Opini
Islamofobia dan Pendidikan Kolaborasi Kebaikan
Oleh: Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Gelombang Islamofobia di dunia Barat maupun Timur tampaknya semakin menguat. Hasil riset lembaga think tank Turki, SETA, yang dipublikasikan dalam “Laporan Islamofobia Eropa 2019” menemukan bahwa Muslim yang tinggal di negara-negara Eropa cenderung mendapat perlakuan diskriminatif. Masyarakat Eropa semakin kewalahan oleh wacana Islamofobia. Laporan itu juga menunjukkan pemerintah dan media arus utama berpartisipasi mereproduksi wacana Islamofobia yang membahayakan hak-hak dasar jutaan warga Eropa. Pada 2019, ada kenaikan jumlah insiden kebencian terhadap Muslim dan bangkitnya ketakutan pada orang asing.
Selain itu, Islamofobia juga muncul di Australia setelah warga negaranya menjadi pelaku penembakan 51 jamaah Shalat Jumat di dua masjid New Zealand. “Ada penelitian ‘Far right-wing violence and terrorism’, yang mengungkap kekerasan dan terorisme lebih banyak dilakukan oleh mereka ketimbang orang Islam dan pendatang.” Menurut Suaedy, kebangkitan Islamofobia adalah gejala populisme oligarki. Fenomena ini merupakan respons kebangkitan gerakan rakyat bawah seperti saat terpilihnya Presiden Obama, menjadi sentimen kulit putih kaya raya pada Trump. Gerakan seperti ini juga muncul di India dengan mengeluarkan UU tentang Kewarganegaraan yang mendiskriminasikan Muslim oleh Hindu. Di Myanmar juga terjadi diskriminasi etnis Rohingya oleh Budhis (Republika, “Islamofobia Makin Menguat di Eropa”, 21 Juni 2020).
Dalam konteks ini, Ali Munhanif menyatakan bahwa Islamofobia dalam jangka pendek adalah manifestasi globalisasi. Dunia Barat, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa, ternyata tidak siap dengan globalisasi yang diiringi dengan migrasi para profesional, tenaga kerja. Globalisasi membutuhkan kesediaan untuk menerima pengalaman baru, yang tidak ada preseden sebelumnya. Ironisnya ketidaksiapan ini terjadi di dunia Barat.
Lebih lanjut Ali Munhanif menjelaskan bahwa Islamofobia juga muncul karena problem identitas, setelah pertentangan sosialisme dan kapitalisme selesai. Karena ketiadaan dialog dan saling mengenal, problem identitas ini melahirkan kekerasan terhadap komunitas dan etnis serta agama lain sehingga muncul yang disebut Islamofobia. Dunia Barat sebenarnya telah mengenal budaya lain, termasuk Islam, melalui kolonialisme.
Akan tetapi, generasi yang lahir belakangan tidak mengenal budaya selain budaya mereka, termasuk budaya baru seperti Islam, sehingga mereka memiliki prasangka. Islam dan budayanya dianggap sebagai ancaman bagi modernitas yang mereka jalani. Untuk mengatasi masalah ini, dialog antarkelompok agama perlu dilakukan. Indonesia telah memulai lebih dahulu pada 1970-an, sebelum negara-negara Barat melakukannya. Dialog agama bersifat jangka panjang dan perlu terus dilakukan di Barat maupun di Indonesia untuk menghilangkan Islamofobia. (Republika, “Islamofobia Makin Menguat di Eropa”, 21 Juni 2020).
Fenomena Islamofobia juga terjadi di Indonesia. Hal ini antara lain terlihat pada sebagian pegiat media sosial yang mempersoalkan Islam, padahal yang bersangkutan sendiri mengaku Muslim. Misalnya saja, Abu Janda menyatakan bahwa “Islam adalah agama yang arogan di Indonesia. Yang arogan di Indonesia itu adalah Islam, sebagai agama pendatang dari Arab, kepada budaya asli kearifan lokal. Haram-haramkan ritual sedekah laut, sampai kebaya diharamkan dengan alasan aurat.” (Tempo, “Abu Janda Cuit Islam Arogan, PP Muhammadiyah: Tak Paham Sejarah”, 2 Februari 2021)
Dalam modus yang lain, Islamofobia juga tampak pada pelaporan Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Alumni ITB terhadap Prof. Dr. Muhammad Din Syamsuddin, MA dengan tuduhan radikal dan menilai Din Syamsuddin melakukan pelanggaran yang substansial atas nama norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN dan atau pelanggaran disiplin PNS. Laporan GAR Alumni ITB tersebut mendapatkan respons dari Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas yang meminta semua pihak untuk tidak mudah menilai seseorang memiliki paham radikal tertentu.
Yaqut menyatakan sikap kritis dan radikal merupakan dua hal yang berbeda. Ia juga mengatakan bahwa berpolitik merupakan pelanggaran untuk ASN, tetapi menyampaikan kritik adalah hal yang sah. “Berpolitik memang bisa jadi pelanggaran seorang ASN. Namun soal lontaran kritis sah-sah saja sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Jokowi bahwa kritik itu tidak dilarang.” (website resmi Kemenetrian Agama, Sabtu,13/2/2021). (https://nasional.kompas.com/read/2021/02/14/13262521/kasn-teruskan-laporan-alumni-itb-terhadap-din-syamsuddin-ke-satgas-dan).
Stigmatisasi dan tuduhan radikal terhadap tokoh sekaliber Din Syamsuddin tentu saja sarat dengan target dan agenda tertentu terkait dengan institusi yang menjadi afiliasinya, sekurang-kurangnya Muhammadiyah dan MUI. Menurut Azyumardi Azra, tuduhan radikal terhadap Din Syamsuddin itu sangat absurd, tidak berdasar, dan sangat tendensius. Karena Din Syamsuddin termasuk penggagas Islam wasati (moderat), pelopor dialog lintas agama, perdamaian dunia, dan pembangunan peradaban dunia yang berkeadilan.
Mengapa Takut pada Islam?
Kehadiran Islam di muka bumi membawa misi perdamaian dan pembumian ajaran kasih sayang (rahmat) (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107). Selain bertujuan menyelamatkan umat manusia dari penyimpangan akidah politeisme (syirik) dengan menuhankan berbagai macam berhala, kekobrokan moral (akhlak), dan penyakit masyarakat pada masa jahiliyah yang sudah mentradisi seperti: mencuri (korupsi), berjudi, berzina (pornografi dan pornoaksi), mengonsumsi miras dan narkoba, Islam juga mengkritisi, merevisi, dan meluruskan teologi agama samawi sebelumnya yang mengalami distorsi (penyimpangan). Misalnya, Isa bin Maryam diyakini sebagai anak Tuhan, bahkan dituhankan; dan Uzair di kalangan Yahudi juga dianggap anak Tuhan, padahal Tuhan pasti tidak beristri, apalagi beranak pinak (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Pertanyaannya, “Mengapa Islam ditakuti atau dipersepsi oleh pihak tertentu sebagai ancaman sehingga kemudian dimusuhi, bahkan para pengikutnya (umat Islam) didiskriminasi dan dituduh radikal?” Lebih ironis dan jelas merupakan penistaan terhadap agama, jika Islam dituduh sebagai agama pendatang dari Arab yang arogan. Pandangan nirempati, sinis, dan ahistoris ini jelas menunjukkan bahwa yang berpandangan seperti itu tidak mengerti Islam, atau mengerti tetapi sangat dangkal, namun kemudian yang bersangkutan boleh jadi “diperalat” oleh pihak tertentu untuk mendeskreditkan Islam demi meraup keuntungan finansial tertentu. Fenomena ini mirip para buzzer dan influencer yang bekerja “menghabisi lawan politik” sesuai dengan pesanan dan bayaran pihak tertentu.
Dengan kalimat lain, penyebab utama munculnya fenomena Islamofobia adalah ketidaktahuan atau ketidakpahaman terhadap ajaran Islam secara komprehensif. Pepatah “Tak kenal maka tak sayang” masih berlaku bagi mereka. Annemarie Schimmel dalam pengantar buku “al-Islam ka Badil” (Islam sebagai Agama Alternatif) karya Murad Wilfried Hofmann menyatakan bahwa Barat cenderung memusuhi dan memosisikan Islam sebagai ancaman karena mereka tidak mengenal dan memahami Islam dan budayanya dengan baik. Dalam hal ini, Schimmel mengutip kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib RA, bahwa manusia itu cenderung menjadi musuh terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya (al-Insan ‘aduwwun ma jahila bihi).
Ketidakpahaman terhadap Islam itu boleh jadi disebabkan oleh dakwah dan pendidikan Islam yang belum efektif dan bisa diterima oleh mereka yang bersikap fobi terhadap Islam di satu segi, dan di segi lain, boleh jadi mereka memiliki pemahaman tentang Islam dengan relatif baik, namun tetap bersikap antipati terhadap Islam karena faktor sejarah kelam yang mereka alami, seperti: Perang Salib dan pembebasan –ekspansi, istilah mereka—dunia Islam terhadap Eropa, khususnya Andalusia (Spanyol), Sicilia, Perancis, dan sebagainya.
Selain itu, Islamofobia juga disebabkan oleh sikap oportunisme dan orientasi neokolonialisme terhadap dunia Islam. Mereka bersikap membenci, antipati, bermusuhan, dan menjadikan Islam sebagai rival, karena mereka menyadari bahwa dunia Islam itu memiliki sumber daya alam yang kaya raya untuk diperebutkan dan dimanfaatkan sedemikian rupa. Pandangan oportunistik dan kepentingan politik ini kemudian mendapatkan semacam justifikasi teoretik dari Samuel Huntington P. Huntington bahwa setelah Perang Dingin usai dan Uni Sovyet runtuh (koleps), maka akan terjadi benturan peradaban (clash of civilizations) antara Barat dan Islam. Tesis Huntington inipun terbukti bahwa dengan berbagai alasan yang dibuat-buat –seperti: melanggar HAM, anti demokrasi, mempunyai senjata nuklir atau pemusnah massal—Amerika Serikat dengan sekutunya menyerang Irak, Afganistan, Iran, Palestina (melalui pemerintah zionis Israel), Libia, dan sebagainya.
Islam juga ditakuti karena dinilai memiliki kekuatan militan dan spirit jihad dalam memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan melawan kapitalisme, liberalisme, sekularisme, permisivisme, dan hedonisme Barat. Islam kemudian dituduh sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, radikalisme, dan terorisme. Bahkan Barat pun diduga kuat merekayasa munculnya organisasi terorisme atas nama Islam, seperti al-Qaeda pimpinan Osama ben Ladin dan ISIS, yang kemudian dijadikan alasan pembenar untuk memusuhi dan memerangi dunia Islam.
Selain alasan terorisme, dunia Islam, khususnya Timur Tengah, kemudian dibuat “kacau balau” dengan isu “Arab Spring” (ar-Rabi’ al-‘Arabi) karena sebagian besar pemimpin negara Arab itu dinilai otoriter, tidak demokratis, dan sudah terlalu lama berkuasa, tanpa ada suksesi dan regenerasi. Tunis, Yaman, Suriah, Bahrain, Mesir, Libia, Irak dan sebagainya kemudian menderita perang bersaudara yang membuat mereka tidak berdaya, baik secara militer, politik, maupun ekonomi, sehingga memiliki ketergantungan politik dan ekonomi kepada negera-negara Barat. Padahal motif utama Barat melancarkan permusuhan dan perang terhadap dunia Islam adalah neokolonialisme dan neoimperialisme dengan motif ekonomi dan bisnis, yaitu bisnis senjata, penguasaan eksplorasi dan penguasaan energi (minyak bumi dan gas) dan sumber daya mineral, proyek rekonstruksi aneka sarana prasarana pascaperang, dan pencengkraman politik pengaruh dan balas jasa.
Pendidikan Kolaborasi Kebaikan
Pada dasarnya hubungan dunia Islam dan Barat mengalami pasang surut, seiring dengan konstelasi sosial politik dan kontestasi perebutan politik kepentingan. Salah satu fakta yang tidak dapat ditolak adalah bahwa dunia Islam teramat sering menjadi korban aksi Islamofobia dari pihak lain. Islam menjadi tertuduh, ternodai, dibenci, dimusuhi, diprovokasi, disudutkan, didiskriminasi, diteror, dan diperangi. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita perlu mengembangkan pendidikan kolaborasi kebaikan.
Esensi pendidikan kolaborasi kebaikan (tarbiyat al-ta’awun ala al-birri wa al-khairi) adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai kolaborasi yang strategis dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam dengan pihak manapun, selama sesuai dengan visi, misi, dan prinsip utama ajaran Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin. Pendidikan kolaborasi kebaikan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan, kemanfaatan, dan kemajuan bersama dalam sistem kemitraan dan kerjasama konstruktif yang bersifat simbiosis mutualistik.
Landasan signifikansi pendidikan kolaborasi kebaikan adalah pesan al-Qur’an: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolonglah dalam berbuat dosa dan permusuhan (pelanggaran)…” (QS al-Maidah [5]:2). Pendidikan kolaborasi kebaikan ini penting untuk mengembangkan sikap terbuka dan berani berinteraksi dan berdialog dengan sesama Muslim dan pihak lainnya demi membuka peluang kerjasama yang saling menguntungkan, menyejahterakan, dan memajukan umat dan bangsa.
Spirit berkolaborasi sejatinya merupakan pesan utama al-Qur’an untuk saling mengenal dan memahami umat dan bangsa lain, sehingga wawasan multikulturalisme dan multikesalehan dan kemaslahatan dapat dikembangkan. Menurut Hannan al-Lahham dalam Hadyu as-Sirah an-Nabawiyyah fi at-Taghyir al-Ijtima’i (2001), ketika hijrah ke Madinah selepas transit tiga hari di Gua Tsur, sekitar 7Km arah Selatan Mekkah, Nabi Muhammad SAW menggalang kerjasama strategis dengan seorang musyrik (ada berpendapat seorang Yahudi) bernama Abdullah bin Uraiqit sebagai pemandu jalan profesional yang mendampingi dan memandu perjalanan dari Gua Tsur menuju Yatsrib (Madinah). Ketika sampai di Madinah, Nabi SAW juga menginisiasi kolaborasi lintas agama, khususnya Yahudi dan Nashrani, dengan membuat traktat perjanjian hidup damai dalam bentuk Mitsaq al-Madinah (piagam Madinah).
Pendidikan kolaborasi kebaikan juga sarat dengan nilai keterbukaan, kesediaan menerima perbedaan, toleransi, saling berbagi, bersinergi, dan saling mengisi kebaikan. Menjelang kemerdekaan RI, perdebatan keras dan panas mewarnai para pendiri bangsa dalam merumuskan dasar negara, sehingga akhirnya tercapailah kompromi dan harmoni di antara sembilan anggota panitia yang dibentuk oleh BPUPKI. Kolaborasi lintas suku, agama, budaya, dan bahasa Panitia Sembilan ini akhirnya bersepakat merumuskan Pancasila sebagai dasar negara RI. Oleh karena itu, Muhammadiyah menilai bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan Darul Ahdi was Syahadah (Negara hasil kolaborasi, kompromi, kesepakatan sekaligus kesaksian dan pembuktian kebaikan bagi semua).
Dalam konteks itu, sebagai pemegang saham mayoritas kesepakatan sebagai hasil kolaborasi kebaikan hati Panitia Sembilan, umat Islam berbesar hati dan berjiwa lapang menerima pencoretan tujuh kata yang pernah mengemuka dalam Piagam Jakarta karena ada wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Dengan kata lain, Islam mengajarkan pentingnya kolaborasi dan toleransi dalam mengakomodasi kemasalahatan bersama. Sayangnya, dengan mengatasnamakan Pancasila, sebagian anak bangsa ini dengan mudahnya menuduh dan menstigma saudaranya anti Pancasila dan radikal, hanya karena berbeda pendapat dan berpenyakit hati Islamofobia, padahal sang penuduh itu sendiri tidak memahami dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara konsisten.
Apabila pendidikan kolaborasi kebaikan dijalankan dengan spirit mutual understanding (saling memahami), saling mengedepankan kemasalahatan bersama, saling bersinergi demi masa depan yang lebih baik, dan saling bersikap harmoni dan toleransi, niscaya siapapun tidak dengan mudah melakukan stigmatisasi radikal, menuduh anti Pancasila, anti NKRI dan sebagainya hanya karena menjadi penjilat kepentingan tertentu dan pengkhianat bangsa. Pendidikan kolaborasi kebaikan meniscayakan aktualisasi spirit mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Oleh karena itu, pendidikan kolaborasi kebaikan akan terlihat hasilnya apabila dibarengi dengan pendidikan koalisi anti keburukan dan kejahatan, anti perbuatan dosa dan permusuhan (ta’awun ala al-itsmi wa al-‘udwan). Korupsi, penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan partai dan segelintir orang, nepotisme, pengkhianatan terhadap kedaulatan, harkat, dan martabat bangsa mestinya dapat direm dan diminimalisir dengan spirit pendidikan kolaborasi kebaikan. Diyakini bahwa pendidikan kolaborasi kebaikan termasuk keterampilan abad ke-21 yang sangat diandalkan untuk kemajuan masa depan, selain keterampilan berkomunikasi efektif, berpikir kritis, berkreasi, berinovasi, dan berliterasi multidimensi.
Nilai-nilai pendidikan kolaborasi kebaikan perlu diteladankan para negarawan, guru bangsa, pemimpin negara, pimpinan partai politik, pengelola media massa (agar netral dan objektif, tidak menjadi alat kekuasaan), para ulama, tokoh agama, dan sebagainya. Keteladanan profetik yang baik (uswah hasanah) selalu dinilai sebagai model pendidikan yang paling efektif dan relevan bagi segala zaman. Tanpa keteladanan profetik yang baik, pendidikan nilai seperti pendidikan kolaborasi kebaikan ini akan menjadi nilai yang hidup (living values) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan berinteraksi di dunia internasional.
Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 3/XIX Rajab 1442 H/Maret 2021 M. (uinjkt)