Banten
Irgan: Pemerintah Harus Bekerja Lebih Ekstra Selamatkan Satinah
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI yang antara lain membidangi ketenagakerjaan dan perlindungan TKI di luar negeri, Irgan Chairul Mahfiz, mengharapkan pemerintah dapat bekerja lebih ekstra untuk menyelamatkan nasib TKI asal Dusun Mruten Wetan, Desa Kalisidi, Ungaran Barat, Semarang, Jawa Tengah yaitu Satinah Binti Jumadi Ahmad (41), yang kini diibaratkan sudah berada di depan pelaksanaan hukuman mati atau tahap pemancungan di negara Arab Saudi.
“Jika uang diyat sesuai permintaan keluarga korban sebesar 7 juta RS (Riyal Saudi) atau sekitar Rp21 miliar tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah RI sampai batas waktu 3 April ini, maka Satinah dipastikan menuju eksekusi pancung dengan kemungkinan pada 4 atau 5 April 2014,” ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DPP PPP) itu di Jakarta, Senin (24/3/2013).
Karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah khusus dalam mewujudkan komitmen pemenuhan diyat (uang pengganti darah), termasuk mengupayakan pengunduran waktu hukuman pancung bagi Satinah, seandainya tidak berhasil memenuhi pembayaran diyat pada saat yang ditentukan.
Menurut Irgan, pemerintah memang telah menyediakan sekaligus memenuhi angka pembayaran diyat sebanyak 4 juta RS melalui penyetoran ke lembaga berwenang di Buraidah, Arab Saudi, namun jumlah itu ternyata ditolak pihak keluarga korban yang tetap menghendaki 7 juta RS. Adapun pemerintah sejauh ini hanya bersedia menyanggupi besaran uang diyat dengan angka maksimum 4 juta RS (Rp 12 miliar) itu.
“Negosiasi pembayaran uang diyat jangan dibiarkan mengalami kebuntuan, sehingga nasib Satinah otomatis mengarah ke pemancungan,” tambah Irgan.
Ia menyebutkan, meski memiliki sisa waktu sedikit, pemerintah harus tetap berjuang maksimal dalam penyelamatan Satinah dari pemancungan. Sedangkan upaya menemukan kesepakatan baru dengan keluarga korban terkait pembayaran diyat pun tidak boleh dihentikan, jika tak ingin peristiwa TKI Ruyati kedua yang mengalami pemancungan pada Juni 2011 kembali terjadi.
“Intinya, pemerintah tidak boleh menyerah. Akan menyedihkan sekali melihat pemerintah gagal menyelamatkan Satinah, dan menjadikan peran maupun kewibawaannya kembali dihujat oleh masyarakat luas, akibat tidak sanggup menangani pembebasan nasib anak bangsa yang akan dipancung untuk kali kedua setelah Ruyati,” jelas Irgan.
Ia mengatakan, pemerintah tidak boleh terpaku dengan keinginan membayar diyat hanya sebesar 4 juta RS, mengingat faktanya penyediaan uang diyat senilai itu ditolak keluarga korban. Dengan demikian, tidak ada pilihan lain kecuali berupaya memenuhi permintaan besaran diyat dari keluarga korban.
“Ini, kan dilematis, kalau tidak dipenuhi dengan uang diyat 7 juta RS, tentu nasib Satinah langsung dipancung. Lebih lagi, pemerintah Arab Saudi tidak bisa campur tangan dalam menegosiasikan penurunan harga diyat karena merupakan wilayah privat dari keluarga korban,” ungkapnya.
Pada sisi lain, Irgan meminta pemerintah bersikap proaktif melibatkan komponen masyarakat di tanah air yang ingin berpartisipasi mengumpulkan sumbangan dana untuk melengkapi uang diyat terhadap kasus Satinah. Untuk keperluan itu, pemerintah diharapkan menggalang secara langsung agar segera memperoleh kekurangan uang pembayaran diyat sebesar 3 juta RS.
“Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yuhoyono tidak boleh berdiam diri dalam persoalan nasib Satinah, dan sepatutnya berperan paling aktif dengan turut menyediakan dana diyat yang masih kurang itu,” pintanya.
Irgan sendiri mengapresiasi langkah Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah yang telah membuka rekening dana bantuan diyat untuk Satinah sejak beberapa waktu.
Satinah berangkat ke Arab Saudi untuk kedua kalinya sebagai TKI Penata Laksana Rumah Tangga pada 2006 melalui PT Djasmin Harapan Abadi. Ia bekerja di keluarga majikan perempuan Nura Al Gharib di Provinsi Al Gassem. Pada 2009, Satinah terlibat kasus pembunuhan majikannya itu, yang dipicu adanya beban penganiayaan berikut perlakukan tidak senonoh baik dari majikan maupun keluarganya secara berulang-ulang.
Saat pembunuhan terjadi, Satinah dan Nura sedang berada di dapur. Untuk kesekian kali, Nura menganiaya Satinah dengan cara membenturkan ke tembok yang memaksanya menyelamatkan diri. Selanjutnya, Satinah memukulkan adonan roti ke tengkuk Nura hingga korban tak sadarkan diri. Nura meninggal setelah sempat koma beberapa lama di rumahsakit.
Dengan peristiwa itu, Satinah lantas menyerahkan ke kantor polisi setempat untuk mengakui perbuatannya. Meskipun begitu, Satinah juga dianggap mencuri uang majikan sebesar 37.970 RS.
Sejak saat itu pula Satinah berada di Penjara Gassem. Sementara itu, dalam persidangan syariah tingkat pertama pada 2009 sampai kasasi 2010, kasus Satinah ditetapkan dengan putusan hukuman mati (qishash) atas tuduhan melakukan pembunuhan berencana pada majikan perempuannya.
Pelaksanaan hukuman mati Satinah seharusnya dilakukan bulan Agustus 2011, tetapi telah diperpanjang tiga kali yakni Desember 2011, Desember 2012, dan Juni 2013 lantaran masih ditempuh upaya pemaafan dan perundingan diyat yang melibatkan Gubernur Gassem.
Proses pemaafan atas kasus itu tercapai dan pemancungan dapat diganti dengan mekanisme pembayaran berdasarkan diyat kepada keluarga korban. Mengenai besarnya uang diyat itu, semula diminta 15 juta RS, kemudian diturunkan menjadi 10 juta RS, dan terakhir keluarga korban mematok sebesar 7 juta RS. (Mirza)