Rohani
Malam Nisfu Sya’ban, Sejarah Peringatan, dan Teknis Pelaksanaan
Sebenarnya banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang keutamaan malam Nisfu sya’ban, namun banyak ulama yang menilanya dha’if.
Sejarah Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Ibnu Hibban menilai shahih sebagian hadits-haditsnya dan memasukanya dalam kitab shahihnya, Shahih Ibnu Hibban. Di antaranya sebagaimana diinformasikan oleh Al-Hafidz Ibnu Rajab adalah hadits yang diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ra sebagai berikut:
قالت: فقدت النبى- صلى الله عليه وسلم- فخرجت فإذا هو بالبقيع، رافع رأسه إلى السماء، فقال: أكنت تخافين أن يحيف الله عليك ورسوله. فقلت: يا رسول الله قد ظننت أنك أتيت بعض نسائك، فقال: إن الله تعالى ينزل ليلة النصف من شعبان إلى سماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب. (رواه أحمد، وقال الترمذى: إن البخارى ضعفه)
Artinya, “Aisyah ra berkata: “Saya kehilangan Rasulullah saw, tiba-tiba beliau berada di Baqi’ sambil mengangkat kepala ke langit”. Beliau berkata: “Apakah engkau takut engkau dizalimi oleh Allah dan Rasul-Nya?” Saya menjawab: “Ya Rasulullah, saya menyangka engkau mendatangi sebagian istri engkau”. Beliau besabda: “Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi turun pada malam Nisfu Sya’ban ke langit dunia, maka Allah swt mengampunkannya lebih banyak dari bulu domba Bani Kalb.” (HR. Imam Ahmad. At-Tirmidzi berkata: “Imam Al-Bukhari mendha’ifkan hadits ini.”). (Ahmad bin Muhammad bin Abu Bakar bin Abdil Malik Al-Qasthalani, Al-Mawahib Al-Laduniyah, [Kairo, Maktabah At-Taufiqiyah], juz III, halaman 300).
Al-Imam Al-Qasthalani (wafat 923 H) menjelaskan awal mula adanya peringatan malam Nisfu Sya’ban dalam kitabnya Al-Mawahib Al-Laduniyah sebagai berikut:
وقد كان التابعون من أهل الشام، كخالد بن معدان، ومكحول يجتهدون ليلة النصف من شعبان فى العبادة، وعنهم أخذ الناس تعظيمها، ويقال: إنه بلغهم فى ذلك آثار إسرائيلية، فلما اشتهر ذلك عنهم اختلف الناس، فمنهم من قبله منهم، وقد أنكر ذلك أكثر العلماء من أهل الحجاز، منهم عطاء، وابن أبى مليكة، ونقله عبد الرحمن بن زيد بن أسلم عن فقهاء أهل المدينة، وهو قول أصحاب مالك وغيرهم، وقالوا: ذلك كله بدعة
Artinya, “Tabi’in tanah Syam seperti Khalid bin Ma’dan dan Makhul, mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah pada malam Nisfu Sya’ban. Nah dari mereka inilah orang-orang kemudian ikut mengagungkan malam Nisfu Sya’ban. Dikatakan, bahwa telah sampai kepada mereka atsar israiliyat (kabar atau cerita yang bersumber dari ahli kitab, Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam) tentang hal tersebut. Kemudian ketika perayaan malam Nisfu Sya’ban viral, orang-orang berbeda pandangan menanggangapinya. Sebagian menerima, dan sebagian lain mengingkarinya. Mereka yang memgingkari adalah mayoritas ulama Hijaz, termasuk dari mereka Atha’ dan Ibnu Abi Malikah. Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari kalangan fuqaha‘ Madinah menukil pendapat bahwa perayanan malam Nisfu Sya’ban seluruhnya adalah bid’ah. Ini juga merupakan pendapat Ashab Maliki dan ulama selainnya.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa yang mula-mula memulai peringatan malam Nisfu Sya’ban adalah segolongan ulama Tabi’in daerah Syam. Dalam arti, peringatan malam Nisfu Sya’ban belum ada pada zaman Rasulullah dan Sahabat, baru ada pada zaman Tabi’in. Peringatan malam Nisfu Sya’ban yang kini diamalkan itu dasarnya adalah mengikuti perbuatan segolongan ulama Tabi’in negeri Syam atau kini dikenal dengan negara Suriah.
Teknis Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Adapun bentuk bagaimana bentuk dan teknis peringatan malam Nisfu Sya’ban ternyata ulama Syam berbeda pendapat. Dijelaskan ada dua pendapat terkait itu.
Pertama, disunahkan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban secara jamaah di masjid. Khalid bin Ma’dan dan Lukman bin Amir mengunakan pakaian terbaik mereka, membakar dupa (bukhur) dan pada malam itu mereka i’tikaf di dalam masjid. Ishaq bin Rahawaih menyetujui atau tidak mengingkari apa yang mereka lakukan. Ia juga berkata: “Menghidupkan malam Nisfu Sya’ban di masjid-masjid secara berjamaah bukanlah bid’ah.” Pendapat ini di nukil oleh Harb Al-Karmani dalam kitab Masa’ilnya.
Kedua, dimakruhkan berkumpul di dalam masjid-masjid untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dengan shalat, berdoa dan menyampaikaan kisah-kisah teladan, namun tidak dimakruhkan shalat sendiri untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Ini adalah pendapat Imam Al-Auza’i, seorang imam, ahli fiqih dan alimnya negeri Syam. (Al-Qasthalani, Al-Mawahib Al-Laduniyah, juz III, halaman 301).
Demikian, di atas adalah dua pendapat yang disampaikan oleh Imam Al-Qasthalani dalam kitabnya Al-Mawahib Al-Laduniyah. Intinya, perbedaan pendapat ulama terkait teknis menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Sebagian ulama mengatakan sunah dikerjakan secara berjamaah, sebagian lain memakruhkan secara berjamaah, namun jika pelaksanaannya sendiri tidak makruh. Wallaahu a’lam.
Sumber: NU Online