Oleh: Ajat Sudrajat
Pilkada DKI Jakarta yang telah dilaksanakan pada 15 Februari 2017 dan 19 April 2017, tentu memberikan efek bagi pelaksanaan pilkada di daerah lain yang akan berlangsung pada 27 Juni 2018 nanti. Pilakada DKI Jakarta bagaimanapun proses yang telah dilalui, memberikani spirit bagi suatu kelompok/golongan untuk menerapkan langkah-langkah atau cara yang pernah dilakukan dalam Pilkada DKI untuk diterapkan dalam pilkada di daerah lain. Karena itu pertarungan politik DKI akan berimbas pada Pilkada serentak 2018 nanti baik dari isu yang digunakan maupun dari peta koalisi, sehingga Pilkada DKI dan Pilkada Serentak 2018 nantinya menjadi tolok ukur dalam memenangkan Pilkada Nasional pada 17 April 2019 nanti.
Proses perjalanan pilkada DKI Jakarta bagi sebagian orang menjadi sebuah ancaman disintegrasi sosial, karena tidak bisa dipungkiri isu-isu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) selalu didorong untuk dijadikan bahan agitasi dan provokasi. Isu sara yang digunakan dalam Pilkada Jakarta antara lain munculnya himbauan untuk tidak memilih calon non muslim dan masalah tidak mensalatkan jenazah. Meski tidak terjadi sebuah konflik atau bentrokan fisik antar pendukung, tetapi suhu politik di masyarakat memang sangat terasa. Selain memisahkan masyarakat, isu sara juga membuat masyarakat terintimidasi. Masyarakat merasa takut untuk mengemukakan pendapatnya, karena pendapatnya akan dibully oleh sebagian orang yang memiliki pilihan berbeda. Dalam hal ini makna kebebasan memilih, kebebasan mengemukakan pendapat yang sudah dijamin oleh undang-undang menjadi tidak berguna.
DKI Jakarta yang warga penduduknya heterogen, dan sebagian besar kepentingan hidup penduduknya hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, diubah menjadi komoditas politik. Sehingga cara pandang bagi warga DKI Jakarta terhadap figur calon seorang pemimpin tidak lagi melihat kepada visi, misi, atau program kerja tapi lebih kepada kesamaan agama atau ras sehingga hal itu akan mengurangi pada kualitas Pemilu. Sedangkan pemilu yang berkualitas niscaya akan melahirkan pemimpin yang berkualitas. Jika angka partisipasi pemilih meningkat karena didorong oleh isu SARA bukan melihat pada program kerja, atau visi dan misi seorang calon, lalu bagaimana dia bisa menentukan arah nasib warganya ke depan?.
Isu SARA memang menjadi isu yang lagi ngetren. Sebab selalu di gembar-gemborkan dalam media sosial. Selain biayanya yang murah, isu SARA juga paling mudah untuk disebarkan dan paling mudah dipahami oleh masyarakat ketimbang memahami visi, misi, dan program kerja dari seorang pasangan calon. Oleh sebab itu perlu tindakan tegas oleh penyelenggara pemilu maupun oleh aparat penegak hukum terhadap pasangan calon yang mengkampanyekan isu SARA sebagaimana diatur dalam Pasal 69 UU nomor 10 tahun 2016. Sebab isu SARA dapat mengurangi pada menurunnya tingkat kualitas pemilu, bahkan menjauhkan pada substansi dari pemilu itu sendiri.
Maka dari itu perlu adanya upaya dan pembuktian yang dilakukan oleh segenap stakeholder, agar pemilu serentak 2018 nanti dapat berjalan dengan baik. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, penegak hukum, dan khususnya kepada setiap pasangan calon dan para pendukungnya harus membuktikan untuk mengkampanyekan pemilu damai, sehingga masyarakat juga akan ikut serta mengikutinya.
Yang tidak kalah penting dalam demokratisasi suatu pilkada adalah peran dari pihak penyelenggara pemilu itu sendiri. Penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu harus meningkatkan program sosialiasi dan memberikan edukasi kepada masyarakat pemilih tentang pilkada yang berkualitas. Indikator pemilu yang berkualitas bisa dilihat dari, pertama sikap independensi penyelenggara pemilu, birokrasi, dan pemilih. Penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat pusat sampai tingkat KPPS, birokrasi maupun pemilih harus bebas dari segala bentuk tekanan dan pengaruh, maupun politik uang. Kedua, partisipasi pemilih yang tinggi disertai dengan kesadaran dan kejujuran dalam menentukan pilihannya dengan rasa tanggung jawab dan tanpa paksaan. Ketiga, yakni peserta pemilu melakukan proses penjaringan bakal calon yang demokratis dan berkualitas dan tidak menggunakan politik uang dalam semua tahapan pemilu. Dampak dari proses penjaringan bakal calon yang berkualitas tersebut akan melahirkan calon-calon yang berkualitas, berintegritas dan memilikit tingkat elektabilitas yang tinggi. Sehingga dari dampak tersebut akan melahirkan indikator keempat yaitu terpilihnya eksekutif dan legislatif yang memiliki legitimasi yang kuat dan berkualitas.
- Nasional4 hari ago
Ahmad Zubaidi “Mr Ubeid” Raih Guru Madrasah Aliyah Inspiratif Tingkat Nasional 2024
- Pemerintahan6 hari ago
HKN ke-60, Wali Kota Benyamin Davnie Komitmen Jadikan Tangsel sebagai Kota Sehat
- Tips7 hari ago
Harga HP Samsung A54 5G: Pilihan Terbaik untuk Keseharian Aktif dengan Fitur Premium
- Pemerintahan7 hari ago
Pemkot Tangsel Telah Tindaklanjuti 997 Aduan Masyarakat Lewat SP4N-LAPOR Hingga Oktober 2024
- Bisnis4 hari ago
ASDP Siap Sambut Nataru 2024/2025 : Maksimalkan Layanan Penyeberangan Jawa-Bali
- Sport7 hari ago
PERENASI: Persatuan Esports Nasional Indonesia
- Pemberitahuan3 hari ago
Pemberitahuan Rencana Pengambilan Sepihak Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan di Kota Tangerang Selatan
- Nasional7 hari ago
Presiden Prabowo Subianto Terima Sekretaris Jenderal OECD di Istana Merdeka