Connect with us

Fauzi Muhammad Latif, Mahasiswa Doktoral di Universitas Leiden Belanda yang juga Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU Belanda, sempat mendampingi rombongan Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdaltul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf Amin. KH Ma’ruf tidak sendiri. Ia juga ditemani Wakil Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar. Beberapa tempat penting di bagian utara negeri kincir angin tersebut dikunjungi. Di sela-sela kunjungannya, Fauzi-demikian akrab disapa, sempat menemani Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tersebut menyeruput teh di kawasan Zaanse Schans.

Baca juga: Di Belanda, Rais Aam PBNU Kampanyekan Islam Nusantara

Bincang-bincang Fauzi dengan KH Ma’ruf sebenarnya ingin mencari jawaban tentang rasa keingintahuannya tentang figur KH Ma’ruf. Karena selama ini ia mengaku mengenalnya melalui pernyataan-pernyataan di media atau lewat fatwa-fatwa. Fauzi sempat berfikir subjektif. Dalam tulisannya di bangkitmedia.com ia menulis “Selama ini, publik mengenal beliau melalui pernyataan-pernyataan di media atau lewat fatwa-fatwa. Dari situ, publik (termasuk saya) dengan mudah melakukan identifikasi dengan cap “konservatif”, “normatif” atau “kanan”. Saya baru terperangah ketika beliau menjelaskan konteks “drama” 212. Bagaimana mengelola emosi umat, menjaga hubungan dengan kekuasaan, menempatkan marwah NU, dan seterusnya. Sebenarnya saya sudah lama mendengar ini, dari orang dekat beliau. Tapi saat itu saya kurang yakin. Hari ini saya mendapatkan semuanya. Di balik semua itu, ternyata tersimpan sejumlah rasionalisasi dan nalar politik yang rumit. Tidak cukup dipahami dalam cara pandang biner, hitam-putih, pro-kontra Ahok.

Tapi setelah tahu, Fauzi mendapat poin. Bagaimana sebuah orientasi dan visi keagamaan, kebangsaan dan ekonomi umat menjadi penanda penting. Ia katakan, bahwa kegamaan harus dipahami juga dalam kerangka menjaga akidah umat dari pemikiran tekstualis sekaligus liberal. Ia mengutip istilah KH Ma’ruf “ananiyah jama’iyyah” atau “ashabiyyah jama’iyyah” untuk menyebut kelompok yang gemar menggunakan dalil naqli untuk mengkafirkan. Demikian sebaliknya, kelompok liberal yang terlalu mengagungkan kekuatan nalar. Sebagai Rais ‘Aam kata Fauzi, KH Ma’ruf selalu menegaskan bahwa NU ditopang oleh tiga pilar: wasathiyyah (moderasi), tathawwuriyah (dinamis) dan manhajiyyah (berprinsip).

Advertisement

Poin selanjutnya yang didapati Fauzi dari KH Ma’ruf yang juga inisiator Majelis Dzikir Hubbul Wathon (MDHW) tersebut. Yakni kebangsaan yang dipahami dalam konteks Indonesia sebagai dar al-sulh (negara perjanjian) atau dar al-‘ahd (negara kesepakatan). Jadi bukan dar al-Islam (negara Islam) atau dar al-harb (negara perang). Posisi inilah menjadi keniscayaan karena Indonesia berdiri di atas keberagaman agama, suku, bahasa, ras dan lain-lain. Segala cara apapun untuk mengubah pondasi negara harus dilawan. Substansinya tak lain adalah menjaga kedaulatan sulh atau ‘ahd merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kewajiban agama.

Sementara mengenai ekonomi umat, dari pemikiran KH Ma’ruf, Fauzi mengemukakan bahwa problem kemiskinan dan kesenjangan sosial masih terjadi. Ekonomi hanya dikuasai konglomerasi, tidak dinikmati secara merata. Ketika berbicara rakyat tak terkecuali kaum santri, lanjut Fauzi, maka mau tidak mau perlu ikhtiar serius yang digerakkan oleh para kyai, berbasis pesantren untuk menggerakan ekonomi umat.

Terakhir yang tidak kalah penting, adalah pendekatan kultural dan diplomasi kebudayaan berbasis kearifan lokal, merupakan cara paling efektif untuk meredam gejolak politik di tanah air. Dan cara inilah yang menurut Fauzi, sedang digunakan oleh Presiden Joko Widodo, NU, dan mungkin ormas keagamaan lainnya. Artinya, ormas keagamaan memiliki peran strategis pada ranah ini. (sm/fid)

Advertisement

Populer