Opini

Tau Diri Itu Penting

Oleh: Hasan Nasbi Batupahat

Kalau anda bukan penyelam terlatih, hanya orang kebanyakan yang sekadar bisa berenang dan sedikit menahan napas di dalam air, maka janganlah mau dibodoh-bodohi oleh ilmuwan somplak untuk adu tahan napas dan menyelam dengan orang-orang suku Bajo. Mereka bisa menyelam tanpa alat bantu selama 13 menit dengan kedalaman belasan meter.

Sementara kita? Tahan napas dalam air selama 1 menit saja mungkin sudah semaput. Kalau pun ada yang dengan teori macam-macam dan kasih harapan yang engga-engga untuk adu tahan napas seperti penyelam-penyelam Bajo, ya sebaiknya tidak usah digubris. Mungkin orang pintar itu mukanya manis, tapi hatinya busuk dan jahat ingin mencelakakan anda. Bahkan kalaupun ditawarkan hadiah, juga jangan dipedulikan. Pasalnya sederhana saja, anda tidak akan mampu.

Kita memang sama-sama punya paru-paru, sama2 punya limfa, tapi kemampuannya sudah berbeda. Para penyelam itu paru-parunya sudah terlatih dengan disiplin yang baik. Paru-parunya punya kemampuan lebih baik, limfanya sudah 1.5 kali lebih besar daripada kita sebagai penanda genetik bahwa mereka punya kemampuan beradaptasi menahan napas di dalam air. Sementara kita ya sekadar punya saja.

Advertisement

Begitu juga kalau ada orang-orang yang terlihat pintar menyarankan negara ini mengikuti jejak Singapura misalnya, untuk tahan napas, Lock Down istilah mereka, dalam rangka menghadapi Covid 19. Singapura mungkin bisa tahan cukup lama. Dengan GDP 337 M USD dengan penduduk 5.7 juta, mereka punya kemampuan menahan napas dan menyelam 15 kali lebih lama dibanding negara kita. Kita punya GDP 3x lebih besar, tapi karena penduduknya 270 juta, maka GDP per kapita kita hanya 1/15nya penduduk Singapura.

Jadi kalau adu-adu tahan napas, mungkin kita sanggup bertahan 1 bulan saja, sementara mereka bisa tahan 15 bulan. Bagaimana kalau bernapas dengan tabung oksigen di dalam air? Ya sama saja. Perumpamaannya mereka punya 15 tabung per kepala, sementara kita cuma punya 1. Kita akan semaput duluan, sementara mereka bisa tahan napas dan menyelam hingga vasin ditemukan.

APBN kita hanya 2000T. Jika 50%nya saja dibagi rata untuk keseluruhan penduduk, maka kita hanya akan dapat 3.7 juta per kepala. Memang cuma cukup buat hidup 1 bulan saja bukan? Toh kalaupun seluruh APBN dibagi rata hanya akan menghasilnya 7.4 juta rupiah per kepala. Kita bisa hidup 2 bulan, dengan catatan negara ini bubar. Seluruh kantor pemerintahan dibubarkan dan tidak ada lagi yang digaji dan dihidupi pakai anggaran negara. Lalu setelah dua bulan kita mau ngapain? Tinggal memilih mau jadi Somalia atau Afganistan.

Kita memang levelnya segitu saudara-saudara. Jadi tau diri soal di level mana negara kita berada itu sangat penting. Jangan kemudian membanding-bandingkan diri dengan orang yang jauh lebih advance. Abaikan saja orang-orang pintar yang menyarankan hal aneh-aneh. Menurut mereka itu berdasarkan sains, cuma jalan sains mereka tak akan sanggup kita kerjakan saat ini.
Ini bukan berarti jalan lain, selain jalan yang ditawarkan oleh orang-orang pintar itu tidak scientific. Di US dokter-dokternya boleh saja bertaburan alat-alat canggih, tapi skill dokter-dokter Kuba yang mengandalkan alat seadanya sulit untuk ditandingi. Keduanya bisa menyembuhkan dan menyelamatkan nyawa manusia. Cuma jalan sains ala US tidak bisa dikuti oleh dokter-dokter Kuba. Karena keadaan mereka berbeda

Advertisement

Tarolah kita betul-betul menyelam dan tahan napas (lock down) selama 1 atau 2 bulan di awal pandemi. Mungkin di dua bulan itu covid bisa kita kendalikan. Tapi setelah 2 bulan kita mau apa? Mau terus menyelam atau kembali menunculkan kepala kita ke permukaan? Begitu kepala kita munculkan lagi ke permukaan air akan berhadapan lagi dengan virus ini. Sebab dia belum hilang, dan vaksinnya waktu itu juga belum ada.

Walaupun ada vaksin, kita juga akan terus berjibaku dan bertempur dengan virus ini. Tidak mungkin terus menerus menyelam seperti permintaan orang-orang pintar itu. Sama saja dia menyarankan kita semua untuk mati dengan cara lain. Lari dari virus tapi kemudian mati tenggelam dalam kehancuran ekonomi.

Jadi menahan napas dan menyelam itu menurut saya gak mungkin kita lakukan. Bukan karena pemerintah dan negara tidak mau bertanggung jawab terhadap kebutuhan hidup warganya, tapi yang paling mendasar adalah mau dihidupi dengan apa? Trus mereka bilang, ngaku aja kalau sudah bangkrut. Lah kalau menyelam, muncul kepala, menyelam lagi, muncul kepala lagi ya lama-lama kita akan kehabisan napas juga, alias bangkrut. Malah kalau menyelam terus-menerus seperti saran mereka, kita sudah lama bangkrut dan semaput. Orang-orang pintar itu otaknya utuh tapi yang dipakai hanya separo. Merasa berada di atas langit tapi sama sekali tak tahu apa hukum yang berlaku di atas bumi

Jadi sepertinya kita memang harus kembali ke darat. Itu habitat kita. Bukan karena tidak percaya virus covid 19, tapi karena harus kita hadapi. Mungkin kita masih harus bertempur dengan virus yang ganas ini, karena hidup kita tak bisa berhenti dan disuruh sembunyi terus di bawah permukaan air sambil menahan napas. Itu juga berujung kematian dan kehancuran untuk keseluruhan orang. Mungkin lolos dari virus tapi mati tenggelam dan kehabisan tenaga. Sebaliknya, kalau kita melanjutkan hidup sambil bertempur melawan virus, tentu akan ada yang jadi korban, tapi sebagian besar kita akan bisa melewatinya. Hingga nanti tercipta kekebalan kolektif, baik melalui vaksin, atau karena sudah pernah tertular penyakit ini.

Advertisement

Nampaknya makin ke sini aturan hidup timbul tenggelam melawan covid ini makin rumit. Padahal untuk hal-hal yang sederhana saja kita masih ada yang gak mudeng. Jadi menurut saya kita kembali saja kepada sesuatu yang lebih sederhana dan lebih mungkin untuk kita jalankan. Kalaupun perlu ada law enforcement, maka lebih mungkin untuk bertindak keras menegakkan aturan sederhana itu. Apa itu? Menggunakan masker di tempat umum. Memang terbukti selama ini aturannya tak sepenuhnya tegak, tapi kalau untuk hal sederhana ini saja tak berhasil tegak, apalagi untuk aturan-aturan yang lebih rumit bukan?

Semoga pemimpin kita berhenti mendengarkan orang-orang pintar yang tak berpijak di atas bumi ini. Biarkan saja mereka meraung-raung di langit Pak! Mereka takut mati sama virus, sementara sebagian besar rakyat takut mati kelaparan. Saya tak yakin negara ini berantakan karena perang melawan virus. Mungkin berisik dan ribut sana-sini, tapi negara akan mampu melewatinya dalam keadaan utuh. Sementara saya haqul yakin negara ini sulit dipertahankan ketika sebagian besar orang sudah tak tau lagi cara bertahan hidup, tak tahu lagi besok harus makan apa.

Pendapat saya bisa saja keliru, tapi ini ikhtiar untuk menemukan jalan yang sesuai. Karena sudah muak melihat tingkah polah orang-orang yang sama sekali lupa diri, tak tahu diri.

Advertisement

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Populer

View Non AMP Version
Exit mobile version