Connect with us

 Umat Islam Indonesia di masa lalu melakukan ibadah haji ke Mekkah dengan menggunakan perahu layar. Perjalanannya ditempuh dalam waktu beberapa bulan lamanya.

“Dari Tanah Jawa misalnya, perjalanan ibadah haji dengan perahu terlebih dahulu singgah di Aceh. Setelah itu dilanjutkan dengan kapal menuju India dan Hadramaut di Yaman atau langsung menuju Jeddah,” kata Rektor UIN Jakarta Amany Lubis saat menjadi pembicara pada acara Pelatihan Sertifikasi Pembimbing Haji dan Umrah Profesional Angkatan ke V Tahun 2021 virtual dengan topik “Haji Dalam Lintasan Sejarah”, Senin (15/3/2021) sebagaimana dilansir dari laman uinjkt.ac.id.

Pelatihan Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Umrah Profesional Angkatan ke-V diselenggarakan atas kerja sama Fidikom dengan Dirrektorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama, Dewan Pmpinan Pusat Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji, dan  Dewan Pimpinan Pusat Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umrah dan Haji. Acara digelar secara online di gedung Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Ciputat, Tangerang Selatan, pada 13-18 Maret 2021, sedangkan secara offline digelar pada 19-21 di Hotel Pomelotel Jakarta.

Selain Rektor Amany Lubis, pembicara lain adalah Plt Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag Khorizi H. Dasir, Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi DKI Jakarta Saiful Mujab, Ketua Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji Khusus Budi Darmawan, dan Ketua Afiliasi Mandiri Penyelenggara Umrah dan Haji Abdul Aziz.

Advertisement

Menurut Rektor, ibadah haji merupakan rukun Islam kelima dan wajib bagi yang mampu. Di Indonesia, penyelenggaraan ibadah tersebut sudah ada sejak masa pra kolonial. Pada masa penjajahan dan pemerintahan Hindia Belanda, perjalanan haji dan umrah sudah dijalankan oleh kaum elit. Pemerintah kolonial sendiri menjadikan urusan haji untuk memperoleh penghasilan dari para calon haji.

Rektor Amany Lubis lebih lanjut menjelaskan, Persyarikatan Muhammadiyah, waktu itu menjadi bagian penolong haji dan menjadi perintis pertama Pembinaan Urusan Haji di Indonesia.  Kemudian pada 1945 urusan haji tersebut berubah menjadi N.V Pelayaran Haji Indonesia.

“Setelah Indonesia merdeka, barulah ada regulasi haji yang mengatur, yakni pengelolaan haji kemudian dilakukan sepenuhnya oleh Penyelenggara Haji Indonesia (PHI) di setiap karesidenan,” katanya.

Dalam perkembangannya kemudian, keluar Peraturan Menteri Agama Nomor 9  Tahun 1954 yang menyatakan bahwa Kementerian Agama, memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan ibadah haji ke Tanah Suci, seperti mengurus pendaftaran jamaah di Tanah Air, menghubungi pemerintah Arab Saudi, dan menghubungi instansi pemerintah lain yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji.

Advertisement

Setelah itu keluar Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 1960 yang menetapkan bahwa urusan haji termasuk dalam lingkungan pertanggung jawaban Menteri Muda Agama untuk urusan di dalam negeri dan Menteri Luar Negeri untuk urusan di luar negeri.

“Kedua kementerian ini dalam menyelenggarakan urusan haji dibantu oleh Panitia Negara Urusan Haji atau Panuhaji,” ujarnya. (red)

Populer