Lembaga Zakat Infak dan Sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU) menggelar Seminar Nasional Filantropi Nusantara, Kamis (2/2/2017).
Seminar tersebut bertema “Penguatan Filantropi Islam Nusantara untuk Kemandirian Ekonomi Umat”, bertempat di Gedung PBNU Lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat.
Seminar tersebut diadakan sebagai upaya penguatan kelembagaan NU CARE (brand LAZISNU) dalam menopang program-program yang telah dicanangkan, baik di tingkat pusat maupun provinsi dan kabupaten/kota, khususnya dalam merealisasikan amanah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Seminar diikuti oleh pengurus NU CARE–LAZISNU di tingkat Provinsi (Cabang) dan NU CARE–LAZISNU Kabupaten/Kota (UPZIS) seluruh Indonesia.
Seminar menghadirkan materi dan pembicara antara lain, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH. Said Aqil Siraj, Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi RI, Eko Putro Sandjojo, Anggota DPR RI, Ahmad Basarah, Ketua PBNU, KH. Sulton Fatoni, Pengamat Terorisme Dr. Wawan H. Purwanto.
Pada kesempatan yang sama, juga dilakukan serah terima Sertifkat ISO 9001: 2015 dari NQA kepada NU Care-LAZISNU.
Seminar tersebut menjadi rangkaian awal dari “Workshop Asistensi Manajemen ZIS” yang diselenggarakan pada Jumat-Minggu, 3–5 Februari 2017 di Pondok Pesantren Global Insani Mandiri (GIM), Sukabumi, Jawa Barat.
Rais Aam PBNU, KH. Ma’ruf Amin menyampaikan dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Asaakir, dari Jabir bin Abdillah RA, dari Rasulullah SAW, Allah berfirman, “Inna hadza diinun irtadloituhu linafsi, lan yushlihahu illaa as-sakhoo-u wa husnul khuluq, fa akrimuuhu bihima maa shohibtumuuhumaa,”
(Inilah agama yang Aku ridhai untuk diri-Ku. Tidak ada yang mampu membuatnya bagus, kecuali kedermawanan dan akhlak yang bagus. Karena itu, muliakanlah agama ini dengan yang dua itu selama kamu melestarikannya.”
Mengapa kedermawanan? Sebab harta adalah titipan Allah. Titipan itu bisa benar-benar menjadi anugerah kalau manfaatnya mampu menetes kepada lingkungan. Bagi seorang mukmin, segala isi dunia ini, termasuk harta, harus berfungsi ibadah. Ibadah berarti infak. “Wa mimmaa rozaqnaahum yunfiquun”, (dan sebagian dari yang Kami anugerahkan, mereka infakkan: derma.)” Sungguh merugi, hartawan yang tidak demawan. Rugi diri sendiri, rugi pula masyarakatnya.
Dalam sebuah hadisnya Rasulullah SAW bersabda, bahwa di antara empat hal yang menentukan tegaknya dunia (masyarakat) adalah dermawannya kaum berpunya, di samping ilmunya para ulama, hadirnya pemimpin yang adil, dan doanya orang miskin. Tujuan kerasulan Muhammad SAW adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sedangkan akhlak itu sendiri melayani dua matra: hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minan naas (hubungan dengan sesama manusia).
Tidak dapat disebut berakhlak mulia kalau kedua matra itu tak terlayani dengan sebaik-baiknya. Bukan akhlak mulia bila keshalihan ritual tanpa dibarengi keshalihan sosial atau sebaliknya. Sama halnya dengan khusyuk (merendahkan diri di hadapan Allah), tak dapat dipisah dari tawadhu (berendah hati di hadapan makhluk).
Zakat, infak dan sedekah sebagai bentuk keshalihan sosial dan hablun minan naas, merupakan instrumen yang sangat penting dalam pemberdayaan masyarakat. Sebab jika potensi zakat itu bisa tergali maka pemberdayaan masyarakat akan besar dan bisa menghilangkan kemiskinan di Indonesia.
Diperlukan upaya untuk terus menggali potensi zakat ini agar bisa memberikan nilai tambah dan melakukan perubahan besar-besaran dalam mengentaskan kemiskinan dengan cara yang sangat cepat. Jumlah masyarakat muslim Indonesia yang banyak, menjadi sangat potensial untuk menjaring sebanyak-banyaknya para calon muzaki. (pr/fid)