukaan mereka yang berasal dari negeri seberang. Hingga waktu nya tidur tiba, pukul 21.00.
Tak jarang waktu tidur akan tiba lebih awal kalau salah satu diantara mereka mengalami ‘kecelakaan’ dalam bercanda.
Signal kecelakaan muncul jika salah satu atau dua atau tiga atau bahkan keempatnya menangis.
22.54
Kupandangi wajah mereka satu satu, terlelap dalam ketenangan malam.
Kuciumi mereka dan terus kubisiki kata maaf. Kuusap rambut mereka perlahan, kembali kata maaf yang terucap untuk mereka.
Aku, 32th, perantauan dari pelosok daerah.
Hidup di bali sudah 14 tahun. Aku menjalani Pendidikan dokter hewan di universitas negeri Udayana tahun 2004. Pulang kampung 2011 hanya untuk menikah, kemudian kembali ke bali karena suamiku bekerja disini. Suamiku, yang kini sudah resmi menjadi mantan. Perbedaan umur 7 tahun bukan jaminan sebuah hubungan akan berjalan tanpa hambatan.
Aku resmi menjadi janda setelah 8tahun pernikahan. Walau aku sudah menemaninya dari tahun 2005. Total aku mengenalnya adalah 14 tahun. Pernikahan kami menghasilkan 5 orang anak. Anak bungsuku meninggal saat kulahirkan 4bulan lalu.
Istigfar tak lepas dari bibir dan hatiku, kupandangi terus wajah anak anakku, kuucapkan maaf di sela sela istigfarku.
“Maafin mommi ya nak, semua tidak akan mudah seperti dulu, kita belum bisa liburan, kemping bersama, membuat api unggun, membakar kayu.. untuk sekarang.. tapi Alloh pasti beri jalan.. pasti kalau kita mau bersabar kita akan liburan kemanapun abang mau..” lirih kubisikan ke telinga Amir, kuciumi pelan pipinya
“Arya anak sholeh, hari kamis puasa sunnah beneran ya nak, insyaAlloh robot yang Arya mau akan ada jalanya nanti kita beli, semangat hapalan quran ya sayang.. mommi minta maaaf Arya belum bisa beli mainanya sekarang ya” kusapu lembut pipinya yang basah terkena airmataku.
Tak terasa aku menangis..
“mommi minta maaaaaaaf ya adek,, adek kangen daddy insyaAlloh ketemu weekend ya nak..
doakan daddy sehat ada waktu untuk main lagi sama Alman ya” kali ini aku terisak pelan..
kutahan sesenggukku karena Alman merespon dengan mengubah posisinya.
Aku takut membangunkanya.
Teringat pertemuan terakhir mereka, Alman menangis mendengar suara mobil daddy nya pergi.
Terakhir Abi.. hanya pelukan yang sanggup kuberikan pada bayiku yang masih berusia 2 tahun ini.
Kuciumi ubun ubun nya. Sambil kutiup pelan dan kusematkan doa “Robbi habli minash sholihiin” berulang kali.
Istigfar berulang ulang kali kulantunkan.
Teringat spp Salman yang belum kulunasi.
Dan siang ini aku mendapat surat cinta dari PLN.
Bersambung……