Connect with us

Opini

Dari Langgar ke Lahan Untuk Bumi: Transformasi Dakwah Ekoteologi Pesantren

Dari Langgar ke Lahan Untuk Bumi: Transformasi Dakwah Ekoteologi Pesantren

Hari Bumi yang jatuh setiap 22 April sejatinya bukan hanya momentum refleksi ekologis, tetapi juga panggilan spiritual. Di tengah krisis iklim yang kian akut—mulai dari cuaca ekstrem, gagal panen, pencemaran air dan udara—kita perlu bertanya: siapa yang menjaga bumi ketika banyak yang mengabaikannya? Di sinilah pesantren, dengan warisan keilmuan klasik dan akar sosial yang kuat, memainkan peran baru yang tak terduga namun sangat mendesak: sebagai pelopor dakwah ekoteologi.

Pesantren telah lama menjadi penjaga moral dan tradisi. Namun kini, ia menjelma menjadi agen perubahan lingkungan yang berbasis pada nilai-nilai turats dan maqashid syariah. Tidak lagi terbatas pada teks, tapi meluas pada konteks. Tidak hanya mengajarkan tauhid dan tasawuf, tetapi juga etika lingkungan dan teknologi tepat guna. Di sinilah transformasi penting itu terjadi: dari langgar ke lahan, dari pengajian ke pengolahan, dari kitab kuning ke kompos organik.

Elaborasi Turats untuk Bumi

Mengutip Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, dunia adalah ladang akhirat. Maka, merusak lingkungan adalah bentuk pengingkaran terhadap tugas kekhalifahan. Dalam Hari Bumi, pesan ini menjadi sangat relevan. Kita tidak sedang merayakan bumi, tapi merenungi kelelahan bumi akibat keserakahan manusia. Santri-santri generasi baru kini belajar bahwa merusak hutan sama saja dengan menggugurkan amanah Tuhan, bahwa membuang sampah sembarangan bukan sekadar pelanggaran adab, tapi penistaan terhadap nikmat ilahi.

Advertisement

Kitab-kitab klasik kita penuh dengan etika lingkungan yang bisa direvitalisasi. Dalam Bidayat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, ditegaskan bahwa segala bentuk dharar (kerusakan) yang meluas harus dicegah, sekalipun itu membawa manfaat sesaat.

Prinsip al-dharar yuzal dalam kitab Tuhfah al-Habib karya al-Bujairimi dijelaskan secara mendalam. Prinsip ini bisa ditafsirkan dalam konteks modern sebagai penolakan terhadap proyek-proyek pembangunan yang merusak lingkungan dan menyingkirkan masyarakat adat. Dakwah bukan lagi sekadar ajakan moral, tapi menjadi advokasi struktural atas nama maqashid dan maslahat.menjadi dasar untuk menolak proyek tambang yang merusak mata air desa.

Dalam al-Muhadzab karya Abu Ishaq al-Syirazi, dibahas adab bersuci yang sangat memperhatikan kebersihan air dan tanah—pelajaran penting bagi era krisis sanitasi saat ini.

Transformasi Dakwah Ekoteologi Pesantren

Advertisement

Beberapa pesantren sudah bergerak melampaui wacana. Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar di Bogor membangun sistem agroforestri berbasis kemandirian pangan. Pondok Pesantren Sunan Drajat di Lamongan menanamkan kebiasaan santri untuk memilah sampah dan menanam pohon sejak dini. Pesantren Darul Hikmah di Lombok Timur bahkan memiliki unit da’i lingkungan yang aktif berdakwah ke desa-desa pesisir tentang konservasi terumbu karang.

Selain itu, Transformasi ini makin relevan ketika pesantren tidak hanya mengajarkan teori, tetapi menjadi pusat praktik ekologi. Pesantren Al-Imdad di Bantul, misalnya, membangun sistem sanitasi ramah lingkungan dengan konsep zero waste. Pesantren Ekologis Ath-Thaariq di Garut menerapkan pertanian organik terpadu yang berbasis pada karamah insaniyah (kemuliaan manusia) sebagai khalifah bumi. Sementara Pesantren Annuqayah di Sumenep bahkan mengintegrasikan pelestarian budaya lokal dan lingkungan dalam kurikulum formal dan nonformal.

Transformasi ini tidak datang tiba-tiba. Ia adalah hasil kesadaran mendalam bahwa bumi bukan sekadar tempat tinggal, tapi bagian dari saksi kehidupan beriman. Dalam QS. Al-Zalzalah: 4, Allah menegaskan: “Pada hari itu bumi akan menyampaikan beritanya.” Bayangkan jika bumi hari ini sudah bicara: tentang asap yang menyesakkan, sungai yang menghitam, dan tanah yang kehilangan kesuburannya. Apakah kita siap mendengarkan kesaksiannya?

Bumi yang sakit butuh penyembuh. Dakwah ekoteologi dari pesantren bukan hanya terapi spiritual, tapi juga terapi ekologis. Para kiai kini berbicara tentang bi’ah thayyibah (lingkungan yang baik) bukan sebagai konsep abstrak, tapi sebagai proyek nyata: penghijauan lahan gersang, pengolahan limbah, pelatihan tani ramah lingkungan, dan advokasi terhadap proyek industri yang eksploitatif. Dakwah menjadi holistik—menggabungkan zikir dan pikir, antara doa dan daya.

Advertisement

Hari Bumi bukan milik aktivis lingkungan saja. Ia juga milik para santri, para kiai, dan masyarakat pesantren yang hidup dalam keterhubungan dengan tanah dan air. Islam yang rahmatan lil ‘alamin tak bisa dipisahkan dari kepedulian ekologis. Maka, ketika pesantren mulai menanam pohon, membangun embung, memanfaatkan energi surya, atau mengampanyekan gaya hidup minim sampah, mereka sejatinya sedang berdakwah—dakwah yang menjawab jeritan bumi. Inilah jawaban kenapa Undang-Undang Pesantren menjadikan Dakwah dan Pemberdayaan Masyarakat sebagai definisi yang utuh selain perspektif pendidikan yang sudah diemban sejak lama.

Mungkin ini saatnya kita melihat langgar dan lahan sebagai satu kesatuan. Bahwa sujud kita di musala harus berbanding lurus dengan kesediaan kita menyapu halaman. Bahwa menjaga kebersihan hati tak lengkap tanpa menjaga kebersihan bumi. Bahwa akhlak kepada makhluk tidak hanya kepada manusia, tapi juga kepada tanah, pohon, dan sungai.

Dalam peringatan Hari Bumi 2025 ini, marilah kita dengarkan kembali suara bumi dari pesantren-pesantren di pelosok: sunyi, namun substansial. Bukan hanya menyerukan perubahan, tetapi telah mempraktikkannya. Sebab di tengah dunia yang makin bising oleh jargon hijau, justru suara lembut dari pesantrenlah yang memberi harapan: bahwa bumi bisa sembuh, selama masih ada yang setia merawatnya—dengan cinta, dengan ilmu, dan dengan iman.

Fadhly Azhar (ASN Kementerian Agama)

Advertisement
Banner BlogPartner Backlink.co.id

Populer