Connect with us

Rohani

Rebo Wekasan Baca Apa Saja? Penjelasan dalam Pandangan Islam, Menurut Ulama, dan Amalan

Rebo Wekasan atau Rebo Pungkasan adalah nama hari Rabu terakhir di bulan Sapar pada Kalender Jawa. Beberapa aktivitas dilakukan pada Rebo Wekasan, antara lain tahlilan, berbagi makanan baik dalam bentuk gunungan maupun selamatan, sampai salat sunah lidafā€™il bala bersama

Penjelasan Mengenai Rebo Wekasan

Bulan Shafar Ā adalah bulan kedua dalam penanggalan hijriyah Islam. Sebagaimana bulan lainnya, ia merupakan bulan dari bulan-bulan Allah yang Ā tidak memiliki kehendak dan Ā berjalan sesuai dengan apa yang Allah ciptakan untuknya.

Masyarakat jahiliyah kuno, termasuk bangsa Arab, sering mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan sial. Tasa’um (anggapan sial) ini telah terkenal pada umat jahiliah dan sisa-sisanya masih ada di kalangkan muslimin hingga saat ini.

Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah,

Advertisement

Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung hantu dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa.” (HR Imam al-Bukhari dan Muslim).

Ungkapan hadits laa ā€˜adwaaā€™ atau tidak ada penularan penyakit itu, bermaksud meluruskan keyakinan golongan jahiliyah, karena pada masa itu mereka berkeyakinan bahwa penyakit itu dapat menular dengan sendirinya, tanpa bersandar pada ketentuan dari takdir Allah.

Sakit atau sehat, musibah atau selamat, semua kembali kepada kehendak Allah. Penularan hanyalah sebuah sarana berjalannya takdir Allah. Namun, walaupun keseluruhannya kembali kepada Allah, bukan semata-mata sebab penularan, manusia tetap diwajibkan untuk ikhtiar dan berusaha agar terhindar dari segala musibah. Dalam kesempatan yang lain Rasulullah bersabda: ā€œJanganlah unta yang sakit didatangkan pada unta yang sehatā€.

Maksud hadits laa thiyaarata atau tidak diperbolehkan meramalkan adanya hal-hal buruk adalah bahwa sandaran tawakkal manusia itu hanya kepada Allah, bukan terhadap makhluk atau ramalan. Karena hanyalah Allah yang menentukan baik dan buruk, selamat atau sial, kaya atau miskin. Dus, zaman atau masa tidak ada sangkut pautnya dengan pengaruh dan takdir Allah. Ia sama seperti waktu- waktu yang lain, ada takdir buruk dan takdir baik.

Advertisement

Empat hal sebagaimana dinyatakan dalam hadits di atas itulah yang ditiadakan oleh Rasulullah dan ini menunjukkan akan wajibnya bertawakal kepada Allah, memiliki tekad yang benar, agar orang yang kecewa tidak melemah di hadapkan pada perkara-perkara tersebut.

Bila seorang Muslim pikirannya disibukkan dengan perkara-perkara tersebut, maka tidak terlepas dari dua keadaan. Pertama,Ā menuruti perasaan sialnya itu dengan mendahulukan atau meresponsnya, maka ketika itu dia telah menggantungkan perbuatannya dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Kedua,Ā tidak menuruti perasaan sial itu dengan melanjutkan aktivitasnya dan tidak memedulikan, tetapi dalam hatinya membayang perasaan gundah atau waswas. Meskipun ini lebih ringan dari yang pertama, tetapi seharusnya tidak menuruti perasaan itu sama sekali dan hendaknya bersandar hanya kepada Allah.

Penolakan akan ke empat hal di atas bukanlah menolak keberadaannya, karena kenyataanya hal itu memang ada. Sebenarnya yang ditolak adalah pengaruhnya. Allah-lah yang memberi pengaruh. Selama sebabnya adalah sesuatu yang dimaklumi, maka sebab itu adalah benar. Tapi bila sebabnya adalah sesuatu yang hanya ilusi, maka sebab tersebut salah.

Muktamar NU yang ketiga, menjawab pertanyaan ā€œbolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab “Lathaiful Akbarā€ memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam “Al-Fatawa al-Haditsiyah” berikut ini:

Advertisement

ā€œBarang siapa bertanya tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah dari semua ituā€ (Ahkamul Fuqahaā€™, 2010: 54).

Indikasi Kesialan dalam Quran dan Hadits

Mungkin ada pertanyaan, bagaimana dengan firman Allah Taā€™ala, yang artinya:ā€™ā€™Kaum ā€˜Aad pun mendustakan (pula). Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok korma yang tumbangā€ (Q.S al-Qamar (54:18-20).

Imam al-Bagawi dalam tafsir Maā€™alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin mustammir) Ā tepat pada hari Rabu terakhir bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah kesialan yang terus menerus.

Advertisement

Istilah hari naas yang terus menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, ā€œAkhiru Arbiā€™ai fi al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial terus).ā€

Hadits ini lahirnya bertentangan dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral, mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia dan ditakdirkan Allah.

Bagaimana dengan pandangan Abdul Hamid Quds dalam kitabnya Kanzun Najah WasSururĀ fi Fadhail AlAzminah washShuhur Ā yang menjelaskan: banyak para Wali Allah yang mempunyai pengetahuan spiritual yang tinggi mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah Ā menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar.

Oleh sebab itu hari tersebut menjadi hari yang terberat di sepanjang tahun. Maka barang siapa yang melakukan shalat 4 rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca doa, maka Allah Ā dengan kemurahan-Nya akan menjaga orang yang bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna setahun.

Advertisement

Mengenai amalan-amalan tersebut di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):

Pertama, tidak ada nash hadits khusus untuk akhir Rabu bulan Shafar, yang ada hanya nash hadits dlaā€™if yang menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas atau sial yang terus menerus, dan hadits dlaā€™if ini tidak bisa dibuat pijakan kepercayaan.

Kedua, tidak ada anjuran ibadah khusus dari syaraā€™. Ada anjuran dari sebagian ulamaĀ tasawwuf namun landasannya belum bisa dikategorikan hujjah secara syarā€™i.

Ketiga, tidak boleh, kecuali hanya sebatas sholat hajat lidafā€™il balaā€™ al-makhufĀ (untuk menolak balak yang dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (shalat sunah mutlak) sebagaimana diperbolehkan oleh Syaraā€™, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin mendekatkan diri kepada Allah Taā€™ala.

Advertisement

Mengutip pandangan Rais Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftakhul Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan, dinyatakan:

ā€œNahas yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga nahas bagi orang lainā€¦artinya hadits ini jangan dianggap sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah Allah.ā€ Wallahu ā€˜Aā€™lam.

Yusuf Suharto
Ketua Aswaja NU Center Jombang, Kontributor NU Online

 

Advertisement

Hukum Shalat Rebo Wekasan dalam Islam

Isu mengenai Rabu terakhir di bulan Shafar atau lebih dikenal dengan istilah Rebo wekasan bukan merupakan hal yang baru. Banyak perbincangan dan kajian berkaitan dengan isu tersebut. Mulai dari sejarah, ritual-ritual atau musibah-musibah yang diasumsikan pada hari tersebut. Termasuk yang sering ramai diperbincangkan adalah ritual shalat Rebo wekasan. Sebagian menerima, sebagian yang lain menolaknya. Sebenarnya bagaimana pandangan fiqih Islam mengenai hukum shalat Rebo wekasan?

Pada dasarnya, tidak ada nash sharih yang menjelaskan anjuran shalat ReboĀ wekasan. Oleh karenanya, bila shalat ReboĀ wekasan diniati secara khusus, misalkan ā€œaku niat shalat Shafarā€, ā€œaku niat shalat ReboĀ wekasanā€, maka tidak sah dan haram. Hal ini sesuai dengan prinsip kaidah fiqih:

ŁˆŲ§Ł„Ų£ŲµŁ„ ŁŁŠ Ų§Ł„Ų¹ŲØŲ§ŲÆŲ© Ų£Ł†Ł‡Ų§ Ų„Ų°Ų§ Ł„Ł… ŲŖŲ·Ł„ŲØ Ł„Ł… ŲŖŲµŲ­

ā€œHukum asal dalam ibadah apabila tidak dianjurkan, maka tidak sah.ā€ (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib Hasyiyah ā€˜ala al-Iqnaā€™, juz 2, hal. 60).

Advertisement

Atas pertimbangan tersebut, ulama mengharamkan shalat Raghaib di awal Jumat bulan Rajab, shalat nishfu Syaā€™ban, shalat Asyuraā€™ dan shalat kafarat di akhir bulan Ramadhan, sebab shalat-shalat tersebut tidak memiliki dasar hadits yang kuat.

Ditegaskan dalam kitab Iā€™anah al-Thalibin:

Ł‚Ų§Ł„ Ų§Ł„Ł…Ų¤Ł„Ł ŁŁŠ Ų„Ų±Ų“Ų§ŲÆ Ų§Ł„Ų¹ŲØŲ§ŲÆ ŁˆŁ…Ł† Ų§Ł„ŲØŲÆŲ¹ Ų§Ł„Ł…Ų°Ł…ŁˆŁ…Ų© Ų§Ł„ŲŖŁŠ ŁŠŲ£Ų«Ł… ŁŲ§Ų¹Ł„Ł‡Ų§ ŁˆŁŠŲ¬ŲØ Ų¹Ł„Ł‰ ŁˆŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„Ų£Ł…Ų± Ł…Ł†Ų¹ ŁŲ§Ų¹Ł„Ł‡Ų§ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„Ų±ŲŗŲ§Ų¦ŲØ Ų§Ų«Ł†ŲŖŲ§ Ų¹Ų“Ų±Ų© Ų±ŁƒŲ¹Ų© ŲØŁŠŁ† Ų§Ł„Ų¹Ų“Ų§Ų”ŁŠŁ† Ł„ŁŠŁ„Ų© Ų£ŁˆŁ„ Ų¬Ł…Ų¹Ų© Ł…Ł† Ų±Ų¬ŲØ ŁˆŲµŁ„Ų§Ų© Ł„ŁŠŁ„Ų© Ł†ŲµŁ Ų“Ų¹ŲØŲ§Ł† Ł…Ų§Ų¦Ų© Ų±ŁƒŲ¹Ų© ŁˆŲµŁ„Ų§Ų© Ų¢Ų®Ų± Ų¬Ł…Ų¹Ų© Ł…Ł† Ų±Ł…Ų¶Ų§Ł† Ų³ŲØŲ¹Ų© Ų¹Ų“Ų± Ų±ŁƒŲ¹Ų© ŲØŁ†ŁŠŲ© Ł‚Ų¶Ų§Ų” Ų§Ł„ŲµŁ„ŁˆŲ§ŲŖ Ų§Ł„Ų®Ł…Ų³ Ų§Ł„ŲŖŁŠ Ł„Ł… ŁŠŁ‚Ų¶Ł‡Ų§ ŁˆŲµŁ„Ų§Ų© ŁŠŁˆŁ… Ų¹Ų§Ų“ŁˆŲ±Ų§Ų” Ų£Ų±ŲØŲ¹ Ų±ŁƒŲ¹Ų§ŲŖ Ų£Łˆ Ų£ŁƒŲ«Ų± ŁˆŲµŁ„Ų§Ų© Ų§Ł„Ų£Ų³ŲØŁˆŲ¹ Ų£Ł…Ų§ Ų£Ų­Ų§ŲÆŁŠŲ«Ł‡Ų§ ŁŁ…ŁˆŲ¶ŁˆŲ¹Ų© ŲØŲ§Ų·Ł„Ų© ŁˆŁ„Ų§ ŲŖŲŗŲŖŲ± ŲØŁ…Ł† Ų°ŁƒŲ±Ł‡Ų§ Ų§Ł‡

ā€œSang pengarang (syekh Zainuddin al-Malibari) berkata dalam kitab Irsyad al-ā€˜Ibad, termasuk bidā€™ah yang tercela, pelakunya berdosa dan wajib bagi pemerintah mencegahnya, adalah shalat Raghaib, 12 Rakaat di antara maghrib dan Isyaā€™ di malam Jumat pertama bulan Rajab, shalat nisfu Syaā€™ban sebanyak 100 rakaat, shalat di akhir Jumat bulan Ramadhan sebanyak 17 rakaat dengan niat mengganti shalat lima waktu yang ditinggalkan, shalat hari Asyura sebanyak 4 rakaat atau lebih dan shalat ushbuā€™. Adapun hadits-hadits shalat tersebut adalah palsu dan batal, jangan terbujuk oleh orang yang menyebutkannya.ā€ (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Iā€™anah al-Thalibin, juz 1, hal. 270).

Advertisement

Hanya saja, bila shalat ReboĀ wekasan diniati shalat sunah mutlak, dalam titik ini, ulama berbeda pandangan. Menurut Hadratussyekh KHĀ Hasyim Asyā€™ari haram. Dalam pandangan beliau, anjuran shalat sunah mutlak yang ditetapkan berdasarkan hadits shahih tidak berlaku untuk shalat ReboĀ wekasan, sebab anjuran tersebut hanya berlaku untuk shalat-shalat yang disyariatkan.

Dalam himpunan fatwanya, Rais Akbar NU tersebut mengatakan dalam tulisan bahasa Jawa pegon:

Ų§ŁˆŲ±Ų§ ŁˆŁŠŁ†Ų§Ų¹ ŁŁŠŲŖŁˆŲ§Ł‡ Ų§Ų¬Ų§Ų” Ų§Ų¬Ų§Ų” Ł„Ł† Ų¹Ł„Ų§ŁƒŁˆŁ†ŁŠ ŲµŁ„Ų§Ų© Ų±Ų§ŲØŁˆ ŁˆŁƒŲ§Ų³Ų§Ł† Ł„Ł† ŲµŁ„Ų§Ų© Ł‡ŲÆŁŠŲ© ŁƒŲ§Ų¹ ŁƒŲ§Ų³ŲØŁˆŲŖ Ų§Ų¹ Ų³Ų¤Ų§Ł„ ŁƒŲ§Ų±Ł†Ų§ ŲµŁ„Ų§Ų© Ł„ŁˆŲ±Łˆ Ų§ŁŠŁƒŁˆ Ł…Ų§Ł‡Łˆ Ų§ŁˆŲ±Ų§ Ų§Ł†Ų§ Ų§ŲµŁ„Ł‰ ŁŁŠ Ų§Ł„Ų“Ų±Ų¹. ŁˆŲ§Ł„ŲÆŁ„ŁŠŁ„ Ų¹Ł„Ł‰ Ų°Ł„Łƒ Ų®Ł„Łˆ Ų§Ł„ŁƒŲŖŲØ Ų§Ł„Ł…Ų¹ŲŖŁ…ŲÆŲ© Ų¹Ł† Ų°ŁƒŲ±Ł‡Ų§ ŁƒŲ§ŁŠŲ§ ŁƒŲŖŲ§ŲØ ŲŖŁ‚Ų±ŁŠŲØŲŒ Ų§Ł„Ł…Ł†Ł‡Ų§Ų¬ Ų§Ł„Ł‚ŁˆŁŠŁ…ŲŒ ŁŲŖŲ­ Ų§Ł„Ł…Ų¹ŁŠŁ† ŲŒ Ų§Ł„ŲŖŲ­Ų±ŁŠŲ± Ł„Ł† Ų³Ų§ŁŁ†ŲÆŁˆŁƒŁˆŲ± ŁƒŲ§ŁŠŲ§ ŁƒŲŖŲ§ŲØ Ų§Ł„Ł†Ł‡Ų§ŁŠŲ© Ų§Ł„Ł…Ł‡Ų°ŲØ Ł„Ł† Ų§Ų­ŁŠŲ§Ų” Ų¹Ł„ŁˆŁ… Ų§Ł„ŲÆŁŠŁ†ŲŒ ŁƒŲ§ŲØŁŠŁ‡ Ł…Ų§Ł‡Łˆ Ų£ŁˆŲ±Ų§ Ų§Ł†Ų§ ŁƒŲ§Ų¹ Ł†ŁˆŲŖŁˆŲ± ŲµŁ„Ų§Ų© ŁƒŲ§Ų¹ ŁƒŲ§Ų³ŲØŁˆŲŖ. Ų§Ł„Ł‰ Ų§Ł† Ł‚Ų§Ł„ ŁˆŁ„ŁŠŲ³ Ł„Ų£Ų­ŲÆ Ų£Ł† ŁŠŲ³ŲŖŲÆŁ„ ŲØŁ…Ų§ ŲµŲ­ Ų¹Ł† Ų±Ų³ŁˆŁ„ Ų§Ł„Ł„Ł‡ Ų§Ł†Ł‡ Ł‚Ų§Ł„ Ų§Ł„ŲµŁ„Ų§Ų© Ų®ŁŠŲ± Ł…ŁˆŲ¶ŁˆŲ¹ ŁŁ…Ł† Ų“Ų§Ų” ŁŁ„ŁŠŲ³ŲŖŁƒŲ«Ų± ŁˆŁ…Ł† Ų“Ų§Ų” ŁŁ„ŁŠŲ³ŲŖŁ‚Ł„Ł„ŲŒ ŁŲ„Ł† Ų°Ł„Łƒ Ł…Ų®ŲŖŲµ ŲØŲµŁ„Ų§Ų© Ł…Ų“Ų±ŁˆŲ¹Ų©

ā€œTidak boleh berfatwa, mengajak dan melakukan shalat ReboĀ Wekasan dan shalat hadiah yang disebutkan dalam pertanyaan, karena dua shalat tersebut tidak ada dasarnya dalam syariat. Tendensinya adalah bahwa kitab-kitab yang bisa dibuat pijakan tidak menyebutkannya, seperti kitab al-Taqrib, al-Minhaj al-Qawim, Fath al-Muā€™in, al-Tahrir dan kitab seatasnya seperti al-Nihayah, al-Muhadzab dan Ihyaā€™ Ulum al-Din. Semua kitab-kitab tersebut tidak ada yang menyebutkannya. Bagi siapapun tidak boleh berdalih kebolehan melakukan kedua shalat tersebut dengan hadits shahih bahwa Nabi bersabda, shalat adalah sebaik-baiknya tempat, perbanyaklah atau sedikitkanlah, karena sesungguhnya hadits tersebut hanya mengarah kepada shalat-shalat yang disyariatkan.ā€ (KH. Hasyim Asyā€™ari sebagaimana dikutip kumpulan Hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur).

Advertisement

Sedangkan menurut Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki hukumnya boleh. Menurut beliau, solusi untuk membolehkan shalat-shalat yang ditegaskan haram dalam nashnya para fuqahaā€™ adalah dengan cara meniatkan shalat-shalat tersebut dengan niat shalat sunah mutlak. Beliau menegaskan:

Ł‚Ł„ŲŖ ŁˆŁ…Ų«Ł„Ł‡ ŲµŁ„Ų§Ų© ŲµŁŲ± ŁŁ…Ł† Ų£Ų±Ų§ŲÆ Ų§Ł„ŲµŁ„Ų§Ų© ŁŁ‰ ŁˆŁ‚ŲŖ Ł‡Ų°Ł‡ Ų§Ł„Ų£ŁˆŁ‚Ų§ŲŖ ŁŁ„ŁŠŁ†Łˆ Ų§Ł„Ł†ŁŁ„ Ų§Ł„Ł…Ų·Ł„Ł‚ ŁŲ±Ų§ŲÆŁ‰ Ł…Ł† ŲŗŁŠŲ± Ų¹ŲÆŲÆ Ł…Ų¹ŁŠŁ† ŁˆŁ‡Łˆ Ł…Ų§ Ł„Ų§ ŁŠŲŖŁ‚ŁŠŲÆ ŲØŁˆŁ‚ŲŖ ŁˆŁ„Ų§ Ų³ŲØŲØ ŁˆŁ„Ų§ Ų­ŲµŲ± Ł„Ł‡ . Ų§Ł†ŲŖŁ‡Ł‰

ā€œAku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah shalat Shafar (ReboĀ wekasan), maka barang siapa menghendaki shalat di waktu-waktu terlarang tersebut, maka hendaknya diniati shalat sunah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Shalat sunah mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya.ā€ (Syekh Abdul Hamid bin Muhammad Quds al-Maki, Kanz al-Najah wa al-Surur, hal. 22).

Shalat ReboĀ wekasan sendiri dijelaskan secara rinci meliputi tata cara dan doanya oleh Syekh Abdul Hamid Quds dalam Kanz al-Najah wa al-Surur. Demikian pula disebutkan oleh Syekh Ibnu Khatiruddin al-Athar dalam kitab al-Jawahir al-Khams. Shalat ReboĀ wekasan umum dilakukan di beberapa daerah, ada yang melakukannya secara berjamaah, ada dengan sendiri-sendiri.

Advertisement

Demikian penjelasan mengenai hukum shalat ReboĀ wekasan. Ikhtilaf ulama sebagaimana dijelaskan di atas adalah hal yang sudah biasa dalam fiqih, masing-masing memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan, perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan atau ajang saling bully, namun sebagai rahmat bagi umat, membuka ruang seluas-luasnya bagi mereka untuk menjalankan ritual agama tanpa keluar dari batas syariat. Wallahu aā€™lam. (M. Mubasysyarum Bih)

Sumber: NU Online

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Populer