Connect with us

Opini

Kebodohan: Musuh Utama Umat

Oleh: @Verimuhlis *

Dalam salah satu tulisannya di majalah Al-Urwah al-Wusqâ, Jamaluddin al-Afghani (penggerak pembaharuan Islam, lahir Afghanistan 1254 H/1838 M) melihat ketidakberdayaan umat Islam menghadapi kolonialisme Barat yang berhasil menguasai bidang militer, politik, ilmu pengetahuan maupun teknologi. Ketidakberdayaan itu terjadi akibat dirasukinya paradigma umat oleh pemahaman keagamaan parsial, asketis, dan esoteris sehingga cenderung mengesampingkan persoalan moral dan sosial-politik.

Kondisi itu memporak-poranda peradaban Islam sebelumnya yang telah mencapai titik kulminasi, sekaligus memberi jalan bagi hegemoni peradaban lain khususnya Eropa. Sejak masa Renaissance, dunia Barat memberi perhatian khusus terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan sains di mana muncul penemuan-penemuan ilmiah cukup berarti. Teknologi, sebagai aplikasi sains, menjadi tiang kemajuan peradaban Barat yang sangat dibanggakan dalam segala bentuknya. Bahkan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, Barat dengan mudah menguasai negara lain termasuk negara Islam.

Dua wajah peradaban yang tanpak dikotomis—di satu sisi menghitung mundur peradabannya sendiri, dan sisi lain semakin melebarkan sayap dan melancarkan dominasi— membuat al-Afghani menyerukan agar umat Islam kembali berpegang pada ajaran Islam murni. Sebab, Islam yang dipahami dan dipraktikkan waktu itu dinilai jauh dari prinsip-prinsip ajaran Islam. Islam dalam praktik ditandai ketaatan buta terhadap bid’ah yang menekankan satu aspek saja dari kehidupan, yakni aspek ukhrâwî (kehidupan akhirat).

Advertisement

Padahal, dalam Islam tidak ada pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat. Pencapaian tujuan keduanya harus berjalan diametris, tanpa menanggalkan salah satunya. Oleh sebab itu, al-Afghani melihat pentingnya transformasi Islam historis atau Islam dalam praktik menuju Islam Ideal dengan membuka kembali kesadaran ber-ijtihad. Tetapi, ijtihad di sini berbeda dengan pengertian Wahabi yang menjauhkan penalaran rasional sehingga ijtihad tidak begitu efektif, bahkan berpotensi melahirkan bid’ah baru.

Upaya pembaharuan al-Afghani terus berlanjut pada penyadaran umat akan pentingnya ilmu pengetahuan demi kemajuan peradaban Islam. Dalam kontek manapun, peradaban selalu diukur dengan seberapa jauh ilmu pengetahuan diapresiasi dan dikembangkan serta penemuan apa saja yang memberi kontribusi terhadap masyarakat. Ilmu pengetahuan menentukan kategori di wilayah mana sebuah kebudayaan dikatakan maju atau mundur, superior atau inferior. Melalui ukuran ini, al-Afghani dengan lantang mengakui superioritas peradaban Barat karena dapat dikonfirmasi secara objektif. Dan, kemunduran peradaban Islam tidak lain karena kondisi umat yang tidak mengamini pentingnya ilmu pengetahuan sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an.

Dengan demikian, al-Afghani ingin menegaskan bahwa musuh Islam bukanlah Barat melainkan kebodohan yang tidak menyediakan alternatif apapun kecuali tunduk di hadapan sang kolonial. Ia menyatakan “Dalam kenyataannya, perampasan, agresi, dan penaklukan tidak datang dari bangsa Perancis di Afghanistan atau bangsa Inggris di Tunisia, tetapi dari ilmu pengetahuan yang di mana-mana menampakkan kebesaran dan kekuasaannya”.

Setelah memberikan penyadaran ijtihad dan pentingnya ilmu pengetahuan, al-Afghani berusaha membangkitkan solidaritas umat lewat penguraian masalah identitas. Islam sebagai sistem kepercayaan ia sebut dengan istilah identitas keagamaan yang melampaui identitas etnis. Walaupun di dalam masing-masing identitas terpaut solidaritas, identitas keagamaan mempunyai nilai berbeda dengan identitas etnik.

Advertisement

Bila dalam identitas etnis solidaritas disandarkan atas dasar kesamaan historis, baik bahasa, asal-usul (nenek moyang), dan batas wilayah geografis, maka solidaritas keagamaan lebih didasarkan pada historisitas lain, yakni kepercayaan. Konsekuensinya, identitas keagamaan terbentang sedemikian rupa tanpa mengenal perbedaan bahasa maupun wilayah geografis.

Al-Afghani menganalisis identitas Islam pada sejarah awal kelahiran Islam di tengah berbagai suku Arab yang saling bertentangan, bertikai bahkan saling membunuh (mayarakat jahiliyah). Lalu Islam datang dengan membawa pandangan egaliter, toleran, dan saling menghargai sehingga tercipta tatanan hidup yang lebih manusiawi. Di sinilah Islam mendapat peran sebagai agama yang menyediakan bentuk solidaritas antar sesama serta mengakui adanya satu identitas, yaitu identitas Islam.

Motivasi al-Afghani membangkitkan solidaritas Islam adalah—di samping melihat kerajaan-kerajaan Islam takluk di hadapan imperialisme—ingin menunjukkan bahwa kepedulian seorang muslim terhadap masalah moral dan sosial-politik sangat penting untuk mempertahankan kedaulatan bersama. Solidaritas merupakan tanggungjawab kontrol atas pemerintahan yang bertindak di luar kepentingan rakyat. Siapapun pemimpin itu, jika mengamalkan hukum Tuhan tentang keadilan, kesetaraan serta melindungi hak-hak rakyat, maka patut dihormati.

Tiga agenda pembaharuan al-Afghani di atas memasukkan tokoh ini ke dalam modernisme Islam yang merevitalisasi Islam praktek menuju Islam ideal. Tanggapannya terhadap Barat tidak serta merta konfrontatif atau sebaliknya bersikap akomodatif, tetapi mengakui kemajuan peradaban Barat dan menyikapinya secara kritis hingga sampai pada kesimpulan bahwa Islam bisa maju dengan kembali kepada ajaran Islam itu sendiri.

Advertisement

Dengan semangat herodian (istilah Hani Srour berdasarkan teori Toynbee, merujuk pada orang yang memakai senjata musuh untuk melawan), al-Afghani mempunyai keyakinan membersihkan hegemoni Barat melalui agenda besar itu terutama pengembangan ilmu pengetahuan sebagai fondasi kemajuan peradaban. Pengembangan ilmu pengetahuan dan sains harus benar-benar nyata dalam Islam kembali mencapai kemajuan.

Apa yang bisa ditarik dari agenda pembaharuan al-Afghani? Satu hal penting adalah upaya membangkitkan kesadaran umat akan peran ilmu pengetahuan bagi kemajuan peradaban. Ilmu pengerahuan merupakan kunci membangun kehidupan. Tentu saja yang dimaksud bukanlah ilmu pengetahuan yang digunakan untuk tujuan hegemoni, mengancam keberlangsungan hidup manusia atau ekploitatif. Melainkan, digunakan untuk tujuan emansipatoris yang membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, ketertindasan, keterjajahan, dan keterbelakangan.

*H.Veri Muhlis Arifuzzaman (Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)

Advertisement
Banner BlogPartner Backlink.co.id

Populer