Opini
Deklarasi Masyumi Reborn, Masyumi Kualat dengan NU?
Oleh: KH. M. Imaduddin
Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU
Partai Masyumi yang sudah almarhum di jaman Bung Karno, -dibubarkan oleh Bung Karno karena tokoh-tokohnya terlibat dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA- sulit untuk hidup kembali dan besar seperti dulu, meski ideologinya masih hidup hingga kini.
Di awal reformasi, lahir Partai Bulan Bintang, yang dianggap sebagai penerus Masyumi karena mengusung ideologi Partai Masyumi dulu. Tapi setelah Pemilu 1999, partai ini suaranya engga pernah naik lebih dari 1 persen alias Parnoko (Partai Nol Koma).
Lalu bagaimana dengan PKS? PKS tidak dinggap sebagai representasi Masyumi. Secara ideologis PKS sanadnya justru kepada Gerakan Tarbiyah di Mesir yang dipelopori Sayid Quthb (pecahan Ikhwanul muslimin). Sementara Masyumi, meski ada kaitan dengan IM, namun hanya dari sisi semangat pan islamisme dan penerimaan terhadap demokrasi dan sistem parlementer.
Dan yang berbeda lagi, tokoh-tokoh Masyumi pada jaman itu bukanlah lulusan timur tengah, justru kebanyakan berpendidikan barat. Beda dengan PKS yang pendiri dan penggeraknya semuanya adalah lulusan Timur Tengah, terutama lulusan Saudi.
Apa sebab Masyumi susah bangkit lagi?
Ini mungkin hanya analisa santri dan orang NU saja, boleh percaya boleh engga. Suka-suka anda saja. Dalam tradisi santri atau tradisi Nahdlatul Ulama (NU) secara umum, ada istilah kualat. Kualat itu tidak bisa dijelaskan secara rasional, tapi nyata efeknya. Bingung, kan?
Saya coba jelaskan kualat sedikit ilmiah. Kualat, dalam KBBI, maknanya “mendapat bencana; kena tulah; celaka; terkutuk”. Dicontohkan disana, seperti mendapat bencana karena melawan atau berbuat tidak baik kepada orangtua. Ini artinya kualat itu terkait erat dengan perbuatan tidak baik yang dilakukan kepada benda atau orang yang dimuliakan.
Doktrin kualat adalah bagian dari pendidikan di pesantren. Dalam kitab-kitab klasik seperti Ta’lim Al muta’alim, keberkahan dan kemanfaatan ilmu bergantung kepada taat kepada guru dan ridho dari seorang guru. Santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren, bukan berarti selesai pula hubungannya dengan kiyai. Hubungan batiniah antara santri dengan kiyainya terus berlanjut, bahkan meski kiyainya sudah meninggal. Inilah kenapa santri tidak berani melawan kiyainya karena takut kualat. Sebandel-bandelnya santri, tidak akan berani melawan kiyai atau bertentangan dengan kiyainya.
Kualat juga bisa terjadi bila bersikap tidak baik kepada hal-hal yang dimuliakan dalam agama, baik berupa manusia atau benda, seperti orangtua, ulama, pesantren, mushaf Al Qur’an, kitab-kitab agama (kitab kuning), makam auliya, dan lain-lain.
Jadi jawaban dari kenapa Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno dan hingga kini tidak bangkit lagi kebesarannya adalah menurut saya karena kualat kepada NU… Hehehe. Lagi-lagi, Anda boleh menolak pandangan saya ini, mencaci maki saya juga boleh..
SEJARAH KONFLIK MASYUMI-NU
Mari kita bicara sejarah konflik Masyumi dengan NU. NU pernah menjadi bagian dari Masyumi, bahkan NU termasuk pendiri Masyumi yang lahir di masa kemerdekaan. Pada awalnya posisi NU sangat terhormat di dalam struktur Masyumi. NU duduk di jajaran Majelis Syuro. Hadrotussyekh Hasyim Asy’ari didapuk sebagai ketua Majlis Syuro. Majlis Syuro merupakan lembaga yang amat vital di Masyumi. Semua kebijakan Partai wajib mendapatkan persetujuan Majlis Syuro.
Sejak awal konflik antara kaum pesantren dengan kaum modernis dalam tubuh Masyumi sering mengemuka. Kaum modernis sering merendahkan ulama-ulama NU yang dianggap tidak mengerti apa-apa tentang politik.
Malah secara terbuka seorang tokoh Masyumi, Mohammad Saleh, walikota Yogyakarta yang juga tokoh Masjumi (dari Muhammadiyah), secara terang-terangan dalam pidatonya merendahkan ulama-ulama NU dalam Kongres Masyumi di Yogyakarta pada Desember 1949. “Politik adalah luas. Politik ini saudara-saudara, tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, jangan dikira scope-nya politik ini hanya di sekeliling pondok dan pesantren saja. Dia luas menyebar ke seluruh dunia”, pidato Saleh waktu itu.
Ulama-ulama NU tak terima dengan ucapan Saleh tersebut. Mereka protes keras dan menuntut Saleh mencabut perkataannya. Saleh bergeming. Sekitar 30 orang NU pun meninggalkan ruang kongres.
Dalam kongres itu pula NU merasa kian tersisihkan. Fungsi Majelis Syuro, yang berisi para kiai atau ulama, dipreteli dan menjadi hanya sebagai dewan konsultatif yang tak mempengaruhi kebijakan partai.
Kongres juga menolak usulan NU untuk mengubah struktur Masyumi. NU menuntut perubahan Masyumi menjadi suatu federasi dengan alasan hal itu akan menjamin pembagian kekuasaan yang lebih proporsional. Demikian sebagaimana yang ditulis oleh situs Historia.
Kekecewaan demi kekecewaan dan penghinaan demi penghinaan yang diterima NU dari golongan modernis mendorong NU NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952. NU merasa dikhianati oleh Masyumi padahal suara terbesar Masyumi berasal dari NU. NU membentuk partai sendiri dan pada tahun 1955 NU ikut pemilu pertama. NU berada di posisi ketiga pemenang pemilu sehingga mendapatkan posisi wakil perdana menteri.
DEKLARASI MASYUMI REBORN DAN KELOMPOK ISLAM PENGECUT
7 November 2020 dideklarasikan Partai Masyumi Reborn oleh tokoh-tokoh Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII). Latar belakang pembentukan Masyumi Reborn, seperti diungkapkan para pendirinya, ialah selama aspirasi umat Islam belum terakomodir dengan baik. Bahkan, partai berbasis massa Islam yang ada dinilai belum berperan maksimal. Gampangnya, Masyumi Reborn ingin mengulang kejayaan Partai Masyumi di masa lalu.
Saya pribadi, menyambut baik berdirinya Masyumi Reborn, karena dengan mendirikan partai politik berarti secara resmi telah menyalurkan aspirasi melalui mekanisme yang benar. Pancasila dan UUD 45 menjamin sepenuhnya aspirasi setiap kelompok di negeri ini, termasuk menerapkan syariat Islam dalam setiap lini kehidupan bangsa.
Bandingkan, dengan sekelompok umat Islam pengecut negeri ini. Kenapa saya katakan pengecut? Karena mereka tidak berani bertarung secara elegan dengan membentuk partai politik untuk memperjuangkan ide-idenya di parlemen. Gerakan dan cita-citanya politik, tapi tidak mau jadi partai politik, ini namanya apa kalau bukan pengecut?
Mereka dikenali dengan: (1) selalu mengatasnamakan umat Islam (sejak kapan umat Islam Indonesia memberi mandat kepada mereka?), (2) selalu meneriakkan cita-cita NKRI Bersyariah, (3) Suka menjual dalil-dalil agama untuk tujuan politik kekuasaan. Masih jelas dalam ingatan, saat Pilgub kemarin bagaimana mereka menggunakan politik ayat dan mayat untuk mendukung calon tertentu, (4) Hobi memprovokasi rakyat dengan bungkus agama, (5) suka menggerakkan demo berjilid-jilid.
Kembali ke soal berdirinya Masyumi Reborn. Rekaman sejarah menceritakan kepada kita bagaimana dulu Partai Masyumi mengkhianati NU. Nah, jika mau menggunakan teori kualat yang saya bahas di atas, Masyumi itu kualat dengan NU. Dengan demikian, jika ingin besar, ya harus minta maaf kepada NU. Bukan cuma minta maaf, juga harus ziarah ke makam para pendiri NU, khususnya Mbah Wahab Hasbullah. Ini sekedar saran, kaga diikutin juga kaga ngapa-ngapa, kata orang Betawi.. hehehe
Bogor, 7 Nopember 2020