Connect with us

Terdapat bukti sejarah bahawa manusia pra-sejarah (pre-history) juga sudah mengenal Tuhan dam sistem penyembahan. Yang dimaksud manusia prasejarah di sini ialah manusia yang hidup pada zaman purbakala yang biasa disebut dengan zaman batu (Paleolithic), khususnya pada zaman purbakala baru (Neolithic), yang diperkirakan 20.000 tahun sebelum Masehi.

Zaman ini manusia masih berpola hidup sangat bersahaja dan primitif. Manusia saat itu masih sangat tergantung kepada alam sebagaimana halnya binatang, sehingga sering disebut Neanderthal Man. Peradaban manusia masih sangat sederhana dan amat lamban mengalami perubahan. Peradaban mereka oleh kalangan antropolog sering diistilahkan dengan cradle of civilization, yaitu peradaban yang masih dalam ayunan, seperti pengalaman hidup seorang bayi yang baru lahir, hidupnya dihabiskan dalam ayunan. Manusia pada zaman ini masih sangat  menyerupai perilaku binatang di dalam menjalani kehidupannya meskipun bentuknya sudah mirip manusia (The Cro-Magnom Man).

Meskipun demikian, manusia sebagai makhluk berbudaya (homo sapiens) sudah mulai menemukan jalan kehidupan yang menggunakan potensi dirinya. Lambat laun manusia sudah mulai menyadari kalau ada kekuatan di luar dirinya. Pada saat itulah manusia mulai mencari dan mengidentifikasi central  power itu, kemudian berusaha melakukan pendekatan agar hidup mereka tenang dan terhindar dari marabahaya. Meskipun masih dalam kategori Les Civilized, manusia sudah mulai menjalani hubungan  dengan apa yang disebut sebagai sumber atau pusat kekuasaan yang bersifat mistis. Mungkin dari sudut manusia tidak pernah terpisah dari keyakinan mistis, maka manusia sering disebut sebagai zoon religion. Manusia sebagai makhluk sejati diungkapkan di dalam Alquran:

“Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah Yang Menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS al-Rum/30: 30).

Advertisement

Ayat ini cukup jelas sekaligus membuktikan bahwa kecenderungan manusia selalu terpaut dengan Tuhannya.  Dalam perspektif Alquran, tidak ada manusia yang betul-betul mengingkari keberadaan Tuhan (ateistik). Sekafir apa pun seseorang  pasti memiliki ruang religi (good spot) di dalam dirinya yang selalu mengajak diri untuk mengakui keberadaan Tuhan. Fir’aun sekalipun pada akhir hayatnya sempat bertobat walaupun tobatnya sudah terlambat.

Kepercayaan mistis manusia prasejarah melukiskan Tuhan Yang Mahakuasa sebagai sosok figur laki-laki (The Father-Good), kemudian menurunkan dan merepresentasikan kekuasaannya kepada sosok figur perempuan (The Mother-Goddes). Hubungan antara keduanya menyebabkan lahirnya atau terciptanya alam semesta dengan segala isinya. Cara keduanya berhubungan sehingga melahirkan keturunan yang kemudian disebut alam semesta atau makrokosmos sering dijelaskan dengan menganalogikan ketabulan seksual. Seseorang yang akan berhubungan seksual (kontak laki-laki dan perempuan) dianggap hubungan sakral dan suci.

Tradisi psikologis seperti ini berlanjut di dalam nilai-nilai ajaran agama yang menganggap hubugan seksual itu sebagai hubungan tabu. Khusus dalam agama-agama yang termasuk Abrahamic Religion mengharuskan umatnya untuk betul-betul memuliakan hubungn seksual, biasanya di awali dengan doa dan diakhiri dengan mandi junub. Konsep The Father-God dan the Mother Goddes menyebar luas dan berkelanjutan sampai pada zaman  batu baru (Neolithic).

Nama-nama Tuhan laki-laki (The Father-God) dalam lintasan sejarah agama dan kepercayaan  dikenal beberapa nama, seperti An, Apsu, Huan, Prajapati, Zeus, Vishnu, dan Ahura. Sedangkan nama-nama Tuhan perempuan (The Mother-Goddes) dikenal sejumlah nama, seperti Inanna, Isis, Shakti, Kali, Devi, Chokmah, Durga, Maya, Cybele, Athena, Astarte, Mylitta, Tara, Juno, Prthivi, Freia, Sophia, Prakrti, Semele, Isthar, dan mungkin masih ada nama-nama lain yang tak dapat disebutkan di sini (Lihat, Sabhayananda, History of Mysticism, the Unchanging Testament, h. 8-9).

Advertisement

Sistem kepercayaan dan mistisisme manusia prasejarah tidak bisa disebut bersahaja karena ternyata mereka sudah mampu menggunakan bahasa-bahasa konotatif di dalam menjelaskan nama-nama dan sifat-sifat Tuhannya. Temuan para arkeolog dan atropolog membuktikan bahwa manusia semenjak dahulu kala sudah mengenal Tuhan dan tata cara menyembahnya, termasuk menemukan konsep berterima kasih kepadanya dan mencegah agar Tuhannya tidak murka kepadanya. Upacara ritual kegamaan dengan menghadirkan simbol Tuhannya yang dilukiskan dengan bentuk patung atau totem-totem merupakan bukti ketertartarikan antara manusia dan Tuhannya.

Konsep keesaan Tuhan bagi mereka sudah mulai ada. Yang dipersepsikan sebagai Tuhan laki-laki (The Father-God) tidak berhadapkan dengan keberadaan Tuhan perempuan (The Mother-God). Hera yang tampil sebagai The Mother-God sesungguhnya tidak lain adalah submanifestasi keberadaan Zeus sebagai The Father-God. Agak mirip-mirip penjelasannya hubungan antara Tuhan bapak dan Tuhan Anak dalam tradisi kekristenan. Agak mirip juga dengan hubungan antara Atma dan Brahman dalam agama Hindu, Ein Sof dan Sefiret dalam tradisi mistisisme Kabbala, Yahudi. Keesaan Tuhan dilukiskan sebagai lebih kepada konsep kesatuan dalam perspektif metafisika. Dia yang satu dalam banyak dan Yang banyak di dalam satu. Allahu a’lam.

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: Dialog Repubilika, Minggu, 20 Januari 2019.

 

Advertisement

Populer