Artikel
Kekuatan Memberi
Oleh: Kang Utay
Abu Hurairah ra, berkata, Muhammad Rasulullah saw, bersabda,”Bahwa setiap pagi dua malaikat turun mendampingi seorang hamba. Malaikat yg satu berdoa:”Yaa Allah, berilah ganti kepada dermawan yg menyedekahkan hartanya.” Malaikat yg satu lagi juga berdoa:”Yaa Allah, musnahkanlah harta si pelit.”(HR Muslim)
Hadits diatas dirangkai dengan begitu indah. Diberikan slot pagi hari; waktu di mana setiap manusia memulai melakukan sesuatu secara manusiawi. Dari mulai petani nun jauh di ladang pegunungan sana, sampi tempat kerja di kota-kota. Sarapan pagi dengan baca koran, terus berangkat kerja untuk meraih keutamaan Tuhan.
Hanya Anda jangan lupa, menjadikan sedekah sebagai pendamping setia dalam setiap hasil yang Anda dapatkan. Yusuf Mansur adalah satu dari sekian banyak orang yang terpkau, hingga membuat istilah the power of giving. Anda juga jangan kalah dengan ustad yang satu ini, untuk menjadikan memberi sebagai bagian tak terpisahkan dari sesuatu yang Anda dapatkan. Kita ini makhluk sosial yang tidak akan mampu berdiri tegak tanpa pertolongan orang lain.
Di dalam surat Alma’un 1-3 dijelaskan tentang pendustaan agama paling telanjang. Ialah orang yang melakukan shalat secara benar dan rutin, tapi masih memelihara kedengkian pada kegiatan memberi. Mereka berdusta dengan, karena shalat yang tidak mampu mendorong dirinya untuk menolong anak-anak yatim di sekitar tempat tinggalnya, dan meninggalkan fakir-miskin dalam sistem sosial yang dzalim. Tidak mau melakukan upaya sistematis untuk menghapus cengkraman kesukaan berlebihan atas harta yang telah didapatkan.
Anda mungkin masih ingat dengan pemimpin Afrika Selatan, Nelson Mandela. Dia adalah pemimpin negara pemisah ras, tapi berusaha keras membela kaum mustad’afin. Kolega Nelson, Farid Essack mengatakan, kaum mustad’afin di dalam Islam adalah sekelompok orang yang secara sosial, ekonomi dan politik telah ditindas. Baik dilakukan penindasan secara sistemik oleh penguasa lalim, maupun terjadi di dalam kepemimpinan demokratis yang memanjakan penguasa hingga lupa pada hak fakir-miskin.
Model pembelaan kaum mustad’afin ini mendapatkan wadah paling aktual oleh kuntowijoyo dengan ilmu sosial provetiknya. Sepintar apapun seseorang dan atau sekuat apa pun pemerintahan, tapi tidak mampu menyelami kepedulian sosial, maka tidak ada harganya di mata penganut kemanusiaan universal. Penistaan terhadap hak dasar penghidupan layak seperti ular naga bermata dua. Satu mata melihat demokrasis sebagai cara paling sahih untuk menata kekuasaan, satu mata lagi melihat peluang mana yang bisa menjadikan dirinya menang meski dengan mengorbankan hak dasar penghidupan layak.
Alqur’an sudah banyak memberikan contoh aktual tentang bahaya orang kikir. Bahkan satu kata “karun” semakin hilang makna aslinya, yaitu nama seseorang. Saking pelitnya orang bernama korun itu, kata “korun” mudah dipahami sebagai perbuatan tidak mengindahkan norma berbagi. Bahkan kita dikenalkan dengan frase “harta karun”, melambangkan harta peninggalan kaya raya di masa lalu, yang pelit dan lari dari kewajiban memberi pada sesama. Konotasi “harta karun” ini jangan sampai mampir pada kebiasaan para pemimpin kita.
Ketakutan ini cukup mendasar. Mengingat sampai sekarang negeri ini belum mampu melepaskan dirinya dari predikat negara yang paling rajin menanggalkan norma memegang kekuasaan. Makin hari bertambah daftar dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan memendam “harta karun”. Dari bancakan dari impor sapi, sampai proyek perbaikan jalan pantura setiap hari raya. Konon “proyek pantura” setua jalan dibuat, tidak pernah diketahui kapan dimulai dan berakhir.
Kembali lagi pada kekuatan memberi, kita ini diharapkan belajar dari setiap kegagalan generasi bangsa ini. Jangan sampai negara ini gagal mengemban amanah, hanya karena keserakahan pada harta. Karena keserakahan biasanya satu paket dengan keinginan untuk mendapatkan harta tidak halal. Berbeda dengan mendapatkan hata dengan memberi, yang memancarkan daya kontrol, karena kala memberi kita selalu diingatkan untuk memberikan yang terbaik.
Dalam Islam ditetapkan bahwa pemberian paling beramakna, menjadikan barang yang palinhg kita kagumi untuk diberikan pada sesama. Jika kita sedang memasak enak dengan bau sedap mampir ke hidung tetangga, kita diminta untuk menyisihkan dibagi. Sungguh sebuah dorongan positif untuk setiap individu penikmat karunia ilahi. Susah payah mendapatkan tapi tetap berusaha berbagi kepada sesama.
Demikianlah kekuatan memberi. Coba Anda lakukan secara bertahap dalam setiap gerak keseharian Anda. Niatkan pagi ini untuk bekerja keras dan akan membawa hasil melimpah untuk memenuhi kehidupan keluarga Anda. Tapi jangan lupa menyisihkan sebagian dari karunia dunia yang akan Anda dapatkan jika bekerja sungguh-sungguh. Coba rasakan keindahan memberi dari ucapan tulus “terima kasih” dari sesama. Ini akan menjadi energi pisitif untuk melanjutkan usaha Anda kelak. Jika belum percaya, maka harus dicoba. Dan rasakan bedanya!
(Artikel Kang Utay Vol. 3)