Connect with us

Ciputat Timur

Save Situ Legoso di Kota Tangsel! Penyerobotan Lahan Terus Berlangsung

Kangkung liar menari-nari menutupi permukaan air. Gulma air, eceng gondok, menambah kesan hijau liar yang mengapung di atas hitamnya air setengah pekat. Sampah baru menumpuk di atas bekas bakaran arang sampah lama. Bangkai tikus dikerubungi pasukan lalat hijau yang buncit. Bau busuk tak sedap ditingkahi pemandangan sesak, di pinggiran Situ (Danau) Legoso, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.

Begitulah rekaman pandangan mata pertama saya, ketika pada Hari Kamis, 5 Desember 2013 kemarin, mendatangi Situ Legoso yang berada di Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan (Tangsel). Lokasi Situ Legoso, diapit oleh Jalan Pesanggrahan (di samping Universitas Islam Negeri/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), juga Jalan Semanggi, dan Jalan Raya Ciputat. Meskipun pihak Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air (DBMSDA) Kota Tangsel menyebut situ ini sebagai Situ Legoso, tapi masyarakat lebih mengenalnya sebagai Situ Kuru.

Tidak seperti ‘saudara kembarnya’ di kecamatan yang sama, yakni Situ Gintung — yang kini terus berbenah —, kenyataan kini menunjukkan bahwa di sekeliling lokasi Situ Legoso justru semakin dipadati bangunan-bangunan permanen. Ada rumah pribadi, warung makan, rumah petak alias kost-kostan yang berjajar dengan lapak sewaan untuk usaha niaga lainnya. Kalau pun masih ada tanah kosong di beberapa sudut bibir Situ Legoso, itu pun nampak sudah dibangun pondasi kokoh dengan material batu kali. Tambah lagi, di pinggir sisi utara, terlihat patok-patok bambu yang mengelilingi sebidang lahan sekaligus menjadi pertanda atas ‘kepemilikan’ lahan. Sementara di seberangnya, ada petak kolam ikan patin yang juga dikelilingi pondasi batu kali dan menjorok hampir ke tengah Situ Legoso.

“Kolam ikan patin ini milik tetangga sebelah rumah saya. Katanya, lahan kolam ini milik dia pribadi, karena itulah diberi batas dan dibangun pondasi batu kali, meskipun airnya ya tetap dari Situ Legoso. Waktu di sini terjadi banjir setinggi mata kaki, air Situ Legoso dan kolam ikan ini meluap sehingga ikan-ikannya pun kabur terbawa aliran air banjir,” tutur Agus seorang warga di sekitar Situ Legoso yang dijumpai penulis.

Advertisement

Ditambahkannya, dengan penimbunan yang dilakukan sedikit demi sedikit, bahkan kini terlihat ada pohon kelapa yang tumbuh menjulang di tengah Situ Legoso. “Artinya, sampai sudah terbentuk semacam pulau akibat penimbunan. Idealnya, segera dilakukan pengerukan atas lahan yang sudah ditimbun tanah ini. Tapi, bagaimana alat berat bisa sampai ke sini, kalau akses menuju ke Situ Legoso ini adalah gang-gang kecil, yang tak muat dilewati alat berat untuk melakukan pengerukan,” keluh Agus yang sudah sejak sekitar 30-an tahun lalu bermukim di sekitar Situ Legoso.

Memang, cerita penyerobotan dan penyempitan lokasi Situ Legoso bukan isapan jempol. Nyata terjadi! Dulu, luas situ ini mencapai belasan hektar (ada juga yang menyebut hanya empat hektar), tapi kini, yang tersisa cuma tinggal kurang dari se-hektar. “Dulu, luasnya ada kira-kira empat hektar. Sekarang, boleh dibilang, luas Situ Legoso cuma tersisa seribu meter persegi,” tutur Widya selaku Ketua RW 03 di Kelurahan Cempaka Putih, kepada penulis di kediamannya.

Widya, yang tinggal di dekat Situ Legoso sejak pertengahan tahun 1980-an ini membenarkan bahwa praktik penyerobotan area Situ Legoso sudah lama terjadi. Bahkan, sampai detik ini. “Lahan disekeliling Situ Legoso ada yang memperjual-belikan, lalu terjadi pengurukan sedikit demi sedikit. Entah itu dilakukan atas izin siapa. Sebagai RW, saya juga tidak pernah merasa diberitahu, atau dimintakan izin terhadap praktik penyerobotan lahan seperti itu,” tuturnya sembari melayani pembeli pulsa elektrik di counter handhone miliknya, persis di pintu depan rumahnya.

Termasuk, kata Widya, patok-patok bambu yang menandakan kolam ikan di pinggir Situ Legoso sisi sebelah utara (arah ke Kampus UIN). “Kalau sekarang patoknya untuk kolam ikan, khawatirnya kemudian diuruk dan dijadikan kandang ayam. Setelah kandang ayam, karena lahan perairannya sudah diuruk, barulah tinggal dijadikan ‘kandang orang’, atau diubah jadi lahan untuk rumah tinggal,” sitir bapak yang memang ceplas-ceplos bicaranya ini.

Advertisement

Menurut Widya lagi, pada bulan November kemarin, Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany sudah melakukan peninjauan langsung ke Situ Legoso, sekaligus menyaksikan pelaksanaan kerja bakti dalam rangka membersihkan area situ.

“Waktu itu, berdasarkan aspirasi warga kami yang tinggal di sekitar Situ Legoso, saya sempat menyampaikan dua hal kepada Ibu Walikota. Pertama, agar supaya fungsi Situ Legoso dikembalikan seperti semula, yakni sebagai wadah resapan air, dan penampungan air. Maklum, sejumlah saluran air dari kawasan Legoso, Pisangan, Kampus UIN dan sekitarnya, semua bermuara ke Situ Legoso ini, untuk kemudian mengalir lagi ke arah yang lebih rendah. Dan kedua, sesuai aspirasi warga, saya meminta agar Ibu Walikota beserta jajarannya menyelamatkan sisa-sisa keberadaan Situ Legoso ini, jangan sampai lenyap tak berbekas sama sekali,” jelasnya berapi-api mewakili kehendak sekaligus menyampaikan harapan warga di RW 03.

Sementara itu, Daryadi yang menjabat sebagai Ketua RT 03 di RW ini pun menambahkan, sekarang ini sudah tidak bisa lagi menyebut Situ Legoso, karena memang lokasinya yang sudah sangat menyempit, bila dibandingkan pada 30 sampai 40 tahun yang lalu. “Sekarang ini kita lebih tepat menyebutnya sebagai bekas area Situ Legoso. Biar pun begitu, kita tetap menginginkan supaya area yang masih tersisa ini dijaga kelestariannya, difungsikan lagi kegunaannya seperti untuk resapan dan penampungan air,” tuturnya yang kebetulan turut bertandang ke rumah Pak RW 03.

Kepada penulis, Daryadi menyampaikan harapannya agar Pemerintah Kota Tangsel maupun pihak-pihak yang berwenang mengelola Situ Legoso lebih menunjukkan kepedulian atas bekas area situ yang masih tersisa.

Advertisement

“Kalau misalnya, Pemkot Tangsel tidak memiliki cukup tenaga untuk mengelola dan menjaga kebersihan Situ Legoso, kami bersama para warga di sini siap untuk melakukannya. Tapi, untuk itu, Pemkot dimintakan juga bantuan dananya guna membayar upah bulanan tenaga kebersihan khusus yang kami pekerjakan di Situ Legoso ini. Karena, kalau mengandalkan iuran dari warga saja, terus-terang sudah banyak aneka pungutan iuran yang membebani warga. Kami tak ingin menambah beban warga dengan iuran itu,” urai Daryadi sembari menyebut ada sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) yang bermukim di RT 03. “Adapun yang memiliki hak pilih pada Pemilu 2014 nanti, jumlahnya mecapai sekitar 800 jiwa”.

 Daryadi mengungkapkan, untuk mengupah seorang pekerja yang khusus menjaga kebersihan di Situ Legoso, melalui dana kas RT 03 dibayarkan upah sebesar Rp 700.000 per bulan. “Hal ini sudah berlangsung sejak tujuh bulan terakhir, meskipun bukan berarti, warga kemudian tidak melakukan kerja bakti bareng untuk menjaga kebersihan Situ Legoso,” jelas Pak RT 03 sembari mengatakan bahwa uang yang dibayarkan untuk seorang tenaga kebersihan di Situ Legoso, antara lain berasal dari pungutan iuran bulanan dengan nominal sukarela dari para pemilik aneka usaha yang berada di sekeliling Situ Legoso. “Jumlah iurannya enggak banyak, paling banter cuma Rp 20.000 per bulan per pengelola usaha itu,” sergahnya.

Para pemilik usaha itu kebanyakan menempati lokasi di Jalan Pesanggrahan. Maklum, inilah kawasan yang dari sisi komersial memang strategis karena berada persis di sisi kiri pagar Kampus UIN Jakarta. Dengan demikian, berjubel pula mahasiswa-mahasiswi kampus untuk memenuhi berbagai kebutuhan, semisal tempat indekost, foto kopi dan penjilidan, penyewaan komputer, usaha percetakan, warung internet, warung makan, warung sembako, jajanan kaki lima, dan masih banyak lagi. Melintasi Jalan Pesanggrahan, pada saat menjelang siang hari, nampak ramai sekali dengan berbagai aktivitas yang kiranya tak pernah sepi. Padahal, di belakang lapak kios-kios usaha yang ada di sepanjang kiri Jalan Pesanggrahan itu, Situ Legoso terus melenguh lantaran kelestariannya semakin terancam, nyaris mengalami kepunahan, bahkan mungkin sedikit lagi lenyap dari bidikan citra satelit.

Dulu, pada sekitar tahun 1980-an ke belakang, kenang Widya dan Daryadi, perairan di Situ Legoso masih normal. Orang biasa mandi, mencuci baju, dan berenang dengan santai tanpa takut gatal-gatal dan terserang penyakit kulit. Wajar, karena waktu itu, air di Situ Legoso masih bersih ternasuk banyak ikannya. Para pemancing, bermodalkan kail, umpang cacing dan lumut, memanfaatkan ketersediaan kekayaan alam Situ Legoso berupa ikan, seperti mujair, gabus, sepat, juga nila. “Dulu, orang biasa mandi, mencuci baju, memancing ikan, dan berenang-renang di Situ Legoso ini,” ujar Widya.

Advertisement

 Kini, semua cerita itu tinggal kenangan! Air Situ Legoso telah berubah menjadi hitam pekat, permukaan perairannya nyaris tertutupi eceng gondok, gulma air, termasuk kangkung liar. Jangankan ada pemancing yang datang dan nangkring di pinggir-pinggir Situ Legoso, bahkan ikan-ikan pun, mungkin akan emoh untuk hilir-mudik lagi di sini. Begitu pun, jangan berharap ada warga yang mandi, atau mencuci baju lagi di Situ Legoso ini, yang ada malah justru sampah yang menumpuk, serta sesak-padatnya penataan bangunan yang kian menggerus lingkungan situ. Miris banget!

Tak aneh, kalau saat musim kemarau tiba, warga sekitar merasakan kesulitan mendapatkan pasokan air yang berlimpah seperti biasanya. Sementara di musim penghujan, air dari Situ Legoso yang meluap, membuat banjir, dan merendam sejumlah pemukiman warga hingga setinggi mata kaki orang dewasa. Sedangkan di hari-hari biasa, warga bahkan sudah tak mau mengkonsumsi air dari sumur-sumur pompanya sendiri.

“Biar pun pipa-pipanya sudah tertanam sampai sedalam kira-kira 30 meter, tapi air yang dihasilkan dari sumur pompa listrik di sini tetap tidak layak untuk diminum atau dikonsumsi. Airnya bau, konon kandungan zat besinya tinggi. Terpaksa, saya dan rata-rata warga di sini, mengkonsumsi air mineral dalam kemasan galon. Tapi, kalau cuma untuk mandi dan mencuci baju, ya airnya tidak apa-apa,” keluh Iwan asal Jawa Barat, yang baru enam bulan ini sengaja mengontrak sepetak kios untuk usaha konveksi di dekat Situ Legoso kepada penulis.

 Aneh, tak dicantumkan berapa luas lahan Situ Legoso?

Advertisement

Berapa luas area Situ Legoso yang kini tersisa, memang masih belum jelas. Boleh jadi, taksiran 1.000 m2 seperti dikemukakan Widya selaku Ketua RW 03 Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur adalah benar. Tapi bisa juga salah, karena kalau 1.000 m2, itu artinya sama dengan 8 sampai 9 kali luas sebuah lapangan sepakbola. Padahal, berdasarkan pengamatan di lapangan, luas area Situ Legoso yang tersisa, sudah tidak terlalu luas seperti taksiran itu.

Anehnya, data tahun 2011 (yang tak kunjung diperbaharui) pada situs resmi milik DBMSDA Kota Tangsel, dari delapan situ yang ada di se-antero Kota Tangsel, hanya Situ Legoso yang TIDAK TERCANTUM berapa luas lahannya. Entah kelupaan, atau, karena untuk tak terlalu membesar-besarkan fakta dan data terkait penyempitan area Situ Legoso tersebut? Dari delapan situ ini pula, terdapat satu situ yang diberi keterangan: SUDAH DIURUG alias DITIMBUN, yakni Situ Kayu Antap yang memiliki luas 1,5 hektar, dan berada di Kelurahan Rempoa, Kecamatan Ciputat.

Masih dalam situs resmi tadi, disebutkan bahwa di Situ Legoso terdapat sekitar 40 kavling penduduk.[ http://www.dbmsda.tangerangselatankota.go.id/index.php/situ/80-situ-legoso] Sedangkan jarak sempadan bangunan dari danau adalah sekitar 20 meter, dan pemanfaatan lahan sekitarnya dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk, jalan desa, dan universitas (Kampus UIN Jakarta).

Penimbunan area Situ Legoso telah mengubah wilayah perairan menjadi semacam pulau, bahkan dijadikan tempat pembuangan sampah. Pondasi-pondasi bangunan dengan material bahan batu kali, juga semakin menjorok ke wilayah tengah perairan Situ Legoso. (Foto: Dokpri)

Advertisement

Cukup aneh bin ajaib juga kalau disebutkan bahwa jarak sempadan bangunan dari danau di Situ Legoso adalah sekitar 20 meter. Karena kini kenyataannya, bangunan-bangunan permanen sudah benar-benar mencapai tepi Situ Legoso, bahkan ada juga bangunan yang menjorok dan didirikan justru di atas permukaan air. Padahal, kata sempadan itu berarti, garis batas luar pengaman yang ditetapkan dalam mendirikan bangunan dan atau pagar yang ditarik pada jarak tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi saluran, kaki tanggul, tepi situ/rawa, tepi waduk, tepi mata air dan lainnya. (Wikipedia yang mengacu pada Kamus Penataan Ruang pada situs Kementerian Pekerjaan Umum)

Setelah mengetahui makna sempadan tersebut, patut pula ditelaah Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung khususnya pasal 17 dan 18. [http://www.esdm.go.id/prokum/keppres/1990/Keppres%20RI%20No.%2032%20Tahun%201990.pdf]

Pada pasal 17 disebutkan: Perlindungan terhadap kawasan di sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi danau/waduk.

Sedangkan pasal 18 menyatakan: Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik danau/waduk antara 50 – 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Advertisement

Dengan mengacu (terutama) pada ketentuan pasal 18 di atas saja, diduga kuat terjadi pelanggaran wilayah pada Kawasan Lindung di sekitar Situ Legoso. Terutama, oleh para warga di sekitar yang memanfaatkan kawasan tanpa mempedulikan batas sempadan, ekosistem dan kelestarian situ sebagai kawasan lindung.

Pemerintah Pusat, Pemprov Banten, dan Pemkot Tangsel Saling Tunggu Inisiatif?

Ironisnya, diantara warga-yang warga memanfaatkan kawasan sekitar Situ Legoso untuk berniaga barang maupun jasa, adalah mereka yang berasal dari ‘lingkungan dalam’ Kampus UIN Jakarta itu sendiri. Hal ini diakui oleh Prof Dr Abuddin Nata MA, selaku Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Sebenarnya, belum ada survei komprehensif dan membuktikan bahwa mereka yang memanfaatkan kawasan di sekitar Situ Legoso adalah termasuk dari kalangan internal kampus kami. Tapi, dari sejumlah omong-omong, memang benar ada dosen, atau karyawan kampus kami yang membuka usaha di sekitar Situ Legoso itu. Untuk itu, saya tegaskan di sini, bahwa siapa saja yang melanggar aturan mengenai kawasan sekitar situ, yang seharusnya menjadi Kawasan Lindung, hendaknya tetap hars diambil langkah tegas. Tidak mentang-mentang saya sebagai bahagian dari Kampus UIN, lalu saya melindungi kesalahan yang sudah dilakukan oleh mereka yang melanggar aturan tersebut,” tegas Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam ini saat dihubungi penulis melalui telepon selulernya, pada Jumat, 6 Desember kemarin.

Advertisement

 Abuddin mengakui, sejumlah kawasan yang ada di dekat Kampus UIN Jakarta, memang merupakan kawasan yang strategis dan marketable. “Termasuk geliat usaha yang ada di sepanjang Jalan Pesanggrahan yang berdampingan dengan Situ Legoso ini. Kampus UIN jelas membutuhkan keberadaan kawasan perniagaan seperti ini, demi untuk menunjang kegiatan kampus, entah itu demi memenuhi kebutuhan mahasiswa terhadap kamar kost, sampai kepada pemenuhan keperluan mereka sehari-hari, baik untuk perkuliahan maupun non-perkuliahan,” terang mantan Purek II UIN Jakarta selama dua periode ini.

Saking marketable-nya kawasan di sekitar Kampus UIN Jakarta, dan wilayah di sekitar Situ Legoso itu, Abuddin masih ingat pernah ditawari oleh seseorang yang mengaku menjual sejumlah lahan yang ada di kawasan situ. “Kejadiannya waktu saya masih menjabat sebagai Purek II, saya pernah ditawari seseorang agar supaya Kampus UIN membeli lahan di sekitar Situ Legoso. Dan orang itu, mengaku menguasai surat girik dari tanah yang dimaksud. Memang, kondisi waktu itu berbeda dengan iklim saat sekarang ini. Tapi, hal tersebut menjadi pembenaran bahwa memang lahan-lahan yang ada di sekitar kawasan Situ Legoso, ada pihak-pihak yang memperjual-belikannya,” akunya sembari berharap ada langkah penyelesaian komprehensif terkait upaya pelestarian Situ Legoso dengan tanpa memicu konflik horizontal.

Abuddin menambahkan, sewaktu Walikota Tangsel berkunjung ke Kampus UIN Jakarta, dirinya pernah menyampaikan masukan agar Pemkot Tangsel menyelamatkan area Situ Legoso yang masih tersisa. “Bahkan, pernah saya menyampaikan wacana kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Tangsel yaitu DR Rahmat Salam MSi, agar memberikan otoritas kepada pihak Kampus UIN Jakarta guna mengelola Situ Legoso, untuk dijadikan semacam landmark bagi Kota Tangsel. Tapi, lantaran kita semua bingung darimana harus memulainya, maka wacana itu pun akhirnya tak jadi dikembangkan. Karena persoalan yang ditemukan di lapangan, ternyata complicated,” jelasnya.

Pada intinya, kata Abuddin lagi, pihak Kampus UIN berharap agar fungsi utama Situ Legoso dikembalikan lagi, diantaranya sebagai kawasan resapan air, dan segera dilakukan penghijauan, serta penataan, termasuk memperjelas masalah kepemilikan lahan demi lahan yang ada di sekitar situ. “Apalagi, saya tahu persis, kalau musim hujan, di sisi sebelah timur Situ Legoso, sering terjadi banjir, akibat air yang tidak dapat mengalir dengan lancar gara-gara terhambat oleh bangunan-bangunan yang sudah ada,” tuturnya.

Advertisement

 Abuddin berpendapat, nampaknya antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi Banten, dan Pemerintah Kota Tangsel saling menunggu inisiatif untuk melakukan upaya nyata pelestarian area Situ Legoso. “Ini bisa benar, juga bisa tidak, tapi, kesimpulannya adalah perlu ada inisiator yang dapat bekerja secara lintas sektoral, dan bisa membawa upaya pelestarian Situ Legoso ini ke berbagai akses yang terkait. Dan saya menegaskan di sini, bahwa saya siap untuk mengkomunikasikan hal ini kepada Kampus UIN Jakarta. Kami sadar bahwa Situ Legoso adalah merupakan bagian dari ‘tetangga terdekat’, dan kami wajib melestarikannya,” tegas Ketua Tim Tanah Kampus UIN Jakarta ini.

Pelestarian area Situ Legoso mutlak dilakukan dengan segera. Pemerintah Pusat, Pemprov Banten, dan Pemkot Tangsel, tak patut lagi saling lempar wewenang, seperti kejadian ketika Bendungan Situ Gintung luluh-lantak pada tahun 2009 silam, dan menelan banyak korban jiwa serta harta benda.

Tak laik juga kalau Pemkot Tangsel — tempat dimana lokasi Situ Legoso berada —, terlalu lama menunggu inisiatif upaya pelestarian area situ. Sementara di lapangan, penyerobotan lahan Situ Legoso terus berlangsung dan mengancam situ ini hilang akibat ditimbun tanah sedikit demi sedikit, oleh mereka yang hanya mengejar keuntungan pribadi, tanpa peduli lingkungan dan alam lestari.

Apakah Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany akan mengulang kisah Situ Kayu Antap, yang sudah lebih dulu lenyap tak berbekas ditimbun tanah? Apakah kisah sebuah situ yang lenyap, yang lagi-lagi akan diceritakan tanpa perasaan berdosa kepada anak-cucu generasi nanti?

Advertisement

Aaaahhhh, come on dear Airin … let’s SAVE SITU LEGOSO!!!

Gapey Sandy

Populer