Connect with us

Kabartangsel.com, Nasional — Indonesia diklaim masuk dalam zona merah  intoleransi dari kasus perbedaan suku dan perbedaan agama. Sementara kategori zona kuning dalam konteks kebebasan beragama. Oleh sebab itu, kasus intoleransi masih menjadi ancaman langsung terhadap ke-Bhinekaan dan keberagaman.

“Maraknya intoleransi berpengaruh terhadap konsolidasi demokrasi. Penanganan intoleransi sendiri jangan sampai menganggu prinsip-prinsip demokrasi,” kata Darmawan, Direktur TIFA Foundation atau Yayasan TIFA pada Konsolidasi Media Islam Ramah yang digelar Badan Komunikasi Informasi dan Publikasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)- Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) di di Hotel Blue Sky, Jakarta, Senin (21/8).

Biasanya, media intoleran efektif menggunakan framing dengan mengoptimalkan strategi komunikasi yang sederhana. Contohnya komunikasi dengan simbol-simbol. Ia menambahkan informasi di dalam dunia maya, memiliki ruang yang masif, non hirarki dan cenderung anarkis. Makanya begitu sulit terarsir secara baik. Inilah menurut Dharmawan sebagai cyber politic.

“Pertanyaannya kemudian apakah media Islam ramah mampu mengimbangi frame media-media intoleran,” jelasnya.

Advertisement

Ia menambahkan, intoleransi yang berlebihan lagi-lagi akan merusak demokrasi. Ia menyontohkan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas, disitu ada ruang negara secara bebas untuk menetapkan sebuah organisasi itu apakah anti Pancasila atau tidak, tanpa harus melalui proses putusan pengadilan.

Di dalam Perppu Ormas, tidak mengatur tentang bagaimana mekanisme pengaduan masyarakat guna melaporkan sebuah ormas yang anti Pancasila. Dilanjutkan Darmawan, tidak ada satu pun pasal di dalam Perppu yang membahas mengenai beban terhadap pemerintah  ketika salah dalam memutuskan organisasi itu anti Pancasila atau pro Pancasila.

“Saya berpendapat, Perppu Ormas dianggap jalan pintas. Jangan sampai justru muncul dampak penanganan intoleransi menggunakan kekuasaan,” tegasnya. (sm/fid)

Advertisement

Populer