Connect with us

Serba-Serbi

Kalender Jawa: Malam 1 Suro 2025 Bertepatan dengan Malam Jumat Kliwon

Malam 1 Suro menjadi momen penting dalam budaya masyarakat Jawa, yang menandai pergantian tahun dalam kalender Jawa. Perayaan ini identik dengan tradisi dan ritual yang sarat makna spiritual, serta memiliki kaitan erat dengan datangnya bulan Muharram dalam kalender Islam.

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang sakral. Setiap malam 1 Suro, warga di berbagai daerah di Pulau Jawa menggelar berbagai tradisi seperti doa bersama, tirakatan, hingga slametan—ritual syukuran menggunakan makanan sebagai simbol permohonan keselamatan dan keberkahan.

Tak hanya dalam konteks budaya Jawa, malam 1 Suro juga bertepatan dengan 1 Muharram, awal tahun baru Islam. Umat Muslim biasanya melaksanakan doa akhir tahun setelah salat ashar dan doa awal tahun setelah salat maghrib. Bulan Muharram juga dikenang sebagai bulan di mana Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah—sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam.

1 Suro

Perayaan malam 1 Suro telah menjadi tradisi turun-temurun yang dijalankan oleh masyarakat Jawa sebagai bentuk refleksi diri, memanjatkan doa, serta mengharapkan ketentraman dan perlindungan dari mara bahaya (tolak bala). Beberapa daerah bahkan menggelar ritual khusus seperti kirab pusaka, tapa bisu, hingga ziarah ke makam leluhur.

Advertisement

Dalam catatan sejarah, malam 1 Suro mulai dirayakan secara formal pada masa pemerintahan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram sekitar tahun 931 H (Hijriah) atau 1443 Jawa. Sultan Agung menggabungkan kalender Hijriah Islam dengan sistem penanggalan Jawa sebagai upaya menyatukan kaum santri dan abangan.

Hari Jumat Legi yang bertepatan dengan 1 Suro pun dianggap istimewa dan dikeramatkan oleh sebagian masyarakat. Banyak warga yang memilih menyepi, berdoa, atau melakukan ritual pribadi untuk mencari ketenangan batin.

Simbol Spiritualitas dan Harmoni

Malam 1 Suro bukan hanya perayaan tahun baru, tetapi juga simbol spiritualitas, harmoni sosial, dan pelestarian budaya. Tradisi ini memperlihatkan bagaimana budaya lokal dan nilai-nilai keislaman menyatu secara harmonis dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Dengan kekayaan makna yang terkandung di dalamnya, malam 1 Suro terus hidup dan berkembang sebagai bagian dari identitas budaya bangsa yang patut dijaga dan dilestarikan.

Advertisement

1 Suro 2025 Kapan?

Malam 1 Suro 2025 menjadi momen sakral yang dinanti oleh masyarakat Jawa untuk melakukan berbagai ritual spiritual. Tahun ini, malam 1 Suro jatuh pada Kamis malam, 26 Juni 2025, tepat mulai pukul 18.00 WIB atau selepas Maghrib. Waktu tersebut menjadi penanda masuknya tanggal 1 Suro 1959 Jawa, yang bertepatan dengan Jumat, 27 Juni 2025.

1 Suro adalah hari pertama dalam bulan Suro, yakni bulan pembuka dalam penanggalan Kalender Jawa yang diadaptasi dari kalender Hijriah. Bulan ini disetarakan dengan bulan Muharam dalam kalender Islam.

Kalender Jawa 1 Suro 1959 Je- 26 Juni 2025

• 26 Juni 2025 (30 Dzulhijah 1446 Hijriah: 1 Sura 1959 Je = Kamis Wage)

• 27 Juni 2025 (1 Muharam 1447 Hijriah: 2 Sura 1959 Je = Jumat Kliwon)

• 28 Juni 2025 (2 Muharam 1447 Hijriah: 3 Sura 1959 Je = Sabtu Legi)

• 29 Juni 2025 (3 Muharam 1447 Hijriah: 4 Sura 1959 Je = Minggu Pahing)

• 30 Juni 2025 (4 Muharam 1447 Hijriah: 5 Sura 1959 Je = Senin Pon)

 

Makna Filosofis 1 Suro

Bagi masyarakat Jawa, 1 Suro bukan hanya pergantian waktu, tetapi awal baru untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, memperbaiki diri, dan merenungi kehidupan. Ini merupakan momentum untuk memperkuat spiritualitas dan memohon keselamatan sepanjang tahun yang akan datang.

Advertisement

Hubungan 1 Suro dan 1 Muharam

Meskipun jatuh dalam waktu yang hampir bersamaan, 1 Suro dan 1 Muharam memiliki konteks budaya yang berbeda. 1 Muharam lebih berfokus pada sejarah hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, sementara 1 Suro dipenuhi unsur spiritualitas Jawa yang kental, meskipun tetap diwarnai nilai-nilai Islam.

Weton Tulang Wangi

1 Suro 2025 menjadi momen penting bagi masyarakat Jawa untuk meneguhkan niat, membersihkan hati, dan memperkuat jalinan dengan Tuhan serta leluhur. Di tengah modernitas, warisan budaya ini terus hidup dan dijaga, sebagai bagian dari identitas spiritual dan budaya bangsa.

Weton Tulang Wangi adalah salah satu istilah dalam kepercayaan masyarakat Jawa yang berkaitan dengan weton atau hari kelahiran berdasarkan penanggalan Jawa (gabungan hari pasaran dan hari dalam sepekan). Dalam tradisi Jawa, “tulang wangi” bukan sekadar istilah puitis, tetapi mengandung makna simbolis yang dalam.

Makna “Tulang Wangi”

Secara harfiah, tulang berarti tulang, dan wangi berarti harum. Namun dalam konteks spiritual dan budaya Jawa, “tulang wangi” merujuk pada orang yang memiliki pengaruh besar bahkan setelah wafat. Istilah ini biasa digunakan untuk menyebut seseorang yang:

Advertisement
  • Dikenal sangat berwibawa dan disegani semasa hidupnya,

  • Dikenang dalam kebaikan dan didoakan banyak orang setelah meninggal,

  • Meninggalkan pengaruh moral, spiritual, atau sosial yang terus hidup,

  • Sering kali dianggap sebagai orang pilihan, bahkan orang suci atau tokoh spiritual.

Hubungan dengan Weton

Beberapa weton tertentu dalam primbon Jawa dipercaya membawa watak atau nasib yang “tulang wangi”. Misalnya, orang yang lahir di weton Senin Legi, Jumat Kliwon, atau weton tertentu yang memiliki neptu (jumlah nilai hari dan pasaran) yang tinggi, bisa dikategorikan sebagai pribadi “tulang wangi”.

Namun, gelar ini tidak serta-merta dimiliki berdasarkan weton semata, melainkan juga karena perilaku, akhlak, serta amal perbuatan selama hidupnya. Artinya, seseorang bisa memiliki weton biasa, tetapi karena laku hidupnya luhur, ia menjadi “tulang wangi”.

Ciri-ciri Orang Weton Tulang Wangi

  1. Berpengaruh di lingkungan sekitar tanpa harus banyak bicara.

  2. Dihormati dan dihargai, bahkan oleh orang yang baru mengenalnya.

  3. Setelah meninggal, makamnya sering diziarahi, dan banyak yang percaya doanya makbul.

  4. Bijaksana, tenang, tidak suka pamer, dan jarang menyakiti hati orang lain.

  5. Kerap menjadi panutan, baik secara keilmuan, spiritual, maupun sosial.

Dalam budaya Jawa, “weton tulang wangi” bukan sekadar prediksi atau ramalan, tetapi pengingat agar manusia hidup dengan penuh kesadaran, budi pekerti, dan niat yang bersih. Gelar ini menjadi penghormatan terakhir bagi mereka yang hidupnya memberi manfaat dan setelah wafat pun tetap dikenang dalam kebaikan

Advertisement
Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner BlogPartner Backlink.co.id

Populer