Connect with us

Opini

Menyingkap ‘Kehendak’ Politik

Oleh: H.Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag., M.Si.
(Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)

“Yang nyata hanyalah kehendak, di luar itu adalah maya.” Ungkapan ini rasanya cukup tepat bila kembali didedahkan jelang memasuki tahun politik 2014. Ungkapan Arthur Schopenhauer dalam The World as Will and Idea itu membedah secara mendalam sesuatu yang tampak di permukaan (fenomena) guna menemukan sesuatu yang nyata dan esensial (numena). Ungkapan itu pula yang mengemuka dalam diskusi “Mayapada Politik: Kuasa atau Cita?” di salah satu Cafe Pamulang, Rabu (23/10).

Dalam politik, kehendak seringkali diidentikkan dengan kekuasaan. Meski anggapan ini terkesan naif, perilaku politik cenderung diterjemahkan demikian. Pelbagai ekspresi politik menyangkut visi-misi, janji, slogan dan sebagainya terlanjur ditanggapi sebagai penampakan dari kehendak tunggal yang terselubung.

Pandangan semacam itu mungkin ada benarnya. Sebab, kadangkala panggung politik tak jauh beda dengan pertunjukan drama bertopeng. Wajah asli pemeran utama disembunyikan. Tanpa mengenali siapa aktor sesungguhnya, penonton sengaja dihipnotis dengan aksi sensasional dan kontroversial. Ditambah lagi setting panggung yang mengedepankan nuansa figurative, sehingga makna dan pesan substansial pertunjukan tenggelam.

Advertisement

Akan tetapi, berbeda dari anggapan itu, sampai saat ini penulis masih percaya bahwa politik merupakan jalan pencarian keuatamaan (agathon). Politik bersifat publik sehingga harus dibedakan antara oikos (rumah tangga) dan polis (negara kota).

Dalam rumah tangga, berlaku hukum “menguasai” dan “dikuasai” antara laki-laki dan perempuan, majikan dan budak. Sementara kehidupan bersama di ruang publik dipahami sebagai jalan kebebasan mencapai keutamaan dan kebaikan. Bila oikos di ruang privat ditandai dengan praktik kekuasaan, maka polis diwarnai dengan penyampaian aspirasi demi kepentingan bersama.

Namun, bagaimana mengenai panggung politik yang “politis” tadi? Ruang publik yang di-politicking? Adakah garis demarkasi guna melihat politik untuk kebaikan bersama dan politik untuk kepentingan kekuasaan semata?  Di sinilah perlu dibedakan–meminjam istilah Anthony Giddens—antara ruang depan dan ruang belakang. Perbedaan ini dapat membantu kita menangkap kehendak di balik penampakan politik.

Ruang depan terdiri dari tempat di mana segala tindakan dan penampilan dipersiapkan dengan penuh gaya, formal serta didesain agar bisa diterima secara sosial. Sementara ruang belakang adalah ruang belakang layar di mana seseorang bertindak dan berpenampilan kurang formal. Di ruang belakang, aktivitas seseorang tidak lagi terdistribusi dalam kehidupan sosial selaku social being, melainkan pergulatan diri yang otentik sebagai human being.

Advertisement

Pandangan dan Karakter

Karena tindakan dan penampilan di ruang belakang dinyatakan kurang formal, maka seringkali wajah sejati seseorang nampak transparan. Wajah yang sebenarnya tanpa tedeng aling-aling. Jika memang menyimpan ambisi kekuasaan, maka di ruang ini akan terlihat dengan nyata, baik dari segi sifat, perkataan, pengakuan, dan sebagainya. Dengan kata lain, untuk melihat kepribadian asli seseorang, tengoklah kehidupan di ruang belakang, ruang yang jarang diberitakan dan ditampilkan ke publik.

Hanya saja ada beberapa hambatan dan keterbatasan untuk mengakses ruang belakang kecuali hanya lewat biografi singkat dan kesaksian sepintas orang terdekat. Karena itu, perlu melihat lebih jauh kehendak politik yang dilapis di dunia maya lewat pandangan visioner serta kerangka konseptual yang diajukan. Tanpa tawaran dan pengajuan itu, kehendak itu tak akan pernah terbaca.

Salah satu cara paling memungkinkan adalah dengan cara menguji pandangan guna melihat kesungguhan serta tingkat kemungkinannya dalam kenyataan. Sebab, pada dasarnya setiap orang punya potensi melahirkan pandangan utuh dan memadai. Apalagi di era marketing politik seperti sekarang di mana jasa konsultan bisa digunakan. Tetapi dari sekianbanyak pandangan itu, hanya sedikit saja yang bisa merealisasikan. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, yakni mengingkari pandangannya sendiri.

Advertisement

Pengujian pandangan bisa dilakukan melalui tiga hal, yaitu dari aspek koherensi (konsistensi atau kesinambungan pernyataan atau pemikiran), korespondensi (kesesuaian pernyataan dengan kenyataan), dan aspek pragmatis (melihat plus dan minus suatu pandangan).

Aspek pertama berupaya mengkaji konsep pembangunan di bidang politik, budaya, ekonomi dll seraya menilainya secara rasional. Aspek kedua melihat aplikasi pernyataan atau pemikiran dalam realitas. Sementara, aspek ketiga melihat pada dampaknya bagi kehidupan masyarakat.

Selain itu, pembacaan karakter juga penting. Pembacaan karakter yang dimaksud adalah penelusuran kepribadian baik di ruang depan maupun ruang belakang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.

Ruang depan bisa dilihat dari sikap kepemimpinan masing-masing terutama ketika menghadapi berbagai persoalan krisis sosial (sesuai lingkup pergaulan masing-masing) serta cara mengatasinya. Demikian pula di ruang belakang di mana personality terwujud dalam kebiasaan dan sikap yang kurang formal. Tentunya, pengujian pandangan dan pembacaan karakter tersebut harus dikontekstualisasikan dengan persoalan dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.

Advertisement

Melalui cara itu diharapkan masyarakat tidak lagi memilih kucing dalam karung di setiap momen pemilu. Kehendak politik tiap calon eksekutif maupun legislatif dibaca dan diuji lebih cermat sehingga nantinya benar-benar sesuai harapan bersama.

Populer