Connect with us

Opini

Mencari Pemimpin Bangsa

Oleh: Veri Muhlis Arifuzzaman

(Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)

 Belakangan ini, masyarakat Indonesia kembali dihadapkan pada isu politik menyangkut rotasi kepemimpinan nasional 2014. Partai politik mulai gencar bersosialisasi, menjaring capres dan cawapres, menebar harapan dan membingkai platform. Tak ketinggalan, beberapa elit politik tampil simpatik mewarnai media seraya mengajak masyarakat bersatu perbaiki keadaan.

“Wajar! Kita sedang memasuki tahun politik, tahun bersolek,” kata salah satu teman pembicara dalam diskusi bertajuk “Mencari Pemimpin, Menyongsong Indonesia Baru” di Ciputat, Rabu (13/11).  Diskusi itu memaparkan ikhtiar sederhana dalam rangka menemukan sosok pemimpin yang sesuai kebutuhan bangsa.

Advertisement

Memang, di tengah paraunya krisis, tak berlebihan menggantung harapan akan munculnya sosok yang mampu mengatasi pelbagai persoalan. Terutama persoalan ekonomi, sudah lama kita terjerat krisis seoalah tak berani melangkah cepat dan pasti. Anehnya, pemerintah justru beretorika membeberkan aspek kemajuan seolah lupa aspek lain yang memilukan.

Klaim pemerintah bahwa ekonomi semakin baik, misalnya, tak sebanding dengan meningkatnya angka pengangguran. Menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah pengangguran terbuka per Agustus 2013 sebesar 6,25% (7,39 juta). Jumlah itu meningkat dibanding periode yang sama tahun 2012 sebesar 6,14% (7,24 juta).

Itu satu contoh saja. Masih banyak persoalan lain di bidang sosial, politik, pendidikan, budaya, dan lain-lain. Lalu, seperti apa sosok “penyelamat” bangsa itu bila dipersonalisasi ke dalam figur pemimpin? Inilah pertanyaan yang perlu dijawab secara seksama. Tentu eksperimentasi kepemimpinan di masa lalu bisa menjadi pelajaran bagi kita dalam menentukan pilihan.

Kita semua berharap tidak jatuh kesekian kalinya ke jurang yang sama. Paling tidak, pergantian kepemimpinan sejak pasca reformasi sampai sekarang sudah cukup dijadikan percobaan untuk kemudian menempatkan penilaian pada posisi yang semestinya.

Advertisement

 

Krisis Imajinasi

Ditilik dari segi kepemimpinan, Indonesia dihadapkan pada krisis yang membuat macet proyek kebangsaan. Pemimpin yang ada masih terbatas pada wilayah politik (pemimpin politik) sehingga wajar jika berdiri di atas kepentingan kelompok atau partai. Seringkali kebijakan tidak mengarah pada kepentingan bersama sehingga cenderung menyengsarakan rakyat.

Pasca reformasi, belum ada yang bisa disebut pemimpin bangsa yang mampu menerjemahkan semangat rakyat sebagai pijakan perjuangan. Pola sikap yang kerap diambil hanyalah mengejar keuntungan belaka meski harus menjual kehormatan bangsa pada pihak asing. Banyak aset negara yang dijual dan dikuasi asing seolah kita jadi tamu di negeri sendiri.

Advertisement

Terbukti, sebagaimana disampaikan Rektor UGM Prof.Dr.Patikno, sekitar 70-80 persen aset negara telah dikuasai asing. Ia mencontohkan sektor perbankan di mana asing menguasai sekitar 50 persen, migas dan batubara 70-75 persen, dan sektor telekomunikasi 70 persen. Lebih parah lagi sektor pertambangan emas dan tembaga yang mencapai 80-85 persen (Antaranews: Asing Kuasai Aset Negara, Minggu 10/11/2013).

Selain itu, krisis kepemimpinan juga bisa dilihat dari stagnannya imajinasi tentang kebangsaan sebagai upaya memecahkan kebuntuan. Inisiatif yang selama ini muncul selalu diniatkan untuk kepentingan jangka pendek, sektarian dan faksional. Hal ini bisa dilihat dari seringnya ditemukan kebijakan yang lamban dan bernada kompromistis. Lihat kasus kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Konflik seputar Ahmadiyah atau Syi’ah, konflik antar lembaga KPK dan Polri, penanganan kasus kekerasan TKI serta kasus lain yang menguras perhatian publik.

Semua itu terjadi karena paradigma keliru dalam memahami kekuasaan, yaitu sebatas kekuasaan politik. Takaran yang dikedepankan lebih kepada keuntungan apa yang bisa didapatkan, bukan keharusan apa yang mesti dilakukan sekarang untuk masa akan datang. Sehingga, amat wajar bila pemimpin tak berani mengambil kebijakan tegas meski pahit bagi diri dan kelompoknya.

Harus diakui, kita belum mendapati sosok pemimpin dengan jiwa dedikasi sosial tinggi yang berdiri di atas kepentingan rakyat. Penyebabnya, ongkos politik untuk mencapai kekuasaan terlalu mahal serta kesepakatan dalam transaksi politik lebih dominan. Faktor ini sebenarnya yang menjadi ranjau pengambilan kebijakan.

Advertisement

Oleh karena itu, Indonesia ke depan membutuhkan pemimpin bangsa (bukan pemimpin politik) yang kaya akan imajinasi tentang kebangsaan. Pemimpin yang berani serta rela mengambil resiko untuk tetap melangkah sesuai kehendak bersama (volonte generale). Dan, sosok itu perlu terus dicari dan diuji dari berbagai dimensi.

Populer