Opini
Berbaik-Sangka | Mimbar Jum’at | Ust. @verimuhlis
Oleh: H.Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag., M.Si.
(Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)
“Hai orang-orang beriman! Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa; dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hujurat: 12)
Berprasangka berarti menaruh kecurigaan tanpa dasar yang kuat. Biasanya berkonotasi buruk atau negatif mengenai keberadaan orang lain (su’u al-dzann). Sikap semacam ini susah menerima perbedaan. Keragaman pandangan, keyakinan, sifat, perilaku dan latar belakang dianggap sebagai sesuatu yang “tidak beres” dan mesti dikucilkan.
Prasangka demikian membutakan hati. Tiap kebaikan yang datang dicurigai sebagai modus kejahatan. Busuk dan bulus. Betapa pun terang pelita kebaikan itu, penilaian tetap dicangkang di atas gundukan kebencian. Ilusi khayalan yang dibuat perihal orang lain lebih dikedepankan ketimbang fakta. Semuanya seakan gelap. Yang terang hanya diri sendiri melebihi sumber cahaya kebenaran.
Prasangka buruk cenderung menghancurkan. Bermula dari prasangka ini seseorang kemudian mencari-cari kesalahan, menggunjing, mengolok-olok, membunuh karakter serta menebar aura kebencian pada sesama. Ia senang melihat kehormatan saudaranya terseret ke limbah kenistaan. Meski tak cukup beralasan, ia akan terus menguntit, mencibir hingga nyinyir.
Karena itu, tak berlebihan jika al-Qur’an menyamakan orang yang berprasangka (tanpa sebab mendasar) dengan pemakan bangkai saudara sendiri. Muak dan menjijikkan. Al-Qur’an juga menyebut prasangka itu sebagai perbuatan dosa. Begitu berbahaya karena merupakan salah satu penyakit mental yang meracuni kejernihan berpikir.
Dengan berprasangka, kita tidak akan mampu lagi menempatkan sesuatu secara adil. Ada dinding tebal yang mengerangkeng cara pandang kita. Semakin lama tersekap semakin keras hati kita berkarat. Kedengkian bertebar mengitari poros hidup sehingga energi terkuras hanya untuk membenci dan memikirkan kesalahan orang.
Sekali seseorang berprasangka buruk, sadar atau tidak, akan sulit mengatasinya. Prasangka buruk menguasai hampir semua sendi alam sadar maupun bawah sadar kita. Meski kadang kita sudah berupaya melepaskan diri dari buruknya prasangka, penyakit itu masih tetap menghantui. Ini menunjukkan prasangka buruk adalah penyakit mematikan. Hampir tak ada obat mujarab selain revolusi total kesadaran.
Padahal sebenarnya, ketika kita berprasangka, mencari-cari kesalahan orang lain, ada sesuatu yang absen dan terabaikan. Yakni, kesalahan diri sendiri. Ini sama dengan filosofi tersembunyi di saat kita menunjuk sesuatu dengan jari telunjuk kita. Maka tiga jari yang lain justru mengarah pada diri sendiri.
Dalam artian, sebelum mencari kesalahan orang lain sejatinya kita lakukan introspeksi. Merenung dan berkaca diri. Benarkah kita lebih sempurna dari orang yang kita sangka-kan? Benarkah kita lebih bersih dapida orang yang kita anggap kotor? Jangan-jangan kita lebih hina ketimbang orang yang kita pandang rendahan? Lebih kurang ajar daripada orang yang kita kutuk habis-habisan?
Mari bertanya pada kedalaman batin kita. Tiap orang punya begasi kebaikan dan keburukan masing-masing. Saat begasi keburukan terbuka, bukan berarti tak ada kebaikan sedikit pun. Begitu pula sebaliknya. Yang kita butuhkan adalah penilain proporsional untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Penilain yang fair, berupa saran dan nasehat sebagai perwujudan tali persaudaraan antar sesama.
Sejatinya, andai kata kita berprasangka sebisa mungkin diarahkan pada hal-hal yang baik (husn al-dzann). Misalnya, sebelum seseorang benar-benar dinyatakan bersalah secara hukum, maka sebaiknya kita menyunjung tinggi asas praduga tak bersalah. Kalau pun ternyata diduga atau diketahui orang tersebut berbuat keburukan atau kejahatan, kita masih bisa mengingatkannya dengan bahasa yang baik dan santun.
Demikian juga jika ada orang yang ingin memberi bantuan atau meminta pertolongan kita dari latar belakang berbeda. Kita tidak lantas menganggapnya sebagai modus kejahatan. Selama orang yang kita hadapi bukan drakula penghisap darah manusia, maka selama itu pula kita harus berbaik-sangka.