Connect with us

Nasional

Jelang Pilkada Serentak, Lima Warga Tangsel Ini Gugat Undang-Undang Pilkada Ke MK

Beberapa bulan menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) langsung tahap pertama digelar, 5 warga Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mengajukan permohonan pengujian Undang-undang No. 8 tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang (selanjutnya disebut UU Pemilukada 2015) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka yang mengajukan adalah Mohammad Ibnu, Fahatul Azmi Bahlawi, Octianus, Iwan Firdaus, Muhammad Rizki Firdaus. Kelimanya didampingi oleh 25 pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) MataHati.

Permohonan yang diajukan (13 April 2015) bukan sekadar menyangkut muatan materiil, melainkan meliputi aspek formil. “Pasal tersebut mengancam hak konstitusional kami sebagai warga negara” tandas Mohammad Ibnu salah satu pemohon.

Pasal yang dimaksud adalah Pasal 158 ayat (1) dan (2) terkait pengaturan pengajuan permohonan sengketa pemilihan kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) terbatas pada selisih suara pemilih yang tidak melebihi dari 2%; 1,5%, 1% dan 0,5% baik untuk pemilihan Gubernur, Bupati maupun Walikota sesuai dengan aturan jumlah penduduk di wilayah pemilihan tersebut.

Advertisement

Bagi para pemohon ketentuan tersebut tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan inkonstitusional terhadap UUD 1945, serta bertolak belakang dari konteks negara hukum karena melanggar asas perlakuan yang sama di hadapan hukum (equel before the law) dan kesempatan yang sama di pemerintahan serta perlindungan dalam memperjuangkan keadilan.

Menurut Mustolih Siradj salah satu tim pengacara, syarat pengajuan permohonan sengketa Pemilukada di Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibatasi oleh persentase selisih hasil suara secara kuantitatif, menyebabkan lemahnya salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memutus perselisihan hasil pemilukada. MK menjadi tidak merdeka dan tereduksi sebagai pengawal dan penafsir UUD 1945.

Pemilihan kepala daerah merupakan mekanisme transfer kekuasaan dari rakyat kepada Negara/pemerintah dan pemerintah daerah baik Provinsi, Kabupaten maupun Kota. “Melalui pilkada, rakyat dapat memilih pemimpinnya yang dianggap dapat mewakili dan melaksanakan aspirasi rakyat” kata Mustolih, pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua PERADI DPC Tengarang Raya ini dalam keterangannya kepada kabartangsel.com, Senin, (13/4/2015).

Sehingga bila calon tertentu yang telah dipilih oleh rakyat yang seharusnya menang dalam pemilu, kemudian menjadi tidak terpilih karena adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan calon lainnya, dengan selisih perolehan jumlah suara yang cukup lebar, semisal 2,5%, 3%, atau lebih,  maka pemilihan kepala daerah yang merupakan sarana untuk rakyat agar dapat terlibat dalam pembentukan dan penyelenggaraan pemerintahan, menjadi tidak terwujud, setidak-tidaknya sampai batas akhir kontestasi tahapan pemilukada sebagaimana yang telah menjadi kebiasaan dan tahapan jadwal yang telah disusun oleh penyelenggara pemilukada, yakni sampai ada putusan lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan dan memutus perkara perselisihan hasil pemilukada yakni oleh Mahkamah Konstitusi dan atau lembaga khusus sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 157 UU aquo.

Advertisement

Maka, pembatasan pengajuan permohonan sengketa hasil pemilihan umum dalam Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemilukada Tahun 2015 sesungguhnya tidak dibutuhkan oleh masyarakat sebagai pemilih, karena justru dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak dan kehendak rakyat sebagai warga Negara dalam menentukan kepala daerah yang dipercaya mampu mewakili rakyat dalam pemerintahan.

Jika pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Pemilukada ini berlaku, maka bila terjadi sengketa dalam pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang persentase selisih suaranya melebihi 2 %, 1,5%, 1% dan 0,5% dapat dipastikan tidak dapat mengajukan permohonan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Ini merupakan wujud degradasi pemenuhan hak hukum dan pencabutan hak-hak konstitusional warga Negara oleh institusi Negara atau para pembuat Undang-undang” tandasnya.

Mustolih memaparkan, ada banyak contoh kasus sengketa pilkada yang nyata-nyata telah diputus di MK yang selisih suaranya mencapai 3 persen, bahkan sampai 8 persen diantaranta:
1.    Putusan MK RI Nomor 12/PHPU.D-VIII/2010, dalam Pemilukada KOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA Tahun 2010: Selisih suara dalam objek sengketa antara Pemohon dan Pihak terkait: 8,29% (delapan koma dua puluh sembilan persen).
AMAR PUTUSAN: Dalam Pokok Perkara, MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON.

2.    Putusan MK RI Nomor 79/PHPU.D-XI/2013, dalam PemilukadaPROVINSI SUMATERA SELATAN Tahun 2013:
Selisih suara dalam objek sengketa antara Pemohon dan Pihak terkait: 3,91% (tiga koma sembilan puluh satu persen).
AMAR PUTUSAN: Dalam Pokok Perkara, MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON.

Advertisement

3.    Putusan MK RI Nomor 57/PHPU.D-VI/2008, dalam Pemilukada KABUPATEN BENGKULU SELATAN Tahun 2008
Selisih suara dalam objek sengketa antara Pemohon dan Pihak terkait: 3,30% (tiga koma tiga puluh persen).

AMAR PUTUSAN: Dalam Pokok Perkara, MENGABULKAN PERMOHONAN PEMOHON.

Pasangan calon yang sebelumnya kalah, karena kemudian terbukti terjadi kecurangan-kecurangan dalam pemilu oleh pasangan calon lain yang mempengaruhi hasil pemilu, kemudian menjadi pasangan calon yang dimenangkan melalui putusan tersebut, walaupun sebelumnya selisih suara antara PEMOHON dan PIHAK TERKAIT sangat jauh persentasenya, sehingga bisa dipastikan, bila Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) diberlakukan, maka upaya untuk memperjuangkan keadilan dengan mengajukan permohonan sengketa hasil pemilihan umum ke MK menjadi terhambat, atau bahkan tidak dapat diupayakan sama sekali.

Pasal 158 ayat (1) dan (2), sepintas memang akan terlihat netral, akan tetapi jika kita pelajari lebih dalam, maka ketentuan tersebut akan membatasi kewenangan Mahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Konstitusi, yakni “untuk menilai bobot pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi dalam keseluruhan tahapan proses pemilukada dan kaitannya dengan perolehan hasil suara bagi para pasangan calon” jika terdapat selisih perolehan suara dari para calon kepala daerah baik provinsi, kabupaten maupun Kota yang melebihi dari 2%; 1,5%, 1% dan 0,5% baik untuk pemilihan Gubernur maupun untuk Pemilihan Bupati/Walikota seturut dengan aturan jumlah penduduk diwilayah pemilihan tersebut. “Hal ini jelas mengandung ketiadaan kepastian hukum yang secara otomatis kemudian bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945” tukasnya.

Advertisement

Mustolih khawatir, pemberlakuan Pasal 158 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 8 Tahun 2015 tersebut sangat berpotensi untuk dijadikan dorongan dan motivasi para Calon untuk menjalankan kontestasi Pemilukada tersebut dengan berloma-lomba menghalalkan segala cara, termasuk didalamnya Politik uang, pelanggaran-pelanggaran dari yang ringan sampai yang berat termasuk yang dikualifikasikan oleh Mahkamah sebagai Pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan Massif yang pada akhirnya akan terjadi penggelembungan suara dan mempengaruhi perolehan suara si Calon, agar tercipta dan terkondisikan hasil perolehan suaranya melebihi batas pengajuan sengketa perolehan hasil suara Pemilukada sebagaimana Pasal 158 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 8 Tahun 2015. Karena jika demikian yang terjadi, tidak ada lagi mekanisme untuk mempersoalkan hasil perolehan suara tersebut sebagaimana yang berlaku selama ini.

Jadi, dari sisi formil pembentukan Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan khususnya asas-asas sebagaimana Pasal 5 Huruf E (Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan) dan Pasal 6 Ayat (1) Huruf G (Asas Keadilan).

Sedangkan dari sisi materiil Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Pasal  158 Ayat (1) dan Ayat (2) tidak mampu merepresentasikan suatu produk hukum yang dapat memberikan ruang bagi rakyat untuk memperjuangkan dan mendapatkan keadilan yang proporsional tanpa kecuali.

Advertisement

Populer