Opini

Mirisnya Pendidikan di Indonesia

Pendidikan adalah suatu keharusan bagi setiap individu, karena dari pendidikanlah individu akan menemukan jati dirinya sebagai manusia. Baik pendidikan formal maupun pendidikan informal. Selain dari pada itu, pendidikan juga dapat mengaktualisasikan potensi yang ada pada diri individu.

 Di Indonesia, pendidikan hukumnya wajib bagi masyarakatnya, yaitu selama 12 tahun lamanya, yang sudah dimulai sejak Juni 2015 lalu. Hal ini seperti dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani yang mengacu kepada UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) yang menyatakan bahwa; Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Tujuan daripada wajib sekolah 12 tahun tak lain dan tak bukan adalah untuk mencerdaskan bangsa, urntuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, dalam bidang apapun. Tetapi jika kita cermati bersama, pendidikan di Indonesia seakan-akan ingin menciptakan manusia sebagai seseorang yang berjiwa buruh, bukan seseorang yang berjiwa Leadership. Kenapa demikian?

Pertama, tujuan orang tua menyekolahkan anaknya adalah, agar sang anak tidak merasakan apa yang menjadi pekerjaan kedua orang tuanya. Dalam hal ini, anak dituntut untuk merubah nasib orang tuanya. Misalnya saja jikalau orang tuanya seorang petani, maka anaknya di sekolahkan yang tinggi agar sang anak menjadi guru, bukan menjadi petani. Kalo memang demikian tujuanya, lantas yang akan menjadi petani siapa? Jika para petani tidak menginginkan semua anaknya menjadi petani?

Advertisement

 Kedua, pendidikan yang didapatkan di sekolah, harus diakui bahwa setiap anak atau setiap individu, memiliki potensi yang berbeda-beda. Artinya potensi tiap-tiap anak tidak bisa disamaratakan dengan anak yang lain. Tetapi pendidikan di Indonesia seakan-akan menganggap bahwa setiap anak memiliki potensi yang sama. Misalnya saja, pendidikan yang didapatkan di sekolah SD, SMP, maupun SMA, bisa dipastikan bahwa pelajaran yang didapatkan seorang anak adalah pelajaran yang sama. Misalnya saja mata pelajaran yang didapatkan dibangku SMA yaitu, Fisika, Biologi, Geografi, dll. Semua mata pelajaran memiliki bobot yang sama. Pertanyaanya adalah apakah setiap anak menyukai pelajaran fisika? Atau apakah pemerintah menjamin jika anak-anak yang suka dengan mata pelajaran fisika akan menjadi fisikawan atau ilmuwan? Jawabanya tidak, karena pada masa SMA, penjurusan untuk pengaktualisasian potensi belum didapatkan. Oleh karenanya, sekolah selama 12 tahun belum menemukan apa-apa. Akhirnya, mereka memilih untuk berhenti sekolah dan mencari pekerjaan yang cocok untuk diri kita. Hal ini karena sang anak menganggap bahwa mereka tidak menemukan apa-apa di sekolah, kecuali kebiasaan berpakaian rapi, menyelesaikan tugas, dan belajar untuk ujian akhir, dan juga mereka menganggap pekerjaan adalah suatu yang Real asalkan saja mereka merasa cocok dan nyaman sekaligus ahli dalam bidangnya. Tetapi tidak jarang juga yang melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke Perguruan Tinggi Negeri. Pertanyaan selanjutrnya adalah? Apakah perguruan tinggi bisa menjamin untuk mengaktualisasikan potensi kita? Atau malah menciptakan manusia sebagai robot atau sebagai buruh yang berdasi?

Tujuan dari pendidikan di perguruan tinggi memang bagus, yaitu ada jurusan-jurusan yang bisa bebas dipilih oleh tiap individu. Misalnya saja jika ada yang ingin menjadi dokter, atau yang suka dengan ilmu kedokteran, tinggal masuk fakultas kedokteran. Jika ada yang minat atau merasa cocok dengan ilmu politik, tinggal masuk saja fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Hal ini bagus, karena setiap individu bebas menentukan pilihanya, dan apa yang dipelajari akan sesuai dengan apa yang dibayangkanya. Hal ini membuktikan bahwa tiap-tiap individu akan menemukan jati dirinya di fakultas masing-masing. Yang masuk fakultas kedokteran nanti akan menjadi dokter, yang masuk fakultas ilmu politik akan menjadi DPR atau MPR misalnya. Tetapi apakah semuanya itu dijamin? Tidak. Menurut beberrapa survey, dari jumlah seluruh mahasiswa lulusan kedokteran, hanya 45% yang benar-benar menjadi dokter. 55% dikemanakan? Jika memang semuanya harus lari ke pekerjaan, siapa yang mempunyai daya tampung pekerja sebanyak itu, jika memang dari awal kita dibenrtuk sebagai pekerja yang ulung?

Pukulan bagi kita semua memang yang menyadari akan hal itu, seakan-akan pendidikan adalah hal yang mengecewakan, karena tidak memberikan arah yang jelas bagi orang-orang yang menempuh pendidikan. Ternyata pendidikan hanya mengajarkan kita bagaimana menjadi pekerja yang rapi. Bukan menjadikan kita sebagai seorang yang mempunyai jiwa leadership. Kalo demikian halnya, apakah salahnya jika kita bertani? Apa salahnya jika kita menjadi nelayan? Jika memang itu nyaman dan usaha kita sendiri? Dari pada yang berdasi tapi disetir oleh orang lain.

Jika kita mengacu kepada negara yang lain, misalnya saja Singapore, pendidikan yang diberikan kepada anak-anak adalah pendidikan yang anak-anak sukai. Misalnya saja jika anak suka menggambar dan tidak suka matematika, maka pelajaran matematika dikurangi dan tambahan bagi pelajaran menggambar. Sebab mereka tau dimana passion setiap individu. Hal demikianlah yang akan menentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Karena memang dari awal sudah dibentuk demikian.

Advertisement

Pendidikan di Indonesia seharusnya lebih menekankan kepada minat dan bakat individu, jika memang Indonesia ingin menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas berdaya saing. Bukan manusia yang memiliki jiwa pekerja.

Tafrichul Fuady Absa

(Pegiat PIUSH (Pojok Inspirasi Ushuluddin) sekaligus kader HMI KOMFUF Cabang Ciputat)

Advertisement

Populer

View Non AMP Version
Exit mobile version