Connect with us

Serpong, kabartangsel.com — Kalangan mahasiswa kerap rawan menjadi target indoktrinasi dan perekrutan oleh kelompok terorisme. Padahal mahasiswa memiliki andil serta berperan penting dalam mendorong suksesi program pembangunan daerah.

Oleh karenanya perlu dilakukan upaya penguatan dengan meningkatkan pengetahuan dan wawasan kebangsaan terhadap kalangan mahasiswa. Hal tersebut terungkap lewat kegiatan “Dialog Pencegahan Terorisme Dikalangan Mahasiswa serta Peningkatan Tolerasi dan Kerukunan Kehidupan Beragama” yang digelar oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Tangsel.

Asisten Daerah I Bidang Pemerintahan Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Rahmat Salam, mengungkapkan terorisme hadir karena adanya golongan yang berupaya merusak persatuan. Pun diantara pemicu lainnya akibat belum stabilnya masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya.

“Hal-hal yang perlu dilakukan dalam mencegah terorisme dengan mewaspadai sejak dini. Segera laporkan bila ada yang mencurigakan, bekerja secara harmonis dan tumbuhkan sikap peduli serta tindakan antiterorisme di lingkungan,” pesannya di Saepisan Resto, Kecamatan Serpong, Selasa, (21/11/2017).

Advertisement

Sementara itu, Kapolres Kota Tangsel, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Fadli Widianto, mengungkapkan bahwa semua pembahasan di atas berkaitan dengan ideologi atau keyakinan. Kelompok terorisme kerap mengeksploitasi dengan tindakan indoktrinasi terhadap kaum muda.

“Kelompok terorisme seringkali merasa adanya ketidakpuasan atau tindakan balas dendam terhadap suatu kebijakan,” ungkapnya.

Fadli memaparkan, ada empat bentuk terorisme yang telah berkembang. Yakni, teror fisik, mental, nasional dan internasional. Kegiatan terorisme mempunya tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan. Sehingga dapat menarik perhatian orang, kelompok ataupun suatu negara.

Fadli menjelaskan, teroris termasuk dalam kejahatan internasional. Kelompok ini terorganisasi dengan baik serta mempunyai jaringan luas serta sistem sel luas.

Advertisement

Maka perlunya mencegah lingkungan perguruan tinggi jadi sasaran pengusung paham radikal. Mereka membidik para mahasiswa yang secara psikologis masih dalam proses pencarian jati diri.

Menurutnya, dalam banyak kasus pegiat paham radikal membidik mahasiswa yang “polos”. Artinya yang tidak memiliki latar belakang keagamaan yang kuat. Kepolosan mahasiswa ini dimanfaatkan oleh pengusung paham radikal dengan memberikan doktrinasi keagamaan yang monolitik.

“Kaku, dan jauh dari kontekstualisasi. Proses inilah radikalisme ditanamkan dan disebarluaskan melalui sistem kaderisasi yang ketat dan cenderung tertutup,” tutup Fadli.

Advertisement

Populer