Nasional
Terkait Diskresi Kepolisian, Begini Penjelasan Kabareskrim Ari Dono Sukmanto
Sebagai pelindung dan pelayan bagi masyarakat, setiap anggota Polri memiliki kewenangan khusus dalam penegakan hukum yaitu wewenang diskresi. Meski demikian, polemik mengenai hak khusus bagi aparat baju coklat itu, masih terus mengemuka.
Sebut saja misalnya peristiwa salah tembak oleh aparat di Sumatera Selatan (Sumsel)beberapa waktu silam. Saat itu sebuah kendaraan justru memacu kendaraannya sehingga polisi yang tengah menggelar razia, menduga pemilik kendaraan tersebut telah melakukan tindakan kriminal. Lalu ada juga tragedi saat seorang polisi menembak anaknya sendiri karena menduga rumahnya tengah disatroni maling. Serta kasus-kasus serupa lainnya.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Pol. Tito Karnavian sebenarnya telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan evaluasi atas kebijakan itu. Penggodokan regulasi atas diskresi itu kini memang telah memiliki titik terang.
“Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Kualitas suatu hukum ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia,” kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto dalam keterangan tertulisnya, usai Focus Group Discussion bertema “Dikresi Kepolisian: Masalah dan Manfaatnya’ di Jakarta, Selasa (03/10/2017).
Ari merunut persoalan bahwa pada dasarnya diskresi kepolisian memiliki tujuan hukum untuk kemaslahatan bersama.
“Tujuan hukum untuk mencapai ‘the greatest happiness for the greatest number of people,” jelas Ari.
Nasional, kabartangsel,com – Sebagai pelindung dan pelayan bagi masyarakat, setiap anggota Polri memiliki kewenangan khusus dalam penegakan hukum yaitu wewenang diskresi. Meski demikian, polemik mengenai hak khusus bagi aparat baju coklat itu, masih terus mengemuka.
Sebut saja misalnya peristiwa salah tembak oleh aparat di Sumatera Selatan (Sumsel)beberapa waktu silam. Saat itu sebuah kendaraan justru memacu kendaraannya sehingga polisi yang tengah menggelar razia, menduga pemilik kendaraan tersebut telah melakukan tindakan kriminal. Lalu ada juga tragedi saat seorang polisi menembak anaknya sendiri karena menduga rumahnya tengah disatroni maling. Serta kasus-kasus serupa lainnya.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Pol. Tito Karnavian sebenarnya telah memerintahkan jajarannya untuk melakukan evaluasi atas kebijakan itu. Penggodokan regulasi atas diskresi itu kini memang telah memiliki titik terang.
“Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum bertugas melayani masyarakat, bukan sebaliknya. Kualitas suatu hukum ditentukan dengan kemampuannya untuk mengabdi pada kesejahteraan manusia,” kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto dalam keterangan tertulisnya, usai Focus Group Discussion bertema “Dikresi Kepolisian: Masalah dan Manfaatnya’ di Jakarta, Selasa (03/10/2017).
Ari merunut persoalan bahwa pada dasarnya diskresi kepolisian memiliki tujuan hukum untuk kemaslahatan bersama.
“Tujuan hukum untuk mencapai ‘the greatest happiness for the greatest number of people,” jelas Ari.
Untuk itu, kata Ari, diskresi sebenarnya mendorong seluruh eksponen masyarakat untuk berpikir ulang terhadap cara mempelajari dan cara berhukum yang bertujuan menghadirkan “sebenar keadilan” atau sering disebut keadilan substantif.
“Berhukum itu harus dengan hati nurani,” kata Ari.
Ari melanjutkan, hati nurani yang dimaksud adalah paradigma terhadap hukum sosial kemasyarakatan di Indonesia.
“Indonesia telah memiliki ekstraksi kearifan lokal yang terumuskan oleh pendiri bangsa ini yaitu Pancasila. Di dalamnya terwujud fakta bahwa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia terikat juga dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Ekstraksi musyawarah untuk mufakat ini sebenarnya yang menjadi ruh dari diskresi kepolisian,” papar Ari.
Ari juga menyebut, diskresi kepolisian sebenarnya bukan sekedar pandangan negatif selama ini saja.
“Peristiwa Polantas yang berhasil melumpuhkan penyandera di angkot beberapa waktu lalu, misalnya, itu merupakan diskresi yang membuahkan hasil positif. Atau penyelesaian-penyelesaian konflik di masyarakat oleh Bhabinkamtibmas yang selama ini nyaris kurang mendapat porsi padahal selalu berlangsung dan menuntaskan permasalahan meski nyaris tanpa ekspose dari media massa,” sebut Ari.
Meski demikian, Ari tidak menampik bahwa sampai sekarang ini ketidakadilan masih terjadi.
“Itu muncul sebagai akibat cara kita berhukum yang masih terpenjara oleh ritual-ritual legalitas formal yang mengunggulkan cara kerja “discriminate, measure, categorize” yang menghasilkan gambar hukum yang berkeping-keping (fragmented),” akunya.
“Pengakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan substantif. Hal ini disebabkan oleh karena penegak hukum terpenjara oleh ‘ritual’ penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan serta prosedur yang kaku,” lanjutnya.
“Hukum progresif memang lahir akibat kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivis. Yakni, hanya terpaku pada teks dalam undang-undang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut paham positivisme kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia ‘mengharuskan’ hakim sebagai corong undang-undang,” tambahnya.
Untuk itu, menurut Ari, implementasi atas regulasi diskresi Polri ke depan nanti akan tetap mengacu pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
“Bentuknya nanti Perkap yang memang untuk dapat menghadirkan gambar hukum yang utuh di tengah masyarakat karena mau tidak mau kita harus mempelajari hukum dan cara berhukum kita dengan berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan. Diskresi kepolisian adalah keniscayaan,” pungkasnya. (fid)