Connect with us

Opini

Dekandensi Moral dan Pengetahuan

Oleh: H.Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag.,M.Si.

(Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)

Bencana terbesar suatu bangsa ialah ketika terjadi dekadensi moral sekaligus pengetahuan. Nyaris tak ada yang bisa diharapkan dari situasi semacam ini. Batasan hak dan kewajiban dikaburkan. Jarak antara dugaan dan tuduhan juga dileburkan. Semua narasi tentang proyek kebangsaan menjadi buram tanpa arah dan pijakan.

Moralitas dan pengetahuan sejatinya saling bertautan. Bermoral tapi miskin pengetahuan tak cukup merubah keadaan. Demikian pula kaya pengetahuan tapi tak bermoral hanya merugikan tatanan. Banyak contoh yang belakangan mencuat di alam demokrasi kita. Utamanya, terkait kasus yang melibatkan penyelenggara negara beserta respon publik terhadap kejadian tersebut.

Advertisement

Misalnya, dugaan penyalahgunaan jabatan oleh pejabat bertitel sarjana, doktor atau bahkan profesor. Andai itu benar-benar terjadi, tentu bukan karena tak paham soal apa saja yang diakibatkan. Faktor paling utama lebih karena diabaikannya imperatif moral sebagai panutan hidup. Dengan kata lain, ada nilai yang dilanggar sehingga fungsi humanis pengetahuan tercerabut dari akarnya.

Sementara itu, belum juga jelas status hukum bersangkutan, sebagian publik (berikut massa) sudah menghakimi. Tuduhan ekstrim sengaja dibuat mendahului proses hukum. Pengadilan massa digelar mengalahkan kedaulatan hukum yang selama ini dijunjung tinggi. Kutukan, makian, dan umpatan dilayangkan meski kurang mengerti duduk persoalan.

Sebagai sebuah reaksi atas kekecewaan, mungkin bisa saja dilakukan. Namun di negara hukum yang terikat dengan aturan, segala sesuatu di ranah publik punya batasan etis dan yuridis. Hal itu demi terciptanya tatanan sosial yang harmonis dan berkeadilan. Sejahat apa pun seseorang tetap punya hak di mata hukum yang harus dihormati.

Peran media

Advertisement

Tak dapat dipungkiri, media punya peran dalam menengarai masalah tersebut. Kedudukannya sebagai penyedia berita bisa mencerdaskan sekaligus mencerahkan. Dengan mengedepankan fakta secara obyektif serta menyuguhkan pemberitaan secara berimbang, media dapat membebaskan masyarakat dari segala bentuk prejudisme. Unsur edukatif pemberitaan akan menjadi daya dorong kemajuan.

Tapi perlu diingat, media juga dapat menjadi alat ‘pembodohan’ yang menyembunyikan kebenaran di balik fakta atau peristiwa. Terutama media yang memihak pada ideologi atau kepentingan tertentu sangat potensial mengelabuhi pembaca. Biasanya, berita tidak objektif dan tidak berimbang, menyamakan rumor/gosip dengan fakta, mendiskreditkan pihak tertentu, menempatkan teks (penyataan) di luar konteks, berisi fitnah, dan lain-lain.

Model berita demikian cenderung menyesatkan. Masyarakat awam yang kurang paham etika jurnalisme tentu kurang cermat memilih dan memilah berita. Apalagi di era media digital (online) seperti sekarang di mana sensasi dan kecepatan lebih diutamakan ketimbang kualitas.

Media memegang kendali, menggiring wacana, memproduksi makna dan agen. Isu demi isu berkembang begitu cepat, bisa juga digantung lalu ditenggelamkan. Persepsi masyarakat dibentuk sedemikian rupa sehingga kemungkinan-kemungkinan lain tertutup rapat. Dari media pula muncul agen “cicak” dan “buaya”, “sapi berjenggot” serta istilah lain bernada tendensius bahkan berbau SARA.

Advertisement

Karena itu, sebagaimana penulis sampaikan dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu bersama teman-teman aktivis 1998 di BSD, perlu direkomendasikan agar semua elemen termasuk insan media, berbenah diri melakukan refleksi kebangsaan untuk kemajuan bersama. Demokrasi sebagai buah dari gerakan reformasi harus terus dikonsolidasi agar tidak menjauh dari garis edar tujuan bernegara. (Mhl)***

Populer