Oleh: KH Syarif Rahmat RA
[Pengasuh Ponpes Ummul Qura Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan]
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا. (الكهف:١١٠)
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Al Kahfi:110)
Ketika Nabi Isa AS dilahirkan, Ummat manusia terpecah. Kaum Yahudi menyebutnya “Anak Haram” dan menuduh Maryam telah berzinah dengan seorang laki laki. Hal ini diceritakan Al Qur’an:
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا.(مريم:٢٨)
Artinya: “Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pelacur” (Maryam:28)
Sementara orang orang Nasrani menganggap Isa bin Maryam itu anak Allah. Al Qur’an menceritakan:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ. (التوبة:٣٠)
Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putera Allah” dan orang-orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putera Allah”. Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling” (At Taubah:30)
Perselisihan mereka dipicu oleh kenyataan bahwa Isa lahir dari seorang wanita yang belum menikah. Bagi kaum Yahudi, adalah mustahil ada seorang anak tak ada bapaknya. Oleh karena itu mereka menyimpulkan berdasarkan prasangka bahwa pasti ada seorang laki-laki yang menghamilinya. Sementara kaum Nasrani tahu benar bahwa Maryam merupakan wamita suci yang selalu menjaga akhlak terlebih kehormatannya. Oleh karenanya jiks ia hamil dan melahirkan anak sudah dapat dipastikan bahwa ia bukan anak manusia biasa, ia adalah anak Tuhan. Maka datanglah Nabi Muhammad SAW membawa Islam meluruskan kedua keyakinan ini. Menurut ajaran Islam, Isa AS bukanlah anak Zina seperti dituduhkan kaum Yahudi, bukan pula anak Tuhan seperti yang diyakini kaum Nasrani. Untuk menangkis keduanya, sebenarnya Nabi Isa AS sendiri telah menjawab ketika masih dalam gendongan:
قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا. وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا. (مريم:٣٠-٣١)
Artinya: “Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup”. (Maryam:30-31)
Dan secara singkat Al Qur’an menjawab klaim kedua Kaum ini dengan firman Allah:
إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ. (ال عمران:٥٩)
Artinya: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi AllAh, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia” (Ali Imran:59).
Artinya bahwa jika kaum Yahudi percaya bahwa Adam tercipta dengan tidak ada Ayah dan Ibunya, tentulah lebih mudah bagi Allah menciptakan seorang manusia tanpa Ayah saja. Pun jika kaum Nasrani menganggap kelahiran Isa tanpa Ibu sebagai sebuah keistimewaan yang menaikkannya ke derajat Ketuhanan, semestinya Adam pun layak dipertuhan pula.
Inilah jalan tengah yang ditempuh Islam menyikapi konflik keyakinan dan pemikiran Yahudi yang sangat benci kepada Nabi Isa dan keyakinan Nasrani yang berlebihan dalam memuliakannya.
Keadaan seperti ini — nampaknya — terjadi pula di tengah Ummat Nabi Muhammad SAW. (Bedanya, jika pada kasus Nabi Isa, kaum Yahudi dan Nasrani didasari oleh sikap permusuhan. Sementara terhadap Nabi Muhammad SAW kedua kelompok yang bertikai dilandasi semangat untuk mencari kebaikan dan keselamatan). Sekelompok Ummat Islam memandang Rasulullah SAW adalah manusia biasa, sampai sampai segala peninggalan beliau pun dimusnahkan karena dianggap tak memiliki nilai barakah sama sekali. Sekelompok lain memandang Rasulullah SAW berlebihan sampai sampai menyifatinya dengan sifat seperti Tuhan.
Dalam kondisi seperti ini wajar jika kemudian muncul orang-orang yang berfikir pertengahan. Kelompok ini berpandangan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah manusia yang kepadanya dilekatkan segala atribut kemanusiaan. Inilah Akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang dianut oleh kaum Muslimin Indonesia khususnya Nahdlatul Ulama (NU). Keyakinan ini telah dituangkan dalam kitab dasar Akidah mereka sebagaimana dicantumkan dalam kitab Aqidatul Awwam. Alhamdulillah kami sudah menterjemahkannya dalam bentuk Nazhaman yang setiap hari dilantunkan di Pondok Pesantren Ummul Qura, Pondok Cabe.
Dalam Kitab Aqidatul Awwam karya Syekh Ahmad Al Marzuqi tersebut terdapat bait berikut:
أَرْسَـلَ أَنْـبِيَا ذَوِي فَـطَـانَـهْ ۞ بِالصِّـدْقِ وَالـتَّـبْلِـيْغِ وَاْلأَمَانَهْ
“Mengutus para Nabi-Nya yang bersifat, Fathanah, Shiddiq, Tabligh serta Amanat”
وَجَـائِزٌ فِي حَقِّـهِمْ مِنْ عَـرَضِ۞بِغَـيْـرِ نَقْصٍ كَخَفِيْفِ الْمَـرَضِ
“A’radh Basyariyah yang tak merendahkan, Dija’izkan seperti sakit yang ringan”
Ini adalah Akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Para Ulama Ahlus Sunnah berpendapat bahwa para Nabi itu adalah manusia yang akan dihinggapi sifat sifat kemanusiaan pada umumnya. Mereka makan, minum, tidur, beristeri, sakit, marah, tertawa, sedih, suka dan lainnya. Oleh karena itu ketika ada seseorang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW sakit mata (belekan, rembes, jawa) maka ia sedang berbicara kebenaran. Faktanya beliau SAW pernah sakit mata sebagaimana disebutkan dalam sebuah keterangan (belakangan kutipan ini tersebar di Media Sosial):
قال الحافظ أبو الفرج ابن الجوزي في « الوفا » في سنة سبع من مولده صلى الله عليه وسلم أصابه رمد شديد فعولج بمكة، فلم يُغْن فقيل لعبد المطلب : إن في ناحية عكاظ راهباً يعالج الأعين، فركب إليه……
Artinya: “Abul Faraj Ibnul Jauzi mengatakan dalam kitabnya “Al Wafa” bahwasanya pada usia 7 tahun Nabi SAW sakit mata yang cukup parah. Beliau diobati di Mekah namun tidak sembuh. Lalu diberitahukan kepada Abdul Muthalib bahwa di daerah ‘Ukazh ada seorang pendeta yang ahli mengobati sakit mata. Maka beliau pun dibawa ke sana”
Alangkah naifnya ketika ada orang mengatakan Nabi SAW sakit mata, lalu ia dianggap telah menghina Nabi Muhammad SAW. Kejahatan atau penistaan bahkan kekufuran adalah manakala ada orang mengatakan Nabi Muhammad SAW pernah tersesat. Barangsiapa mengatakan Nabi Muhammad SAW tersesat — meski diembel embeli dengan kata “pernah” — maka sebenarnya ia telah menyerupai Abu Jahal dan Abu Lahab, dia keluar dari Islam. Tetapi mengapakah ketika ada orang mengatakan Nabi Muhammad SAW pernah sesat, tak ada teriakan atau demo berjilid jilid dan menyeret pelakunya ke persidangan?.
Sesungguhnya Sang Gus — melalui ceramahnya itu — ingin mengingatkan kita tentang dua hal. Pertama, bahwa jiwa Nabi Muhammmad SAW itu matang karena sejak kecil telah melewati berbagai ujian dan tempaan. Kedua, bahwa Nabi Muhammad SAW itu berjuang keras dalam menyampaikan misi risalahnya. Beliau berkeringat bahkan terluka, namun tetap tak berhenti dari dakwahnya. Beliau tidak mengandalkan “kesaktian” semata, meskipun bukan hal sulit bila beliau meminta kepada Khaliqnya. Pilihan beliau untuk apa adanya, dalam rangka memberikan pelajaran pada Ummatnya agar tidak mudah menyerah dalam setiap perjuangan yang ditempuhnya.
Tetapi di atas semua niat itu, yang jelas Nabi Muhammad SAW adalah manusia, betapa pun mulianya ia. Shalawat dan Salam untukmu, duhai kekasih Allah.
Rasanya akan lebih baik jika diselenggarakan debat terbuka antara Gus Muwaffiq dan para penuduhnya agar ummat tahu mana yg benar dari mana yang salahnya. Jangan biarkan Agama diperjual belikan untuk sebuah kepentingan, dan jangan pula ummat dijadikan kuda tunggangan. Hasbunallah.
(Pelabuhan Ratu Sukabumi, Kamis 5 Desember 2019, Jam 08.00 WIB)