Connect with us

Artikel

Menjemput Maut !

Oleh: Kang Utay

Terima kasih, guru sekaligus ayahanda M. Quraish Shihab. Mendidik selama waktu bekerja di Pusat Studi Al-Qur’an Lentera Hati Jakarta sekaligus membimbing menjadi anak yang terus membumikan Alqur’an. Telah menyadarkan kami sebuah kalimat “menjemput maut” lewat sebuah judul buku.

Rupanya baru terasa 21 November 2015 kala Ayahanda Sabni Azis pulang ke rahmatulloh. Minang istri bernama Erfi Fitri Susari dengan seorang ayah Sabni Azis tahun 2002, menyisakan banyak pesan berharga. Dan terasa dimulai bagaimana ayahanda Quraish Shihab katakan “menjemput maut”

Bukan hanya soal melafalkan kalimat tahlil sekaligus ayat-ayat qur’annya, tapi semangat “menjemput maut”. Membaca bukan hanya dalam kata-kata tapi diwujudkan dalam perbuatan nyata. Bahkan, bacaan itu sebenarnya ditujukan pada kita yang masih diberikan ruang persiapan amal-ibadah.

Advertisement

Kami dididik ayahanda untuk terus bersiap diri dengan perbuatan. Tidak akan bisa menunggu kapan maut datang, karena dia tidak pernah bisa kita undang. Bahkan kita tolak dengan seribu satu cara, maut tetap akan datang menjemput kita.

Ayahanda mengajarkan baiknya kita menjemput daripada dijemput dalam keadaan terpaksa. Karena sisa amal ibadah yang tidak cukup untuk menghadap Sang Pencipta. Sebuah kondisi yang sulit untuk mengelak dari jemputan Sang Pemilik, sementara waktu kami sudah habis ditelan bumi.

Karenanya, kami lebih baik membumikan Alqur’an daripada kesan langit berlebihan. Semua titah kitab suci dibekalkan dengan kata dan perbuatan, hingga menjemput maut pun kami mampu. Tidak dengan gagap apalagi sengaja melanggar titah ilahi. Dan mangkir karena rupa elok kehidupan di dunia.

Sebentar saja rasanya melihat wajah teduh bapak kami Sabni Azis. Mirip dengan keteduhan mengajarkan “menjemput maut” dengan cara baik, penuh hikmah dan nasihat-nasihat cepat dimengerti. Terasa dalam jiwa bukan hanya dimengerti oleh akal.

Advertisement

Memang ayahanda M. Quraish Shihab mengatakan judul buku “rasionalitas agama”.”Agama adalah yang dimengerti akal”, tapi lewat buku “menjemput maut”, kami disadarkan logika saja tidak cukup. Agama harus bisa menyelami relung jiwa setiap manusia.

Dalam detik-detik setelah kepergian ayahanda Sabni Azis, getar “menjemput maut” sangat terasa. Kehilangan seorang yang tadinya dicinta di depan mata, sekarang sudah ada di perut bumi. Menemani ciptaan-Nya yang setia jutaan tahun menyertai kehidupan manusia.

Detik sekejap dari berita kepergian ayahanda kami terasa singkat. Semua tidak diduga dengan akal sehat apalagi harapan kami yang ingin terus hadir bersamanya. Rasanya kami menolak semua undangan maut itu datang. Sekaligus jika mungkin minta ditunda barang sesaat, tapi itu tidak bisa.

Sebagai manusia, kami terus menggugat semua rasa kehilangan itu. Bahkan umur yang terlepas seketika sering terus diupayakan diraih. Merasa memilikinya meski tidak punya alasan tepat. Mengertinya akan diulang untuk sesaat.

Advertisement

Rasa memiliki ini diwujudkan dengan memberikan nama bahkan sifat-sifat menyertai. Untuk menegaskan bahwa kami memang memiliki dan selalu tidak sadar bahwa semuanya hanya dititipkan, yang satu saat akan dijemput secara paksa.

Sering juga merasa mengerti tentang apa yang dilihat, hinggga selalu menggunakan akal sehat atas segala yang ada. Praktinya, yang dimengerti akal sehat selalu mengantarkan pada keputusan yang sepintas lalu dimengerti, tapi selalu disertai bukti, bahwa ada kuasa di atas kuasa.

Memuja kepemilikan dan pengertian telah menjadikan banyak peradaban di muka bumi bergerak menuju kesempurnaan. Tapi sampai detik ini, kesan kesempurnaan itu terus dicari hingga berganti generasi. Bahkan rebutan kesan kesempurnaan itu ada yang menumpahkan darah pada generasi berikutnya.

Lewat buku “menjemput maut” dan “rasionalita agama” terjalin pesan dua mata koin kebenaran. Kami diajarkan bagaimana cara memahami sebuah kebenaran absolut sekaligus kebenaran yang harus berproses. Tanpa keduanya kami rasa akan tersesat di jalan yang sesat.

Advertisement

Lewat “rasionalita agama” proses mencari kebenaran sangat dinamis sekaligus atraktif. Melahap semua informasi dari sekian banyak sumber sekaligus mengenalkan pada khalayak untuk diuji.

Kami juga teringat pada rasionalitas Albert Enstein yang haus akan kebenaran itu. Terus-menerus mengejar kebenaran sampai hembusan nafas terakhir. Tapi diujung waktu kala dijemput maut, Enstein sadar tidak berdaya. Bahwa dia tidak mampu mengurai sesuatu pada unsur paling kecil dalam benaknya.

Kami pernah menyebutnya “sikap religius para ilmuan”, dalam pojok opini koran harian Media Indonesia. Ternyata dia tidak mampu menolak akal ilahi yang dipersipkan oleh Ibnu Sina. Bahwa setiap diri punya potensi ketuhanan yang akan terus membimbingnya hingga akhir hayat.

Nah, lewat buku “menjemput maut” inilah sikap religius kami mulai diuji. Ternyata kehilangan itu harus dilepaskan sambil terus memupuk diri akan rasa tidak akan pernah bisa memilki. Semua amal itu harus dipersiapkan untuk bekal nanti. Dan jika boleh kami akan “menjemput maut”.

Advertisement

Dengan penuh rasa khidmat dan terima kasih, kami. Hantarkan kepergian ayahanda kami Sabni Azis moga diberikan tempat mulia di sana. Dan kami yang ditinggalkan akan terus menjaga diri sadar bahwa kita tidak bisa memiliki apa-apa. Untuk sebuah kebenaran yang kita yakini sekalipun!

(Artikel Kang Utay Vol. 11)

Populer