Opini
Menikmati Demokrasi Kita
Oleh: Kang Utay
Umur republik ini menyentuh angka 70 tahun. Usia yang cukup udzur jika dipersamakan dengan umur manusia. Sekira dua generasi yang mencoba menikmati hidup merdeka. Dan ada yang mengatakan tiga rezim; orde lama, orde baru dan orde reformasi yang melahirkan macam-gerak demokrasi.
Demokrasi menjadi sistem pemilihan pemimpin, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Diberikan sebuah cara bernama pemilu dengan menyertakan rakyat sebagai pemegang kekuasaan memilih. Tahun 1950 adalah pertama dihadiahkan pemilu bagi rakyat negeri ini meski berakhir di tangan dingin demokrasi terpimpin. Dan tahun 2004 masa pertama pemilu yang paling fenomenal pemilihan Presiden.
Titik 2004 inilah yang dikatakan sebagai demokrasi paling partisipatif. Melibatkan langsung rakyat untuk memilih seorang presiden. Bahkan diikuti memilih seorang pemimpin daerah, walikota-Bupati hingga seorang gubernur. Rakyat seolah berpesta menggunakan suara memilih, meski hanya lima menit. Mereka masuk bilik suara, lihat siapa calon dan memilih. Selepas itu entah diserap atau tidak aspirasinya, tidak ada yang tahu.
Dalam nalar sekuler meminta komitmen seorang pemimpin diatur secara proporsional. Ada mekanisme kontrol yang dinamakan ceck and balance antara eksekutif dan legislatif. Roda pemerintahan di jalur eksekutif agar tidak berjalan melenceng dikontrol oleh perwakilan rakyat yang ada di lembaga legislatif. Kedua sayap kekuasaan ini menerangkan harapan para pemilih menuju cita-cita ideal negara bangsa.
Tapi tunggu dulu, ternyata ada yang terbukti daya kontrol itu bergeser pada bagi-bagi kue pembangunan. Bukti menunjukkan persetujuan anggaran negara bagi eksekutif bukan tanpa negosiasi bagi kue. Ragam cara membungkus negosiasi disesuaikan dengan kemampuan bidang pekerjaan para “pialang demokrasi” di legislatif itu.
Bahkan tidak sedikit lewat jalur cepat tanpa ada kenyataan penggunanaan anggaran. Yakni berupa upeti yang disawer sebelum ketuk palu penentuan anggaran. Ada yang ditujukan pada para pimpinan saja, dan ada pula yang disawer secara merata. Tragisnya, ada yang dibungkus dengan dengan bingkisan tertentu yang mengundang syahwat kemanusiaan.
Demokrasi di panggung ceck and balance sudah menyumbang para narapidana korupsi. Ada yang tertangkap tangan di lapangan sedang menerima uang haram itu. Melalui stafnya mengatasnamakan motif lain agar bisa menghindar dari KPK. Begitu juga ada yang seolah-olah rapi tapi terbuka secara pelan tapi pasti hingga jadi menghuni jeruji besi.
Mahar eksekutif ke legislatif bukan tanpa alasan. Konon para penunggu palu anggota DPR sering kerepotan menjawab pertanyaan kritis. Gugatan campur baur pada eksekutif sulit dijawab kecuali dengan mahar tinggi. Itu akan lebih efektif dibandingkan buang waktu-tenaga menjawab gugutan yang tidak akan kunjung diterima.
Rakyat pemilih akhirnya kagetan melihat pemimpin mereka saling bagi kue. Pembangunan sekedar alat untuk memperlihatkan para pemimpin bekerja sekaligus memperbanyk harta. Demokrasi kita yang lima menit memang milik rakyat, pesta buang suara untuk dagelan pembangunan. Rakyat akhirnya sebagai jalan menjadikan para pemilih untuk mengeruk kue pembangunan.
Realitas ini tidak perlu ditangisi ataupun diratapi. Boleh jadi demokrasi kita sedang berproses menuju tahap ideal. Di mana suara pemilih akan sangat menentukan bagi pembangunan. Tinggal bisa menarik hikmah untuk terus memperbaiki cara kontrol kekuasaan. Karena jika tidak dengan proses demokrasi, nyaris tidak ada pilihan lain.
Meski pernah berdiri kerajaan besar di bumi pertiwi, tapi sulit jadi alasan untuk mengganti demokrasi ke sistem kerajaan. Demokrasi adalah pilihan semestinya dengan ongkos yang tidak sedikit. Tinggal kita bisa memanfaatkannya untuk lebih membuat para pemilih makin dewasa. Jangan sampai membuang waktu lima menit untuk memilih orang yang kasat mata punya cacat.
Demokrasi juga sudah berjalan mengiringi kemerdekaan negeri ini. Beda dengan sistem kerajaan yang disisakan di sebagian provinsi hanya untuk melestarikan budaya. Di sana tetap ditentukan pemimpin berdasarkan sistem pemilihan, meski untuk calon pemimpin dari darah biru.
Demikianlah, demokrasi kita adalah proses menuju kemandirian sikap membangun bangsa. Memang tidak gratis membayar demokrasi itu, tapi nyaris sulit untuk mengganti dengan sistem lain. Mungkin sambil menikmati demokrasi, kita bisa mematangkan sikap memilih seorang pemimpin. Dan jangan sungkan untuk mengkritik seoang pemimpin yang terbukti bersalah di mata hukum.
Demokrasi adalah barang impor yang masih punya nilai jual di negeri kita. Dari para pendiri republik ini sengaja milih demokrasi karena ada kesamaan partisipasi publik dalam model gotong royong. Konon, mahar untuk negosiasi anggaran antara eksekutif-legislatif, juga ada benih dari kebudayaan memberi upeti dalam sejarah kerajaan nusantara.
Akhirnya, apakah demokrasi kita akan terus berselingkuh dengan mahar bagi-bagi keu. Saya kira akan ditentukan oleh setiap individu di republik ini. Bisa jadi saya mengkritik dengan menggoreskan pena ini. Anda dengan coba meyakinkan untuk terus mendewasakan diri para pemilih. Dan orang lain menjadi tahu dan memahami, demokrasi kita dalam proses, tetap harus memilih!
(Artikel Kang Utay Vol. 10)