Opini

Bekerja dengan Cinta

Oleh: @Verimuhlis *

“Dan jika engkau tak bisa bekerja dengan cinta, tetapi dengan rasa enggan, maka sebaiknya kau tinggalkan tempat kerjamu, lalu duduk di pinggir jalan sambil mengemis sedekah..” (Kahlil Gibran).

Advertisement

Sebagian kita mungkin pernah merasakan kerja dengan terpaksa. Bekerja hanya fisiknya saja tanpa menyertakan hati dan pikiran. Sebagian lagi pernah mengerjakan sesuatu dengan suka cita, bekerja dengan menghadirkan cinta dan kecerdasan. Maka hasilnya akan beda. Percayalah, kebahagiaan bekerja tidak hanya bergantung seberapa besar penghasilan yang didapat, melainkan juga bagaimana cara menjalankannya.

Coba kita bandingkan seorang kontraktor bangunan dengan pemain sepak bola atau pemain musik profesional. Meski sama-sama berpenghasilan lumayan, cara mereka bekerja berbeda. Kontraktor bekerja sesuai kesepakatan kontraktual, apa pun jenis dan model bangunan yang dikerjakan. Sedang pemain sepak bola atau pemain musik bekerja berdasarkan kesukaan atau hobi. Tentu lebih bahagia orang yang bekerja sesuai kesukaannya.

Bisa dibayangkan jika kita bekerja mengikuti kemauan orang lain di mana kita sendiri kurang menyukainya. Semahal apa pun bayarannya, hati kita akan tertekan, bete, enggan, dan tak bisa menikmati pekerjaan. Kita akan merasa stress tiap hari seolah pekerjaan tak ubahnya neraka yang terus menyiksa. Energi kita juga akan terbuang sia-sia karena sugesti yang tak searah.

Dari sana kita mengenal dua tipe cara orang bekerja, yaitu bekerja berdasarkan ambisi dan bekerja berdasarkan hati. Bekerja berdasarkan ambisi membuat hidup kita tegang. Hidup kering nilai seni. Kita juga akan diperbudak oleh pekerjaan sendiri. Di benak kita yang terpenting  hanyalah hasil, bukan bagaimana proses mencapainya. Sedang bekerja dengan hati menjadikan semua proses itu bisa dinikmati. Energi yang ada juga tercurah lebih tulus sehingga punya sentuhan berbeda.

Advertisement

Memang, tak semua pekerjaan sesuai dengan hobi atau kesukaan kita. Tetapi kita bisa berusaha mencintai pekerjaan yang kita punya. Ini tergantung pada cara kita melihat pekerjaan. Apakah bekerja sebatas mencari kekayaan, sekedar untuk hidup atau ada tujuan lain yang lebih hakiki?

Pertama, memahami bahwa bekerja adalah keniscayaan hidup. Dengan bekerja kita menyatakan hakikat keberadaan kita selaku mahluk yang berkehendak (baca artikel sebelumnya, “Aku Bekerja maka Aku Ada”). Sementara, kehendak kita mustahil terealisasi tanpa bekerja. Jika ini disadari, maka kita akan melarutkan diri ke dalam pekerjaan. Sebab, sekali lagi, bekerja merupakan keniscayaan hidup. Bekerja adalah hidup itu sendiri. Karena itu, rugi besar bila tidak dijalani dengan hati dan suka cita.

Kedua, melihat misi profetik di balik pekerjaan. Dalam artian, kita bekerja bukan hanya demi kepentingan diri tetapi juga kepentingan sosial. Lebih dari itu, kita menangkap nilai transendental di setiap apa yang kita kerjakan. Melalui cara ini, dengan sendirinya kita akan melakukan humanisasi dan transendensi, sehingga dapat mencintai pekerjaan.

Konsep humanisasi dan transendensi menjadikan pekerjaan bernilai. Di sini kita tidak hanya melihat kuantitas, besaran, dan hasil tetapi juga kualitas, keberkahan, dan proses. Kuantitas, besaran dan hasil lebih mengarah pada aspek kepuasan (pleasure), sementara kualitas, keberkahan dan proses lebih pada aspek kebahagiaan (happiness). Orang yang mengedepankan aspek kebahagiaan sangat termotivasi dengan Sabda Nabi Muhammad bahwa:

Advertisement

“Barang siapa mencari rezeki (rezeki) di dalam dunia ini untuk menjaga kehormatannya dari orang lain dan untuk menghidupi keluarganya dan membantu tetangganya, maka ia akan berjumpa dengan Allah SWT sedangkan wajahnya bagaikan bulan di malam purnama” (diriwayatkan Imam Baqir As).

Ketiga, syukuri pekerjaan yang ada. Kadang kita silau dengan kesuksesan orang lain. Kadang kita terlalu ekstrim mengadili hidup, melihat satu-satunya ukuran sukses adalah kekayaan. Padahal ketika ditanya, mau jadi orang kaya atau orang bahagia, kecenderungannya memilih keduanya. Ini adalah akibat jika kita tidak pintar menyukuri nikmat yang diberikan Tuhan.

Tiap orang miliki kebahagiaannya masing-masing. Begitu pun tiap orang punya masalah hidup tersendiri. Jangan sampai kita mengira hanya orang kaya yang bahagia, sebagaimana mengira hanya orang miskin yang sengsara. Siklus kebahagiaan dan persoalan hidup tidak ditentukan oleh satu aspek aja. Karenanya, menyukuri apa yang ada lebih baik daripada mengira kekayaan yang tidak kita punya.

* H.Veri Muhlis Arifuzzaman (Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daal El-Qalam)

Advertisement

Populer

View Non AMP Version
Exit mobile version