Connect with us

Opini

Chautauqua

Oleh: Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

(Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Chautauqua adalah sebuah gerakan pendidikan orang dewasa yang muncul di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M di Amerika Serikat, yang dipelopori oleh John Heyl Vincent pada tahun 1874 M. Beliau adalah seorang aktivis gereja methodis yang juga Menteri pada masa pemerintahan President Ulysses S Grant (1869-1877).

Vincent melakukan gerakan ini ditemani seorang pengusaha bernama Lewis Miller, yang memiliki kesadaran akan pentingnya mendidik generasi muda untuk lebih siap menghadapi tantangan masa depan. Gerakan ini sangat populer di Amerika pada akhir abad ke-19 dan awal ke-20, bahkan President Theodore Roosevelt (1932-1945) menegaskan, bahwa“Chautauqua is the most American thing in America”. Chautauqua diambil dari nama sebuah danau, tempat gerakan ini mulai dikembangkan, di mana Vincent dan Miller memberikan pelatihan pada sejumlah anak muda di tepi danau Chautauqua, dengan memanggil para guru yang tidak biasa dan bukan dari sekolah atau perguruan tinggi, melainkan pemain musik, komedian, dan bahkan para penceramah agama.

Advertisement

Dua tahun kemudian, Vincent mengembangkan kegiatan yang sama dengan nama the mother Chautauqua, dengan target para guru sekolah minggu, dan terus berlanjut bahkan semakin meluas dengan banyaknya kegiatan yang diafiliasikan pada the mother Chautauqua ini. Begitu besar pengaruhnya terhadap masyarakat, mereka mengabadikan nama gerakan ini dalam gedung-gedung pendidikan, seperti Chautauqua Auditorium di Illionis, Chautauqua Amphitheatre di New York, Chautauqua Hall of Brotherhood di Florida, dan banyak lagi yang lainnya.

Fenomena di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 ini menarik, karena tokoh-tokoh besar dalam pemerintahan Amerika menganggap penting gerakan ini, bahkan Roosevelt menegaskan it is the most American thing, artinya Chautauqua adalah sesuatu yang amat berharga bagi masyarakat Amerika.

Sebenarnya apa kehebatan Chautauqua ? Distingsi yang sangat nyata yang diberikan gerakan ini adalah kecerdasan jamak, yakni seseorang dilatih untuk memiliki kecerdasan logika, kecerdasan lingusitik, kecerdasan musik, dan bahkan kecerdasan spiritual. Tidak tanggung-tanggung tokoh di balik gerakan ini adalah seorang Menteri, dan seorang pengusaha yang sadar benar akan pentingnya pendidikan mempersiapkan masa depan Amerika sebagai sebuah bangsa yang besar.

Belajar dari pengalaman sejarah ini, kini Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dengan salah satu isu penting adalah free flow of service, yakni kebebasan keluar masuk jasa profesi di seluruh negara ASEAN.

Advertisement

Kalau UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menghasilkan lulusan akuntansi dan memiliki sertifikat akuntan, maka sertifikat profesi akuntan tersebut bias digunakan di seluruh negara ASEAN, dan sebaliknya, akuntan tamatan NUS di Singapura, atau UUM di Malaysia, atau UBD di Brunei Darussalam, juga bias masuk pasar Indonesia, dan tidak bias ditolak oleh pemerintah Indonesia hanya karena kewarganegaraannya.

Kendati baru ada delapan (8) profesi yang sudah ditandatangani pimpinan negara-negara ASEAN, yakni akuntansi, dokter, dokter gigi, arsitek, insinyur civil, surveyor, perawat, dan tourism, namun pada akhir 2015, semua jasa profesi bebas keluar masuk, termasuk lawyer, guru, dosen, dan profesi-profesi lainnya.

Ini adalah kesempatan besar bagi mereka yang siap memasukinya, tapi akan menjadi petaka besar jika tidak mempersiapkan diri dengan baik. Oleh sebab itu, Indonesia harus kembali pada visi pendidikan nasional, yakni menyiapkan anak bangsa menjadi generasi yang cerdas dan berdaya saing (smart and competitive citizen).

Cerdas menjadi salah satu kata kunci untuk bias menjadi pemenang dalam persaingan regional ini, akan tetapi seringkali kita keliru memahami cerdas dengan hanya melihat pada kemampuan matematika, fisika, atau cabang-cabang lain yang berada pada rumpun sains, dan memandang enteng ilmu-ilmu social dan humaniora. Padahal the mother Chautauqua, sudah menyadari itu sejak dua abad yang silam. Kita harus memiliki kemampuan dalam satu cabang keilmuan sebagai basis profesi kita, sebagai guru, sebagai ahli hukum, sebagai akuntan, atau dokter, perawat, farmakolog, tapi pada saat yang sama, kita juga harus memiliki kecerdasan berbahasa dengan baik, harus memiliki kemampuan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa kita hebat dan bias bersaing dengan orang lain.

Advertisement

akan tetapi tidak boleh merasa superior terhadap orang lain, karena sikap tersebut akan membuat kegagalan dalam mengembangkan jejaring. Itulah inti dari kecerdasan jamak, dan itulah pesan dari the mother Chautauqa karena kegagalan sering kali menemani kesuksesan seseorang dalam ilmu, hanya karena menganggap sepele orang lain, menganggap orang lain tidak selevel dengan kita, diartikulasikan dalam kata dan perbuatan, akhirnya penerimaan orang kepadanya menjadi terganggu, dan dia akan terisolasi dalam kesendirian.

Oleh sebab itu, pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, kini sedang dipersiapkanr ancangan baru untuk mempersiapkan para mahasiswa memasuki pasar regional. Mereka harus memiliki skil dan keahlian, dari program studi apapun, termasuk program studi ilmu keagamaan murni.

Mereka juga dirancang untuk mempersiapkan diri memasuki pasar regional dengan penguasaan dan kemampuan komunikasi regional, harus mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris sebagai bahasa yang digunakan di negara-negara ASEAN, harus mampu meyakinkan diri sendiri bahwa dia adalah sarjana yang hebat, dan harus mampu meyakinkan orang lain, bahwa dia adalah sarjana profesional yang mampu bersaing dalam bidangnya dengansarjana-sarjana lainnya dari berbagai universitas di Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Philipina dan Vietnam.

Itulah inti dan spirit dari the mother Chautauqua, bahwa untuk sukses harus memiliki ragam kecerdasan, tidak hanya sains, social atau humaniora, tapi juga harus cerdas dalam komunikasi, cerdas spiritual dan cerdas secara social sehingga mampu bekerjasama denganbanyak etnik dan budaya, bahkan juga agama. Wallahua’lam bi al-Shawab.(*)

Advertisement

Populer