Serba-Serbi
Cerita Lengkap “Layangan Putus” Mommi Asf Part II
Seorang petugas menaruh surat peringatan akan adanya pemutusan sementara aliran listrik bila tidak segera melakukan pembayaran.
Berbagai kekhawatiran melintas dipikiran.
Seperti layangan putus, rasanya badan ini pengen oleng mengikuti kemana angin bertiup.
‘Grooook…fiuuuhhh…ggrrkkk…fuuuuh..’ suara dengkuran abang Amir membuyarkan lamunanku
‘astagfirullah wa atubu illaih….’ Aku keraskan dzikirku, ku sadarkan diriku,
‘astagfirullah…’ ku lihat kembali malaikat malaikat mungilku satu persatu.
Aku punya Alloh untuk bersandar, tidaklah aku harus panik.
Daddy mereka boleh saja memutus komunikasi dengan ku, ibu dari anak anaknya, bersikap acuh dan mencabut segala fasilitas dirumah ini, menghapus supir untuk anak anak, dan tidak mau mensuport biaya hidup anak anak, biaya pendidikan dan kesehatan.
Aku punya Alloh untuk bersandar.
Aku punya Alloh untuk meminta dan memohon.
Anak anakku akan jadi anak bahagia yang sukses dunia dan akhirat.
Kutatap wajah wajah polos mereka yang tanpa dosa, suatu saat nanti mereka akan menjadi orang orang hebat yang menerangi dan bermanfaat orang orang disekelingnya dimana pun mereka berada.
Aku hapus airmataku, kuteguk air putih yang memang sudah disiapkan embak ku setiap hari sebelum kami menuju tidur. Berjalan aku menuju kamar mandi dan berniat melakukan sholat sunnah 2 rakaat sekadar untuk curhat dengan Alloh.
Tapi sebelum sampai kamar mandi langkahku terhenti melihat ponsel ku bergetar.
Ah panggilan dari nomor tak dikenal.
Kulihat jam sudah menunjukan hampir tengah malam.
Aku memilih tidak mengangkat telepon dari nomor tak dikenal diwaktu menjelang tengah malam.
Kulanjutkan menuju kamar mandi.
Kutunaikan niatku untuk sholat sunnah.
Berlama lama aku sujud memohon ampun, curhat kepada sang pencipta. Sajadahku basah oleh airmata.
03.10
Aku terbangun dari sajadahku, tergopoh mendatangi Abi dan mengambil botol kosong, kuisi segera dengan susu UHT yang sudah tersedia di meja samping tempat tidur.
Ku berikan ke bibir mungilnya, seketika tangisnya berhenti. Aku bersiap melanjutkan tidur, ku cari dulu ponselku karena ingin memundurkan alarm subuh.
Aku ingin istirahat lebih lama karena kurasakan kepala ini masih sakit akibat menangis semalam, dan sepertinya mataku bengkak.
‘neneeeeeeeek im coming home! C u next week di bali! Sambut gue dengan tari hula hula.
lets start some business.
I love you’ isi pesan singkat dari nomer handphone itu.
Ternyata semalam telepon dari Dita.
Sahabatku saat kuliah dulu.
Dia memang mengabarkan akan kembali ke Indonesia setelah bekerja sebagai dokter hewan di Canada selama dua tahun.
‘Alhamdulillahilladzii bini’matihi tatimmusshoolihaat’
Dita mungkin bukan jawaban dari segala permasalahanku, tapi pesan singkat nya tidak mungkin sebuah kebetulan. Allah yang Maha Baik yang mengatur segala pertemuan dan perpisahan.
Melalui pesan nya Dita membangkitkan semangatku.
Bismillah, kedukaanku hari ini bukanlah akhir dunia.
Dengan menyebut nama Alloh kupeluk Abi yang masih sibuk menyedot botolnya sambil terpejam.
Kupasrahkan hidup dan matiku esok pada hanya kepada Alloh pemilik alam semesta.
——
19 september 2019
Lembar putusan pengadilan agama mengenai perceraian sudah kuterima. Aku hela nafas panjang. Lega, sedih, sesak, bercampur di setiap hembusan nafas. Aku baca lagi berulang.
“Alhamdulillah” batinku, berusaha menyempatkan untuk bersyukur dalam setiap keadaan.
Resmi sudah aku sendirian. Aku yang bertanggung jawab atas diriku sendiri, dan menanggung segala keputusan kedepan.
Seperti kehilangan satu kaki, aku berusaha tetap tegak melangkah. Pun selama setahun setengah menjalani poligami, yang aku rasakan memang kakiku sudah sakit sebelah. Ibarat dalam sisi medis, saran terbaiknya adalah mengamputasi kaki yang sudah luka dan membusuk. Sebelum menjalar menyakiti organ lainya.
Tin tiiin tiiiin
Klakson mobil dibelakang mengagetkanku, aku sadar dan memacu mobilku menuju rumah.
Aku bergegas mandi sesampainya dirumah. Jarang aku berlama lama di kamar mandi. Tapi, kali ini, aku betah berdiri dibawah kucuran air.
****
12 february 2018
Selesai subuh, aku mencari suami, ingin menggodanya. Semalam, ia tak masuk kamar melihatku, atau sebenarnya dia sudah melakukannya, saat aku tertidur lelap.
Kubuka kamarnya, sepi.
“Oh, mungkin belum pulang sholat subuh dari mushola,” batinku. Tapi, terlihat kamar masih rapi. Selimut terlipat, bantal dan guling masih tersusun. Tidak terlihat kasur yang habis ditiduri.
Aku bingung, suamiku tidak izin menginap di kantor. Kuambil ponsel dan menghubunginya. Tersambung, tapi tidak ada jawaban. Kuulangi hingga berkali kali . Nihil.
Kulihat jam sudah menunjukan pukul 6 pagi, langit sudah terang, gak mungkin dia di mushola selama ini. Aku mulai jengkel, kutelepon supir kantor. Kucecar Selamet dengan pertanyaan.
“Lho Mba, sampeyan kan, istrinya! Moso mas Arif ga ada ngabarin?” jawab Selamet kaget.
“Kemana dia?”
“Ga tau aku mba! Cuma nganter ke bandara tok wingi….”
Reflek kuperiksa brankas mini yang terletak dilemari. Pasportnya tidak ada. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.
Aku duduk dikamarnya mencari pentunjuk.
Semenjak anak keduaku lahir, memang suami lebih nyaman tidur dikamar ini. Kecil tapi tenang baginya, tidak terganggu suara tangis bayi.
Setiap pulang kantor seringnya malam hari, rutinitas kami adalah bercengkrama di ruang tv sampai lelah. Dia terkadang mengajakku bercerita di kamar ini sampai terlelap. Kemudian aku pindah ke kamar utama kami, karena di sanalah anak anak kami tidur. Arya masih sering terbangun tengah malam berteriak mencariku, minta dipeluk.
Kusadari kameranya tidak ada. Kemarin, dia memang pamit akan pemotretan untuk liputan motor BMW, karena itu, koper cabinnya yang berisi kamera dibawa serta.
Tak ada pikiran aneh Aku percaya semua kalimat suamiku. Tapi, kenapa dia pergi tidak jujur padaku! Kemana dia?
Aku ingat lagi, kemarin tidak ada yang aneh, tidak ada yang salah. Sebelum dia pergi dari rumah, kami bercumbu mesraaaa sekali. Hubungan kami bahkan sedang hangat hangatnya. Dia sering menggodaku belakangan ini. Dan aku sedang hobi mengumpulkan lingerie untuk menyenangkannya.
Kami sedang semangat berolahraga agar lebih fit. Sehingga Ranjang kami hidup sekali. Terlebih lagi, aku sangat percaya dia. Dia pemilik channel dakwah di youtube. Mas Arif paham, menyentuh lawan jenis adalah haram baginya. Bahkan, menundukan pandangan terhadap wanita non mahrom adalah kewajiban. Aku percaya betul suamiku.
Tapi, kemana dia?
*****
24 februari 2018
Hatiku berdebar menjemput suamiku dibandara. Akhirnya, setelah 12 hari pencarian, dia mengabarkan akan pulang. Mas Arif memintaku menunggu dirumah. Tapi rasa khawatirku memuncak sudah. aku tidak bisa duduk manis menunggunya di rumah. Segera kupacu mobil menuju bandara.
Teringat, 10 hari lalu, aku penuh kebingungan mencarinya, semua kemungkinan berkecamuk di kepalaku. Apakah ia pergi dari rumah tanpa kabar untuk jihad? Apakah ia ke timur tengah? Karena salah satu ustadz kenalan kami ada yang pernah mengajaknya meliput ke Suriah saat itu. Misinya untuk membuka mata dunia bahwa Suriah butuh pertolongan.
Kutangisi niatnya saat itu. Aku tak rela dia pergi ke timur tengah. Karena itukah, dia saat ini pergi tanpa pamit? Atau apakah dia bermasalah dengan pihak bea cukai dan kemudian ditahan? Atau dia sedang terancam bahaya? Diculik dan diancam pihak lawan bisnis?
Aku tak yakin dengan semua firasat tentang kepergiannya. Yang ada hanya kecemasan yang luar biasa.
Sepuluh hari lalu akhirnya teleponku diangkat olehnya.
“Mbi aku titip anak anak” ujarnya buru buru.
“Kamu mau kemana? Kamu mau kemanaaa?” cecarku.
“Aku di Jakarta! Mas, pergi dulu. Kamu di rumah baik -baik sama anak anak ya. Aku titip anak anak ya, Mbi. I love you.”
bip bip bip… terputus.
Tidur ku tak tenang. Makanku tak nyaman. Duniaku berhenti berputar. Aku terus bertanya kemana? Dimana? Kenapa bisa dia pergi? Apa yang disembunyikan dariku?
Rekan kerjanya kudatangi untuk mencari info, nihil. Kerabat yang berposisi AKBP, kupinta bantuan melacak nomor gawainya, gagal.
Nomor terdeteksi di daerah pelosok jawa tengah. Namun, kerabatku menyatakan bahwa pelacakan satelit belum tentu akurat. Hingga Kucari hacker untuk menemukannya, tapi tetap tak ada hasil.
[ Mbi, sehaaat? Kamu harus sehat ya Sayang. Anak anak tadi nonton black panther, rindu kamu banget] isi pesanku.
Mbi adalah panggilan sayang kami. Aku lupa apa yang menyebabkan kami saling memanggil Mbi. Mungkin dari baby kemudian beralih menjadi Mbi.
Hanya muncul centang satu, tak lama centang dua, tapi tak pernah centang itu berubah warna menjadi biru. Pertanda tidak dibaca.
Kukirimi mas Arif foto dan voice note suara anak anak. Tak ada respon.
[Mbi, aku ga tau kamu dimana, sedang apa, aku salah apa? Mbii, aku janji akan sering masak, pulang ya, Mbi]
[Aku kebangun kepikiran kamu, dimana kamu, Mas?]
Seperti biasa, pesanku hanya centang saru, beberapa menit kemudian centang dua tapi, tak pernah menjadi biru.
[Mbii, aku kejakarta sekarang! Aku tak peduli jika harus hilang disana! Aku akan mencari mu sampai ketemu!] Pesanku.
Kemudian dibalas.
[Jangan sayang, batalkan kepergianmu ke Jakarta. Aku akan pulang besok!]
[Kapan?] balasku singkat.
[Besok malam, Sayang. Tunggu aku ya!]
Kutelepon dia, masih tak diangkat. Lalu kuhujani mas Arif dengan pesan singkat.
[Kirim tiket mu!]
kukirim berulang pesan itu hingga dia merespon.
[Citilink 24/2, jam 17.00. Tunggulah di rumah! Isya nanti, aku sudah di rumah, Mbi] jawabnya.
***
Suasana hening di mobil. Dia menyetir dan aku duduk dikursi penumpang menatap jalan, tapi pikiranku entah kemana.
“Mau makan?”
“Kamu darimana?” jawabku
“Ok. Kita bicara di rumah, ya.”
Setiap dia membuka percakapan aku terus menjawabnya dengan kalimat yang sama.
“kamu darimana?”
Dia ganteng sekali, rapi, bersih dan wangi. Suamiku memang cenderung metroseksual, dia sangat peduli akan penampilan. Tapi, bukan itu yang menbuatku jatuh cinta. Bukan fisik bukan pula harta.
Teringat saat pertama kami merintis usaha ini, aku membantunya berjualan kartu perdana seluler kepada para bule di kuta, sambil kuliah. Menjajakan pulsa dan menyewakan handphone kepada para turis. Mas Arif yang mengajari aku untuk tangguh, mengenalkan arti kerja keras.
Romantisme muncul saat uang kami tersisa sepuluh ribu. Mas Arif membeli dua bungkus nasi jinggo, masing masing seharga empat ribu. saat dimakan ternyata sudah basi.
Mas Arif tampak kecewa tidak bisa memberiku makanan yang layak. Sisa uang dua ribu, dibelikan gorengan untukku. Itulah, satu satunya makanan yang masuk keperutku. Aku terenyuh sekali. Romantis!
***
Mobil kami memasuki rumah. Anak anak menyambut dan memeluknya. Mereka rindu sekali. Selesai bermain, Arif bergegas mandi. Dan aku menidurkan anak anak. Setelah mereka terlelap aku duduk diruang tv menanti jawaban dari berbagai pertanyaan belasan hari belakangan ini.
***
27 February 2019
Tanganku lancang membuka handphone Arif. Setelah pengakuannya yang lalu, aku masih belum berdamai dengan diriku. Perasaan hancurku membuat enggan membahas atau bertanya lebih jauh.
Aku memilih mencari tahu dengan tanganku sendiri. Pun Arif, terkadang sosok yang dingin. Tidak sedikitpun dia berusaha mengajakku bicara, meminta maaf atau menenangkanku.
Ponselnya disembunyikan di atas rak buku. Tak sadar airmataku mengalir. Kutemui ratusan foto mereka. Hatiku tersayat … ngilu. Aku dalam kecemasan yang amat sangat saat ia menghilang selama 12 hari.
Tapi mas Arif tidak hilang. Dia hanya berhoneymoon di Cappadocia. Kota impianku.
Aku memang sudah pernah pergi ke Turki saat menunaikan ibadah umroh, bersamanya. Tapi, kali itu kami tidak menyentuh Capadocia. Betapa remuknya hatiku melihat dia sudah pergi kesana lebih dulu dengan istrinya yang baru. Istri muda yang baru 12 hari dinikahinya.
Aku tak kenal perempuan itu. Aku tak pernah bertemu perempuan itu.
Yang kutahu dari suamiku, wanita itu cantik dan muda.
Aku marah dan murka. Aku merasa dikhianati. Maaf dari Mas Arif tak cukup membuatku tenang.
Ya Rabb… Ampuni aku.
***
19 september 2019
Selesai mandi, aku segera berpakaian. Ini mandi ke lima ku hari ini. Entah karena gerah atau karena kebutuhanku saat ini. Menyenangkan sekali berada dibawah kucuran air. Airmataku bias dengan jatuhnya air yang menyentuh wajah. . Seperti di pijat, kutengadahkan wajahku menghadap shower. Mata, pipi, dan dahi terkena pancuran air terasa yaman sekali.
Aku sudah segar, rapi dan wangi. Melangkah menuju kamar tidur, kulihat jam dinding sudah menunjukan angka sebelas malam. Anak anak tersusun rapi terpejam dikasur.
Bukan saatnya tumbang, aku bukan layangan putus yang tak tentu arah. PR ku masih banyak, keempat anak ini punya masa depan yang indah. Aku percayakan semua pada penopangku Alloh sang Maha Baik.
Jauh dilubuk hati, doaku untuk mantan suami. Aku tidak mampu lagi menunaikan kewajiban sebagai seorang isteri untuknya. Dia resmi bukan milikku sekarang, kulepaskan segala memori perjuangan cinta kami yang dulu.
Aku sudah tidak terikat sebagai istrinya. Semoga ia diberi kesehatan, kelancaran dalam segala urusan. Bukan saatnya memaki. Sampai kapan pun,Aku tak boleh bermusuhan. Dia adalah ayah anak anakku. Kuselipkan namanya dalam doa doaku.