Connect with us

Opini

Stop Remehkan Orang Lain! [Mimbar Jum’at, Ust. @verimuhlis]

La tahtaqir man dunaka falikulli sya’in maziyyah (Jangan remehkan orang lain, karena tiap sesuatu punya kelebihan)

Meremehkan orang lain berarti menganggap rendah orang di luar diri kita. Biasanya didasari sikap sombong, jumawa, congkak serta merasa paling sempurna. Anggapan semacam ini cenderung menafikan nilai kemanusiaan seseorang. Upaya apa pun hanya dikatakan bermakna jika didatangkan oleh dirinya sendiri.

Padahal, dinamika hidup mengajarkan tiap sesuatu punya kelebihan dan kekurangan. Tak ada manusia serba bisa atau serba ahli. Manusia super (super-man) dalam cerita kepahlawanan Amerika pun hanya dicitrakan sebagai sosok penolong saja. Ia bukan ahli strategi, bukan pula ahli tata kota yang bisa mengatasi macet dan banjir.

Tapi anehnya, seringkali kita temukan—di dunia nyata maupun maya—seseorang yang terbuai dengan secuil kelebihan yang dipunya. Misalnya: karena merasa sok pintar tak mau bergaul dengan masyarakat biasa; mentang-mentang kaya lantas memandang hina orang sekitar; lantaran berkuasa kemudian memerlakukan semua orang sebagai bawahan. Ia lupa bahwa di balik kelebihan atau kesuksesan ada peran “yang lain” (the other) yang tak bisa diabaikan.

Advertisement

Memang, harta, jabatan, status sosial serta kenikmatan dunia lainnya kerapkali membuat seseorang lupa diri. “Lupa diri” atau “tak tahu diri” adalah penyakit paling kronis yang sangat membahayakan. Bermula dari lupa diri, seseorang kemudian melupakan orang lain. Dan, orang yang lupa diri sudah pasti lupa pada Tuhannya. Ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat:

“Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa pada diri sendiri…” (QS. al-Hasyr:19).

Orang lupa diri tidak akan mendapat tambahan nilai kebaikan atas apa yang dimiliki. Nilai yang dimaksud ialah keberkahan hidup yang membuatnya merasakan kebahagiaan sejati. Ia senantiasa terpencil dari pancaran suara hati sehingga terus diperbudak oleh hawa nafsu. Seandainya terdapat kebahagiaan, namun kebagiaan itu sifatnya semu belaka.

Oleh karena itu, tanjakan dalam hidup sebisa mungkin disertai kearifan untuk lebih meningkatkan syukur dan tafakur (refleksi). Hakikat syukur adalah mengingatkan diri bahwa terdapat peran Tuhan dan orang lain di setiap usaha kita. Demikian juga tafakur, bisa menghubungkan memori panjang kita ke masa lalu sebagai pelajaran di masa kini dan masa mendatang.

Advertisement

Bersyukur dan tafakur membuat kita lebih menghargai orang lain sebagai manusia seutuhnya. Yakni, manusia yang sama seperti kita dengan kelebihan dan kekurangan juga keindahan masing-masing. Kita akan sadar bahwa belum tentu kita lebih baik daripada orang yang kita hina, lebih terhormat daripada orang yang kita rendahkan.

Sebab pada prinsipnya, sesuatu tidaklah hina karena hinaan, menjadi baik karena pujian juga menjadi terhormat karena penghormatan. Hinaan, pujian dan penghormatan hanyalah mitos yang disifatkan pada sesuatu. Ia tidak mengandung nilai pada dirinya sendiri, apalagi menjadi penentu baik dan buruknya seseorang.

*H. Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag., M.Si. adalah Ketua Perhimpunan Menata Tangsel, Dosen Metodologi Hukum Islam di Sekolah Tinggi Perencanaan Keuangan Syariah (IARFC) Jakarta, Alumni  Pondok Pesantren Daar ElQolam

Twitter: @verimuhlis Website: verimuhlis.com, verimuhlisarifuzzaman.com

Advertisement

 

Populer