Terlepas dari persoalan kontraversi BPJS, sebenarnya tantangan mendorong dan menciptakan kota sehat sejatinya bisa disepakati semua. Permasalahannya, persoalan sehat tidak hanya merupakan urusan yang menjadi ranah ilmu kesehatan dan kedokteran semata, tetapi sehat juga merupakan praktik yang diproduksi secara sosial-budaya. Termasuk warga kota sendiri.
Ketika membicarakan kota sehat sebagai vis dan agenda, maka pemaknaan atas ide, perilaku, dan paradigma sehat sendiri penting dipahami. Di sinilah muncul persoalan. Di mana pemahaman atas sehat hari ini dikonstruksi sedemikian rupa oleh beragam narasi yang diproduksi sedemikian rupa.
Memang beberapa pihak sudah mulai cukup banyak memberikan pemahaman yang lebih mengarah kepada peningkatan kualitas perilaku. Bahkan tagline “sehat dimulai dari pikiran” mulai menggema pada mereka yang sudah mulai menyadari bahwa paradigma sehat selama ini mengalami anomali. Dari satu anomali ke anomali berikutnya ini yang terus terjadi. Sehingga melekat menjadi seperti budaya.
Sebagai contoh, banyak masyarakat tidak menyadari bahwa food combining itu demikian penting memberikan pengaruh kepada kualitas sehat. Keahlian sederhana ini nyaris tidak ada pelajarannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain pola komposisi makanan, pola dan waktu makan, jenis asupan yang wajib, boleh, dan “terlarang” dimakan, merupakan pengetahuan dasar untuk mendorong seseorang memiliki budaya sehat.
Selain masalah makanan, hal lain yang juga memberikan pengaruh kepada kesehatan adalah struktur ruang tempat masyarakat beraktivitas. Coba bayangkan, pada sebuah bangunan kampus tempat saya bekerja, untuk ke naik ke lantai 2 dan lantai 3 saja, disediakan lift. Tentu ini mengundang orang untuk menggunakannya. Padahal jika struktur ruangnya meniadakan lif untuk lantai terdekat, maka orang-orang akan terpaksa menaiki tangga. Begitu juga dengan parkiran. Beberapa bangunan menyediakan ruang parkir nyaris dekat sekali dengan ruang kantornya. Akibatnya, orang malas untuk jalan kaki jauh.
Apa korelasinya dengan penciptaan kota sehat? Tentu saja berhubungan erat. Jika saja pemerintah kota membangun visi sehat dan diimplementasikan pada struktur ruang yang ada, seperti jalur pejalan kaki dan sepeda, bantaran kali, ruang parkir, dan seluruh moda aktivitas masyarakat, maka setidaknya aktivitas untuk menjaga kesehatan tersebut tersedia.
Dalam konteks yang lebih praktis, persoalan mendorong kota sehat melalui edukasi makan dan makanan, serta penciptaan ruang untuk “memaksa” warga berolah raga secara praktis tersebut, bisa dilakukan dengan beberapa tahapan berikut:
Pertama, mengidentifikasi seluruh moda aktivitas warga kota mulai dari jenis pekerjaan/ aktivitas serta kebutuhan ruangnya. Data-data ini akan memberikan masukan ke berbagai pihak untuk merumuskan strategi lanjutan dalam konteks menyehatkan kota dan masyarakatnya;
Kedua, melakukan pemetaan ruang publik ruang terbuka, ruang terbuka hijau atau RTH, dan ruang-ruang lain yang potensial akan menjadi support system kesehatan kota. Kita mengetahui bahwa keterbatasan RTH di perkotaan. Namun di sisi lain, potensi untuk membantu kota sehat sebenarnya tidak hanya dari RTH, tetapi juga dari ruang lain seperti dinding, halaman rumah, jalanan, dan bahkan gank tempat orang lalu lalang. Potensi-potensi itu harus terdata secara detil berikut kontribusinya pada agenda penyehatan suatu kota;
Ketiga, memberikan insentif hijau, atau insentif lain kepada para pihak atau warga yang sudah jelas kontribusinya pada bagian dari agenda penyehatan kota. Misalnya, mereka yang memiliki halaman luas dan mempertahankannya dengan tanaman dan resapan, maka pemerintah akan memberikan insentif yang disesuaikan dengan besaran kontribusinya. Insentif bisa berupa pemotongan pajak, pembebasan iuran BPJS, atau instrumen lain yang mudah dikonversikannya;
Keempat, kampanye. Meski hal ini sudah mulai banyak dilakukan pemerintah, tetapi kampanye untuk mendorong warga kota untuk sehat, nampaknya masih kedodoran pada aspek keteladanan. Hal ini juga ditunjang oleh desain ruang kota yang memang kurang mendukung agenda penciptaan kota sehat tersebut. Agenda untuk mendorong kesehatan nampaknya juga perlu gerakan lebih massif. Bahkan banyak pemerintah daerah lebih fokus kepada pendidikan dan ekonomi, lupa bahwa penciptaan kota yang sehat akan menunjang agenda lain seperti ekonomi dan pendidikan.
Dr Tantan Hermansah SAg MSi, Pengajar Sosiologi Perkotaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: katalogy.com, 3 Februari 2020, versi lebih pendek dimuat di harian RM, 03/02/2020.
- Bisnis6 hari ago
JNE Raih Penghargaan Best Chief Marketing Officer (CMO) Award 2024
- Banten6 hari ago
Ketua Komisi V DPRD Banten Ananda Trianh Salichan Harapkan Masyarakat Ikut Serta Dalam Pengawasan Pendidikan
- Banten6 hari ago
Tanggap Bencana Alam, Sekretariat DPRD Banten Gerak Berikan Bantuan
- Pemerintahan7 hari ago
Festival Tangsel Land 2024, Benyamin Davnie Dukung Perkembangan Industri Kreatif Lokal
- Banten6 hari ago
Wakil Ketua DPRD Yudi Budi Wibowo Hadiri Acara Penganugerahan Predikat Penilaian Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik Tahun 2024
- Nasional4 hari ago
Wapres Gibran Rakabuming Raka Kunjungi MBS Ki Bagus Hadikusumo
- Bisnis6 hari ago
Sabet Penghargaan Most Popular CFO Awards 2024, PGE Tegaskan Pengelolaan Keuangan Kuat untuk Dukung Swasembada Energi
- Bisnis4 hari ago
New Honda PCX160 Semakin Berkelas