Banten
Sejarah Terbentuknya Provinsi Banten “Ragam Pusaka Budaya Banten”
Detik-detik perjuangan yang “menggetarkan” selama kurun waktu 1999 – 2000 boleh dikata sudah “tergilas” zaman, dan tak mungkin terulang kembali. Namun, catatan sejarah yang terpatri dalam setiap kata yang mengandung makna dan pesan seakan-akan “menegur” atau mungkin “menggugat” kita untuk kembali menjadi idealis dalam mengusung cita-cita dan tujuan terbentuknya Provinsi Banten.
Era Presiden B.J. Habibie menyatakan dukungannya di Pondok Pesantren Darul Iman Pandeglang, Jum’at 5 Februari 1999. Dilanjutkan kemudian dengan pertemuan tokoh-tokoh Banten yang menyatakan “Kebulatan Tekad” yang dilaksanakan di Kampung Nyi Mas Ropoh, Pandeglang, 23 Januari 2000. Cita-cita idealis menggema di forum-forum diskusi dan orasi, serta dalam kegiatan lain seperti tertuang dalam pernyataan sikap berbagai komponen masyarakat yang dipelopori oleh Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia (GPRI) Serang, dan yang diikuti oleh Parpol, LSM, OKP, Organisasi Mahasiswa, ulama/ kiai, pendekar dan para pejabat eksekutif, legislatif dan lainnya.
Keberhasilan membangun persatuan dan kesatuan masyarakat Banten dan tokoh-tokohnya dapat diibaratkan sebagai orang yang akan membina rumah tangga baru, sehingga satu sama lain “saling menjaga nama baik”. Dalam kondisi kondusif yang tertuju pada “lahirnya” Provinsi Banten, maka di-”kawin”-kanlah ide-ide daerah dengan pusat (rakyat Banten dengan Pemerintah Pusat) yang kemudian disetujui melalui RUU No. 23 Tahun 2000 tentang Provinsi Banten sebagai “kelahiran Provinsi Banten”, 4 Oktober 2000 di Senayan, Jakarta.
“Perkawinan Ide” tersebut didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut : Pertama, karena terdorong dengan Limaliha (harta/kekayaan alam), yakni potensi alam yang melimpah baik hasil pertanian, perikanan laut/darat, perkebunan, tambang emas, maupun industri yang mampu menyumbangkan devisa negara cukup besar. Kedua, karena terdorong dengan Walihasabiha (keturunan), yakni tokoh-tokoh Banten dari keluarga Kesultanan, ulama/kiai, tubagus, mas atau entol dan lainnya sudah banyak yang menjadi tokoh-tokoh nasional yang mengabdi di lembaga-lembaga pemerintah di pusat hingga daerah, termasuk para pejuang kemerdekaan RI di masa lalu yang mempunyai andil cukup besar atas kemerdekaan RI. Ketiga, karena terdorong dengan Walijamaliha (kecantikan/ daya tarik daerah), yakni karena memang letak geografis daerah Banten berada di lintas Pulau Jawa dan Sumatera sebagai “pintu gerbang” Ibukota Negara RI, Jakarta.
Keempat, karena Walidiniha (ketaatan agamanya), yaitu faktor penentu untuk dapat menguji berhasil atau tidaknya cita-cita menuju Provinsi Banten guna menyejahterakan masyarakat. Ini tergantung pada tekad para pejabatnya dalam mengemban amanat. Itulah salah satu alasan yang menjadi dorongan kuat dalam perjuangan pembentukan Provinsi Banten, sejalan dengan political will pemerintah yang ditandai dengan ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dimana daerah dituntut untuk mampu mengembangkan SDA dan SDM daerahnya tanpa harus ada ketergantungan kepada Jakarta (pemerintah pusat) yang sentralistik dan membelenggu demokratisasi, berbangsa dan bernegara.
Secara umum misi strategi pembangunan Provinsi Banten sebagaimana dalam kajian konsorsium Perguruan Tinggi, kajian Pokja PPB, Komite PPB maupun Bakor PPB melalui Forum Workshop diantaranya: meningkatkan kesejahteraan/kemandirian masyarakat; meningkatkan kemitraan dengan wilayah lain; menjadikan Banten sebagai pusat kajian budaya, arkeologis, dan agama Islam serta meningkatkan integritas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian juga sasaran/tujuan yang hendak dicapai Provinsi Banten adalah menciptakan Banten mandiri, maju, dan religius dalam wilayah Negara Kesatuan RI. Makna yang terkandung di antaranya: Pertama, Banten tidak tergantung pada dunia luar yang dikhawatirkan merintangi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kedua, nilai-nilai religius yang ada di masyarakat Banten sebagai dasar atau titik tolak pembangunan pemberdayaan SDM. Ketiga, memajukan bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik, baik fisik maupun kesejahteraan sandang, pangan, papan dan lainnya secara merata.
Kronologi Terbentuknya Provinsi Banten
1. Dalam perjalanan sejarah administrasinya, daerah Banten mengalami beberapa kali perubahan. Pada tahun 1620-1677, wilayahnya meliputi Kabupaten Pandeglang, Serang, Lebak, sebagian Kabupaten Tangerang, bagian barat Kabupaten Bogor, dan sebagian kecil bagian barat Kabupaten Sukabumi. Pada periode tahun 1677-1705, daerah Banten bertambah luas ke arah timur terutama di wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi yang berlangsung sampai dimulainya kekuasaan pemerintah Belanda tahun 1811. Sejak tahun itu, Banten berbentuk Karesidenan, wilayahnya meliputi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang.
2. Tahun 1963, beberapa tokoh Banten yang terdiri atas para eksekutif, legislatif, dan kalangan partai politik, berkumpul di pendopo Kabupaten Serang, mencetuskan gagasan perlunya daerah Karesidenan Banten menjadi provinsi tersendiri. Gagasan ini berlanjut dengan dibentuknya Panitia Persiapan Provinsi Banten.
3. Pada tahun 1966, Pangdam Siliwangi, Mayor Jenderal Ibrahim Adjie meresmikan Korem 064/Maulana Yusuf di Serang sebagai upaya membendung pihak PKI memanfaatkan gerakan di Provinsi Banten.
4. Pada tahun 1967-1968, gerakan tuntutan Provinsi Banten gencar kembali. Pada saat itu dilakukan pembersihan unsur PKI/PNI Asu (Ali Surahman) dari kepanitiaan, sementara itu Eksponen ’66 terlibat aktif dalam kepanitiaan, terutama di Jakarta, Bandung, dan Banten. Pada tahun 1967, Tim DPR-GR Tk. I Jawa Barat pimpinan Kastura, tokoh koperasi dan orang Banten Kidul, mengadakan dengar pendapat dengan tokoh partai politik dan organisasi masyarakat di Serang tentang Provinsi Banten. Selanjutnya tim DPR-GR RI pimpinan Brigjen (Pol.) Domo Pranoto berkunjung ke Banten untuk mendengarkan aspirasi tokoh masyarakat Banten di Karesidenan dan mengadakan kunjungan ke lokasi infrastuktur perekonomian.
5. Pada tahun 1970, Bustaman, S.H., dari Fraksi PSII DPR-GR-RI mengajukan usul inisiatif anggota DPR-GR bersama kurang lebih 20 anggota DPR-GR yang semuanya orang Banten, serta Lukman Harun (tokoh Muhammadiyah) dengan rekomendasi dari DPRD-GR Tk. I Jawa Barat menyerahkan kebijakan politiknya kepada pusat. Namun hal ini tidak sempat disidangkan dalam pleno DPR-GR karena pemerintah pusat (ABRI), Kodam Siliwangi, dan Gubernur Jawa Barat tidak mendukung sepenuhnya.
6. Pada tahun 1968, Brigjen Ali Murtopo (Asisten Pribadi Presiden Soeharto) dan kepala Opsus mengirimkan Ketua KAPPI Pusat dari unsur IPPNU (NU), IPM (Muhammadiyah) dan SEPMI (PSII) ke Serang, pada saat Rapim KAPPI se-Jawa Barat dan menyampaikan pesan kepada Ketua KAPPI Jawa Barat, Uwes Qorny agar rapat itu tidak membahas agenda Provinsi Banten, untuk menjaga tidak pecahnya KAPPI Banten dan KAPPI Bandung.
7. Kesepakatan Pemerintah Pusat dan Gubernur Jawa Barat berikutnya ialah pengiriman tim khusus provinsi pimpinan Kolonel Abdullah (Kepala Direktorat Khusus) bersama Tjetje Hidayat (pendiri AMS), Uwes Qorny, Enan Romdani dan puluhan Mahasiswa Kumala (Lebak) dan Kumandang (Pandeglang) ke empat kabupaten di Banten dan Ali Murtopo mengirimkan Moh. Danu Hasan (bekas Panglima DI/TII Jawa Barat) untuk bertemu dengan segenap pemimpin orpol/ormas. Di situ, Kolonel Abdullah atas nama Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyatakan ketidaksetujuannya terhadap gerakan Provinsi Banten. Tetapi DPRD-GR Tk. I se-Wilayah Banten, setelah pertemuan dengan Kolonel Abdullah di wilayah masing-masing memutuskan bahwa tuntutan Provinsi Banten merupakan hak rakyat Banten sepenuhnya.
8. Pada tahun 1974, melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, wilayah Karesidenan Banten diubah menjadi wilayah I Banten bagian dari Provinsi Jawa Barat. Sejak itu jabatan Residen sebagai pejabat tertinggi di karesidenan diganti melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000, banten sebagai wilayah I Provinsi Jawa Barat berdiri sendiri dengan nama Provinsi Banten. Wilayahnya meliputi Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Lebak, Kota Tangerang, dan Kota Cilegon.
9. Pada bulan Agustus 1997, Harian Merdeka Jakarta memuat opini Uwes Qorny yang mendapatkan tanggapan pro-kontra tentang Provinsi Banten.
10. Pada tahun 1998, di Rangkasbitung berlangsung diskusi terbatas yang dihadiri oleh aktifis ’66 dan Kader Mahasiswa Keluarga Lebak (Kumala), membahas kemungkinan dilanjutkannya perjuangan Provinsi Banten. Di Pandeglang, aktifis ’66 yang membahas masalah perlunya dibangkitkan kembali gerakan Provinsi Banten. Di Serang, dengan topik yang sama berlangsung pertemuan yang dihadiri oleh aktifis PGRI, H. Sanuri Almaariz dan beberapa aktivis ’66. Namun dari ketiga pertemuan dan diskusi ini tidak segera ditindaklanjuti.
11. Pada tahun 1999, Tabloid Banten Express memuat tulisan Uwes Qorny tentang Provinsi Banten yang mulai mendapat perhatian publik Banten. Pada tahun itu juga para kiai Banten menyampaikan tuntutan Provinsi Banten ke hadapan Presiden Habibie di Pandeglang. Sebagai jawaban, Habibie menyerahkan ke DPRD Pandeglang. Selain itu, beberapa puluh mahasiswa Banten melakukan demonstrasi ke DPRD Tk. I Jawa Barat/Gubernur Jawa Barat, mendesak Provinsi Banten. Pada tanggal 30 Juni 1999, Harian Republika memuat pernyataan Sumitro bahwa di Jawa Barat harus ada 3 provinsi, yaitu: Jawa Barat tengah (Priangan), Banten, dan Jawa Barat Utara (Cirebon), Subang, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka).
12. Pada tanggal 18 Juli 1999, dideklarasikan Komite Pembentukan Provinsi Banten (KPPB).
13. Pada masa kampanye Pemilu ’99, Ketua Umum PDR Jawa Barat, Uwes Qarny menyatakan tekad untuk memperjuangkan Provinsi Banten di hadapan masa PDR di Lebak dan Pandeglang. Ketua Umum PAN Prof. Dr. Amien Rais dalam kampanyenya di Serang menyatakan akan memperjuangkan Provinsi Banten dan gubernurnya harus putra daerah. Demikian juga dengan ketua umum MKGR, Mien Sugandi pada kampanyenya di Pandeglang menyatakan dukungannya terhadap perjuangan Provinsi Banten.
14. Pada tanggal 4 Oktober 2000, Provinsi Banten diresmikan dan pada saat itu usul Inisiatif Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Banten menjadi UU disetujui oleh para wakil rakyat.
Khatib Mansur, Yayasan Shengpo, Banten
Sumber: Buku Ragam pusaka Budaya Banten
Penerbit : DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA PROVINSI BANTEN dengan BALAI PELESTARIAN CAGAR BUDAYA SERANG
Pengarah: DRS. H. TRI HATMADJI
© 2015, Cetakan ke Tiga