Connect with us

Opini

Iman & Aman

Oleh: H. Veri Muhlis Arifuzzaman, M.Si *

“Iman bukan sesuatu yang statis di mana sekali beriman dapat bertahan selamanya. Keimanan bersifat dinamis sehingga butuh kesungguhan untuk terus dipelihara dan ditingkatkan”

Pengaruh      keikhlasan      bagi      kebahagiaan seseorang    cukup    besar    terutama    dalam menikmati kepuasan hidup. Tentu saja hal ini sangat terkait  dengan  konsep  iman  yang  diyakini  dan menjadi  pedoman  hidup  sehari-hari.  Keikhlasan sulit  dilakukan  tanpa  iman  kepada  sesuatu  yang hakiki,  yang  ultimet  dan  suci.  Sebab  ikhlas  bukan berarti  tak  bersandar  (tak  bertujuan)  pada  sesuatu apa pun. Pekerjaan yang dilakukan tanpa dasar atau tujuan jelas nothingness.

Dalam bahasa Arab, kata “îmân“ berakar tunjang dengan kata “âman”. Keduanya punya pengertian yang saling bertalian. Îmân berarti percaya, sedangkan âman merujuk pada perasaan di mana seseorang bebas dari ancaman, ketakutan atau kecemasan (utuh, tak kurang suatu apa pun). Rasa aman tidak mungkin didapat jika tidak ada kepercayaan (îmân), baik terhadap diri maupun keadaan sekitar. Meski kita mengatakan “tidak ada apa-apa” atau “semua baik-baik saja”, gejolak batin tidak dapat dibohongi jika kita tidak punya iman.

Advertisement

Namun, kepercayaan diri susah dibangun tanpa pijakan yang kuat. Pasalnya, pijakan itu berfungsi sebagai dasar penyangga yang menentukan kondisi kita menghadapi pelbagai tantangan dan rintangan. Jika pijakannya rapuh, kegetiran akan menyelimuti langkah kita. Sebaliknya, jika pijakan itu kuat maka di mana saja kita berada akan selalu siap melaluinya. Pijakan membentuk kondisi batin kita yang pada gilirannya memengaruhi performa lahir.

Oleh karena itu, pijakan harus berupa sesuatu yang maha kuat (al-qawiyyu), maha perkasa (al-‘azîz), maha gagah (al-jabbâr), maha pelindung (al-muhaymin), maha merajai (al-malik), maha besar (al-kabîr), maha agung (al-‘azhîm), maha tinggi (al-‘aliyy), maha mandiri (al-qayyûm), dan maha segalanya. Pijakan demikian tidak mungkin kita temui pada mahluk di dunia ini. Walaupun terkadang kita merasa aman saat berada di dekat seseorang, tetapi rasa itu amat rentan. Bisa jadi dalam keadaan tertentu orang di samping kita merasa takut dan khawatir sehingga kita juga merasakan hal yang sama.

Satu-satunya pijakan yang tiada tara ialah Tuhan Yang Maha Esa. Dia Maha Segalanya. Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya. Dialah tempat bergantung segala sesuatu (al-shamad). Menurut Nurchalish Madjid (Cak Nur), kata al-shamad sebenarnya metafor. Arti asal kata ini adalah batu karang yang sangat kuat, sehingga jika kita bergantungan padanya tidak akan goyah. Kata al-shamad kemudian digunakan untuk menggambarkan Tuhan sebagai tempat bergantung seluruh harapan.

Namun sebagai catatan, beriman kepada Tuhan bukan sekedar percaya bahwa Tuhan itu ada. Sebab, syaitan juga percaya keberadaan Tuhan. Bahkan mereka berdialog langsung dalam sebuah drama kosmis seputar pengangkatan Adam sebagai khalifah. Tetapi, al-Qur’an tidak menyebut syaitan beriman melainkan dikutuk sebagai kafir.

Advertisement

Ini  sebagaimana  dinyatakan,  “Dan  (ingatkah)  ketika Kami berfirman  kepada malaikat: “sujudlah kamu kepada Adam,” maka mereka bersujud kecuali iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk di antara mereka yang kafir,”(QS. 2: 34).

Beriman yang dimaksud, sebagaimana dikemukakan Cak Nur, mengandung pengertian mendalam, yakni menaruh kepercayaan pada Tuhan. Pengertian ini melampaui pengakuan akan keberadaan Tuhan. Sebab, menaruh kepercayaan tidak hanya sebatas mengakui saja, melainkan juga menerima dengan lapang dada semua anugerah dan ketentuan-Nya. Segala hal tentang hidup direlakan kepada Tuhan serta bersikap rela atas berbagai kehendak dan kuasa-Nya (râdliyatan mardliyyah).

Dengan demikian, orang beriman akan merasa aman. Jiwanya selalu tenang dan tenteram tanpa khawatir terhadap kejadian yang dialami. Banyak penegasan dalam al-Qur’an, salah satunya: “…Barang siapa yang beriman dan melakukan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran atas diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,” (QS. 6: 48). Dalam ayat lain dinyatakan, “… Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,” (QS. 2: 38).

Siapa pun yang beriman kepada Allah pasti akan mendapat ketenangan dan ketenteraman. Tak terkecuali orang Yahudi, Nasrani atau orang-orang Sabian. Al-Qur’an menegaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebaikan, maka bagi mereka pahala dari Tuhan mereka dan tidak ada kekhawatiran atas diri mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,” (QS. 2: 62).

Advertisement

Tentu saja semua tergantung pada kadar keimanan masing-masing. Bagi mereka yang menjaga keimanan dari hal-hal negatif, ketenteraman akan senantiasa menyelimuti hatinya. Sedang mereka yang mengotori keimanan, maka kecemasan akan menghantui langkahnya. Iman bukanlah sesuatu yang statis di mana sekali beriman dapat bertahan selamanya. Keimanan bersifat dinamis sehingga butuh kesungguhan untuk terus dipelihara dan ditingkatkan.

Meningkatkan keimanan dapat menjaga kesehatan mental sehingga tidak dirundung kesedihan. Seseorang yang beriman menyandarkan hidupnya pada Tuhan sebagai Pemberi aman (al-mu’în), Pemberi perlidungan (al-muhaymin), Tempat bergantung (al-shamad), Tempat bersandar (al-wakîl), dan sebagainya. Hanya dengan cara inilah seseorang dapat memperoleh ketenangan.

Kajian psikologi positif—seperti telah dijelaskan sebelumnya—memberi porsi tersendiri bagi keimanan sebagai salah satu faktor penting kebahagiaan. Bahkan tidak jarang para ahli menjadikan ibadah (realisasi iman) sebagai psikoterapi penyakit kejiwaan. Gejala stress, frustasi, depresi termasuk kecanduan obatan-obatan direhabilitasi melalui disiplin ibadah atau peningkatan keimanan. Mereka memandang, iman kepada Allah, ikhlas menjalankan ibadah, berpegang teguh pada ajaran-Nya serta ridla terhadap ketentuan-Nya bisa membebaskan seseorang dari gejala penyakit jiwa.

Di antara terapi yang dijalankan ialah menganjurkan untuk memperbanyak berdzikir, berpuasa, membaca al-Qur’an, shalat, berdoa, dan lain-lain. Terapi dengan cara ini ternyata memberi pengaruh besar terhadap kejiwaan seseorang. Ada energi positif yang mengalir begitu dahsyat ke dalam jiwa. Berdzikir misalnya, mampu membuat dada kita lapang dan merasa tenang. Dengan berdzikir, kita merasa dekat dengan Tuhan, sumber kebahagian hakiki, sumber cinta dan kasih sayang.

Advertisement

Allah swt. berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (berdzikir). Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah (berdzikir) hati menjadi tenteram,” (QS. 13: 28). Dalam Hadits, Abu Hurairah dan Abu Sa’id meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum duduk untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla, melainkan mereka akan dikelilingi malaikat dan diliputi rahmat. Ketenangan turun kepada mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka kepada mahluk yang berada di sisi-Nya”.

Begitu juga dengan terapi puasa. Secara psikologis, puasa melatih kita mengendalikan emosi, memperkuat kehendak mengalahkan dorongan nafsu, dan melatih diri untuk bersabar. Sehingga, kita akan terjaga dari perbutan tercela seperti berkata kotor, bertindak bodoh, berlaku anarkhis, berbuat kriminal, dan semacamnya. Dengan berpuasa kita tidak akan gampang menyerah pada keadaan, tidak mudah frustasi dengan kegagalan, apalagi sampai kehilangan orientasi hidup.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersada, “Allah ‘azza wa jalla berfirman: Semua amal perbuatan anak Adam adalah miliknya kecuali ibadah puasa. Ibadah puasa adalah untuk-Ku. Dan Aku sendiri yang akan membalasnya. Puasa merupakan prisai. Oleh karena itu, hendaklah salah seorang di antara kalian tidak berkata kotor ketika menunaikan puasa dan hendaklah tidak bertindak bodoh. Apabila ada orang yang mengganggunya, hendaklah berkata, “sesungguhnya aku sedang puasa”.

Sedangkan terapi melalui bacaan al-Qur’an sebenarnya masih bagian dari aktivitas berdzikir.

Advertisement

Dengan membaca al-Qur’an seseorang diberi kabar gembira sekaligus peringatan agar tetap berada di jalan kebenaran. Ia seperti berdialog langsung dengan Tuhan sehingga setiap lantunan kata memancarkan ketenangan dan ketenteraman. Rangkaian kalimat berikut makna yang terkandung di dalamnya menjadi obat bagi penyakit kejiwaan.

Ini sebagaimana firman Allah,“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman,” (QS. 10: 57). Pada ayat lain dinyatakan, “… Katakanlah, al-Qur’an adalah petunjuk dan obat (penawar) bagi orang-orang yang beriman…” (QS. 41: 44).

Dari keterangan di atas, cukup jelas kiranya bagi kita keterkaitan antara îmân dan âman. Keduanya tidak bisa dilepaskan sebagai sebuah kesatuan integral. Rasa aman merupakan efek psikologis yang ditimbulkan oleh iman. Sementara iman yang tidak melahirkan rasa aman perlu ditinjau kembali kualitas keimanannya.

veri muhlis arifuzzaman *H. Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag., M.Si. adalah Ketua Perhimpunan Menata Tangsel, Dosen Metodologi Hukum Islam di Sekolah Tinggi Perencanaan Keuangan Syariah (IARFC) Jakarta, Alumni  Pondok Pesantren Daar ElQolam

Twitter: @verimuhlis

Advertisement

Website: verimuhlis.com, verimuhlisarifuzzaman.com

Populer