Connect with us

Oleh: Abdul Rasyid

(Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Tangerang Selatan)

Konflik atas nama Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) memang rentan terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena sejatinya bangsa Indonesia lahir dari rahim kemajemukan yang dipersatukan. Artinya, SARA adalah suatu keniscayaan bagi bangsa ini, dan masih eksis sampai saat ini.

Akibat dari ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam memahami makna kemajemukan yang dipersatukan itu, maka kapan saja dan di mana saja konflik berlatar belakang SARA bisa terjadi. Terlebih bahwa dari keempat komponen SARA itu, agama merupakan salah satu isu yang paling sensitif sebagai pemantik adanya suatu konflik.

Advertisement

Sebagai contoh yang terbaru, bahwa ketika Basuki Tjahja Purnama alias Ahok ‘masuk dan menyenggol’ ranah ulama dalam hal menafsirkan Qur’an Surat al-Maidah ayat 51, maka hadirlah serangkaian gerakan besar Aksi Bela Islam 411 dan 212 yang dikomandoi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).

Sampai saat ini, suasana nasional pun menjadi panas, riuh dan gemuruh di tengah dinamika arus politik Ibu Kota yang kian hari kian memanas: entah itu di dunia nyata, maupun di dunia maya.

Persoalannya pun melebar ke ranah lain, gesekan antar kelompok semakin meruncing di tengah masyarakat seperti halnya gesekan yang terjadi antara Kelompok Fron Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) di Bandung Jawa Barat beberapa hari silam.

Kompleksitas masalah kebangsaan yang bercampur aduk bagai benang kusut seolah sulit untuk diurai dan dicarikan obat penawarnya mengakibatkan adanya distrust antar individu, antar kelompok, dan antar individu-kelompok ke pemerintah. Satu sama lain saling curiga, mudah tersinggung oleh hal-hal yang sebenarnya tidak fundamen atau sepele.

Advertisement

Dialog dan Sikap Toleran

Untuk meredam berbagai gesekan dan konflik yang ada, baiknya satu sama lain harus dapat menahan diri dan bersikap toleran atas setiap perbedaan yang ada. Sikap Toleran di sini diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat.

Dengan demikian sikap toleran menunjuk pada adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda. Egosentrisme individu dan kelompok harus dilebur dalam menghadapi suatu permasalahan melalui jalan dialog atau musyawarah untuk menemukan kata mufakat.

Dalam hal ini, kiranya penulis sangat sependapat dengan Ketua Majelis Ulama Indonesia KH Ma’ruf Amin yang mengusukan kepada pemerintah untuk melakukan upaya rekonsiliasi (rujuk) nasional. Ada kesalahpahaman yang berlangsung sedemikian lamanya sehingga mengakibatkan stabilitas nasional menjadi terganggu. “Tujuannya adalah meluruskan kesalahpahaman itu,” ungkapnya.

Advertisement

Kita harus sadar bahwa ada sesuatu hal yang lebih utama ketimbang mengedepankan ego dan kepentingan pribadi/kelompol, yaitu ikhtiar dalam menjaga persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia.

Pemerintah sendiri jangan ikut terlibat terlalu jauh dengan kelompok masyarakat yang sedang berseteru dan berkonflik. Justeru dalam hal ini pemerintah harus menjadi fasilitator untuk meredam dan menyelesaikan berbagai konflik yang ada.

Ketua MPR RI, Zulkifli Hasan menyatakan bahwa Kalau ada perbedaan, maka selesaikan dengan dialog, duduk bersama bicara dari hati ke hati. Ingatlah kita semua bersaudara. Ia mengistilahkan hal tersebut dengan dialog tanpa kebencian.

Inilah ujian berat bagi Indonesia; ikhtiar dalam menjaga dan merawat keutuhan bangsa di tengah kemajemukan Suku, Agama, Ras, Antar Golongan dan berbagai macam kepentingan kelompok yang ada.

Advertisement

Dan semoga kalimat ‘Bhineka Tunggal Ika’ bukan hanya sekedar slogan belaka, melaikan nilai luhur bersama untuk melebur perbedaan yang ada demi terwujudnya tatanan masyarakat yang utuh, aman, damai dan sejahtera.

Populer