Connect with us

Opini

Mencari Pemimpin Yang Hilang

Oleh: Kang Utay

Dalam literatur Islam seorang pemimpin adalah pelayan ummat. Bukan seorang yang haus akan puja dan puji. Bahkan minta penghargaan di luar batas norma yang berlaku di masyarakat. Dan jika mungkin, memimpin tanpa harus diikuti oleh permintaan jaminan finansial.

Memang sulit membayangkan memimpin sebuah kelompok tanpa ada imbalan materi. Apalagi kelompok dalam sekup besar negara bangsa. Setingkat RT saja yang katanya pekerjaan sosial, tapi tidak sedikit minta imbalan meski bukan dalam bentuk formal penggajian. Semisal seorang RT akan merasa tidak canggung menerima imbalan hanya untuk sebuah tanda tangan dalam pengajuan pembuatan surat-surat warga.

Tantangan terberat tanpa meminta imbalan adalah dalam diri seorang pemimpin. Jika dirinya merasa memimpin adalah bagian dari tugas kemanusiaan yang begitu menyenangkan, tanpa imbalan pun mereka akan bersedia. Meski ditentukan oleh norma sosial di kelompoknya berhak dapat imbalan, seorang pemimpin itu akan menolaknya.

Advertisement

Saya kira motifasi personal ini yang melahirkan kesan kepemimpinan sepanjang masa. Kita menyaksikan seorang Hitler yang begitu ambisius menegaskan keutamaan suku Aria. Perang dunia yang melebar ke penjuru dunia ini dalam batas personal adalah motifasi seorang Hitler. Selebihnya adalah kepentingan yang mendapatkan tempatnya di tengah motifasi itu sendiri.

Kembali ke literatur Islam, surat Annas mendeskripsikan godaan umat manusia paling sulit adalah dalam diri manusia itu sendiri. Bahkan ada penafsiran menyatakan bahwa godaan jin hanya akan berjalan jika godaan dalam diri manusia sendiri bergerak. Godaan jin adalah simbol luar yang dipengaruhi oleh motifasi personal itu.

Bahkan kalimat ibda binnafsik_mulailah dengan diri sendiri, sengaja dikenalkan dalam retorika dakwah Islam. Karena ajakan paling aktual itu bukan rangkaian indah kata-kata di podium tabligh akbar, tapi keseharian hidup seorang juru dakwah. Dakwah perbuatan telah ditentukan sebagai kualitas paling tinggi. Sulit sekaligus menantang, dibandingkan dengan menguasai panggung dengan kata-kata.

Nabi sendiri adalah seorang pemimpin sekaligus juru dakwah paling fenomenal. Micahel G. Hart dalam buku “100 Orang Berpengaruh di Dunia”, menilai waktu dakwah nabi selama 23 tahun sangat singkat untuk ukuran capain yang dihasilkannya. Belum tercatat dalam sejarah dunia, seorang yatim piatu mampu mengubah jarum peradaban begitu singkat. Sampai tahun berikutnya menepi di bumi pertiwi lewat saudagar Gujarat.

Advertisement

Pola memimpin dan berdakwah memang efektif bagi umat. Nabi dikenal sangat sederhana dalam segala hal. Tidak dikenal peninggalan materi begitu rupa bagi keturannya. Bahkan memimpin nabi telah menghabiskan harta yang telah dimilikinya. Saudagar kaya yang dinikahi nabi itu, nyaris tidak protes kala semua kemegahan digadaikan untuk mengangkat panji perjuangan Islam.

Bergeser sedikit ke tokoh Mahatma Ghandi yang menyediakan harapan merdeka bagi India. Beliau adalah sosok yang tidak pernah dikenal sebagai pemimpin yang rakus akan kekuasaan. Apalagi limpahan materi yang memungkinkan bagi dirinya untuk meraih itu. Mahatma Ghandi adalah seorang pemimpin yang menggadaikan hidup dan kehidupannya untuk menyadarkan rakyat India lepas dari kolonialisme Inggris.

Nama Mahatma Ghanda setali tiga uang dengan Muhammad. Minimal dalam benang merah memimpin sekaligus menjadi contoh. Dibuktikan dengan tinta emas sejarah kemajuan umat manusia. Maju dalam berfikir dan bertindak untuk mengubah tatanan hidup lebih bermartabat. Bukan hidup yang hanya untuk meraih keutamaan materi sesaat, apalagi dengan cara mengorbankan kepentingan orang banyak.

Kita memang sulit menemukan sosok pemimpin seperti Muhammad dan Mahatma Ghandi. Lebih terasa dalam batas wacana dalam lembaran harapan masyarakat. Mereka melek sejarah akan contoh pemimpin ideal pada saat yang sama melihat realitas yang berbeda. Sudah jemu memang, tapi tidak ada pilihan lain. Daripada tidak ada pemimpin sama sekali, bagi mereka menerima pemimpin yang sedikit beda juga engga apa-apa.

Advertisement

Coba lihat realitas kepemimpinan nasional kita. Dari masa kemerdekaan hingga detik ini ketika anda membaca tulisan ini. Sulit untuk menemukan sosok yang benar-benar memimpin untuk tugas kemanusiaan itu sendiri. Kalaupun terlihat menjalankan tuntutan kemanusiaan, tapi kala berkuasa nyaris tidak terlihat. Bahkan tidak sedikit yang tadinya nyaring mengajak memprjuangkan aspirasi rakyat, berakhir di jeruji besi.

Tapi, seleksi kepemimpinan bukan harus dihentikan. Ia adalah siklus kehidupan untuk melanjutkan tugas-tugas membangun. Tanpa ada seorang pemimpin tidak ada yang menjadi simnol solidaritas melakukan pembangunan. Tugas kemanusiaan adalah harus terus menjadikan bumi dipijak dimanfaatkan sesuai titah dalam kitab suci.

Seperti ada ungkapan Ibnu Taimiyyah yang sudah klasik dan sangat terkenal, “kita wajib taat pada seorang pemimpin beda agama sepanjang bisa berlaku adil pada semua lapisan masyarakat”. Jadi soal beda agama ternyata menjadi daya tawar jika mampu meberikan kemaslahatan pembangunan. Daripada menerima seorang pemimpin yang secara simbolik shalih tapi menguras harapan masyarakat.

Akhir tulisan saya kunci dengan kalimat “raiyyatul imam manutun bilmashlahah”, memimpin adalah memberi banyak manfaat. Sama halnya sebaiknya manusia adalah yang paling gigih memprjuangkan kemanfaatan bagi sesama. Memimpin itu sesederhana memberi manfaat, tapi ternyata masih sulit di lapangan. Mari kita “mencari pemimpin yang hilang”!

Advertisement

(Artikel Kang Utay Vol. 9)

Populer