Opini

Rahasia Tawakal

Oleh: H. Veri Muhlis Arifuzzaman, M.Si *

Tawakkal dilakukan tatkala seseorang ber-azam (berencana dengan matang) untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam perencanaan itu ada tekad bulat, kesungguhan disertai kesiapan lahir maupun batin. Orang yang ber-azam berarti orang yang punya komitmen diri untuk wujudkan harapan atau cita-cita di masa akan datang.

Ketika sudah ber-azam, seseorang tidak mungkin lagi duduk terdiam saja. Ia akan sungguh-sungguh berusaha sekuat tenaga mewujudkannya. Ia senantiasa gelisah selama harapan dan cita-cita tersebut belum terwujud. Seluruh tenaga dan pikiran dicurahkan pada satu tujuan utama yang tak mungkin dipertukarkan dengan tujuan lain.

Nah, ketika sudah ber-azam hendaknya kita bertawakkal pada Allah. Tujuannya, agar sebab atau syarat keberhasilan yang kita usahakan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ini sebagaimana diserukan al-Qur’an bahwa, “… kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad (berazam), maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal,” (QS. Ali Imran: 159).

Advertisement

Kalau pun hasilnya nanti tidak sesuai harapan, kita tidak akan terlalu kecewa juga tidak terlalu sedih apalagi sampai berputus asa. Sebab, kita sudah menyerahkan kesimpulan usaha kita pada Tuhan. Kita telah menaruh kepercayaan pada-Nya sehingga apa pun hasilnya tetap kita terima. Seandainya mencapai hasil, kita juga tidak membanggakan diri karena kita sadar bahwa itu bukan satu-satunya hasil usaha kita.

Dengan tawakkal kita mampu bersikap profesional dan proporsional. Kita menjadi tahu di mana tugas dan wilayah kita dan di mana otoritas kekuasaan Tuhan. Artinya, sebenarnya kita ditugaskan untuk mengerjakan sebagian saja dari suatu harapan dan menyerahkan sisanya pada Tuhan. Tugas utama kita hanyalah berusaha, sementara hasil bukan urusan. Hasil biarlah Tuhan yang menentukan.

Secara psikologis, orang bertawakkal lebih siap dan lebih tenang menghadapi pekerjaan. Alasannya, ia tahu bagaimana melalui sebuah tantangan. Keyakinannya kadang mencapai puncak saat keadaaan menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Kekuatan bawah sadarnya melampaui prediksi akal sehat di luar dugaan.

Selain itu, orang tawakkal lebih happy dengan pekerjaannya. Setiap proses ia nikmati karena diniatkan sebagai wujud pengabdian pada Tuhan. Baginya, bekerja bukan sekedar tuntutan hidup melainkan juga panggilan keyakinan, panggilan ibadah. Bekerja ia pahami sebagai persembahan lahir pada Tuhan selain ritual shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain.

Advertisement

Orang demikian tidak akan terbebani dengan kecemasan dan kegetiran yang kadang menimpanya. Kecemasan dan kegetiran di balik harapan ia benamkan di atas harapan sejati yang lebih besar lagi, yakni ridla Allah. Bahkan ketika gagal dalam satu pekerjaan, ia justru melihatnya sebagai ujian untuk mendapat Ridla-Nya. Pandangannya selalu positif terhadap keadaan sehingga optimismenya terus terjaga.

Begitu juga energi positif terus mengalir kepadanya sehingga menyelamatkannya dari kata “apes” atau “tidak beruntung”. Hari demi hari kepribadiannya makin matang karena ia sadar bahwa Tuhan mencintai apa yang ia lakukan. Dus, mari kita bertawakkal karena di dalamnya menyimpan kekuatan besar menuju bahagia. Tak ada jalan penguasaan diri paling ampuh kecuali bertawakkal pada Allah.

*Penulis adalah Ketua Perhimpunan Menata Tangsel, Dosen Metodologi Hukum Islam di Sekolah Tinggi Perencanaan Keuangan Syariah (IARFC) Jakarta, Alumni  Pondok Pesantren Daar ElQolam

Twitter: @verimuhlis

Website: verimuhlis.com, verimuhlisariefuzzaman.com

Advertisement

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Populer

View Non AMP Version
Exit mobile version