Connect with us

Opini

Refleksi Ramadhan: Menjaga Lisan

Oleh: @verimuhlis *

“Tidak ada kebaikan dari kebanyakan obrolan (bisikan) mereka kecuali pembicaraan orang yang menyuruh bersedekah, berbuat kebaikan atau berdamai antar sesama. Dan barang siapa yang berbuat demikian karena mencari ridla Allah, maka kelak Kami memberinya pahala yang besar,” (QS. 4: 115).

Menjaga lisan dari pembicaraan yang sia-sia sangat ditekankan dalam agama. Banyak ayat al-Qur’an maupun Hadits Nabi yang memerintahkan demikian. Dengan redaksi yang berbeda-beda, kedua rujukan tersebut mewanti-wanti kita agar hati-hati dalam berbicara.

Lisan menjadi kunci keselamatan sekaligus sumber malapetaka. Orang yang menjaga lisannya dengan berkata jujur, bertutur santun serta hanya berbicara kebaikan akan selamat di dunia maupun akhirat. Sebaliknya, lisan yang berkata kotor, cenderung menyudutkan, merendahkan, menghina apalagi memfitnah dan mengadu-domba akan mencelakakan.

Advertisement

Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa: Setiap ucapan bani Adam membahayakan dirinya, kecuali kata-kata berupa amar ma’ruf dan nahi munkar serta berdzikir kepada Allah azza wa jalla,” (HR Turmuzi). Hadits ini menunjukkan rentannya penggunaan lisan oleh seseorang. Ibarat pedang bermata dua, lisan bisa menyelematkan sekaligus membahayakan.

Dalam kamus keseharian kita, seringkali kita mendengar pepatah “mulutmu harimaumu.” Hal serupa juga ditemukan dalam pepatah Arab, “salȃmah al-insȃn fî hifzh al-lisȃn (keselamatan manusia tergantung pada pemeliharaan lisan). Pepatah tersebut secara substansial sejurus dengan Hadits Nabi di atas. Yakni, lisan selalu menjadi awal yang menentukan nasib manusia ke depan.

“Lidah tidak bertulang,” begitu kata para jenaka yang diabadikan sebuah lagu. Bentuknya elastis, lentur, mudah digerakkan, menjulur ke mana saja yang dikehendaki. Namun, setiap kata yang dikeluarkan punya dampak sangat besar. Tak ada sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata. Begitu juga belum ada yang mampu menandingi kelembutannya. Bahkan hal ihwal paling suci, seperti al-Qur’an dan kitab lainnya, pertama kali disalurkan lewat lisan.

Manfaat dan bahaya lisan tidak hanya berlaku bagi si empunya. Terhadap orang lain dan lingkungan sekitar juga sama. Begitu banyak orang yang hidupnya hancur akibat ocehan lisan saudaranya. Ocehan yang berisi fitnah, tuduhan keji atau makian sumbing tanpa dasar yang dibenarkan. Tiba-tiba dalam waktu sekejap, yang awalnya dipuji kemudian dimaki, awalnya dipuja lalu dihina, awalnya dihormat lantas dilaknat.

Advertisement

Tentu saja, orang yang berbuat demikian kadar keimanannya compang-camping. Nabi saw. bersabda: “Tidak akan lurus iman seorang hamba sebelum lurus hatinya, dan tidak akan lurus hati seorang hamba sebelum lurus lisannya.” (HR Ahmad). Bahkan pada taraf tertentu, orang tersebut tidak dapat dikatakan beriman.

Rasulullah bekata: “Yang disebut Muslim adalah orang yang lisan dan perbuatan tangannya membuat orang lain aman dan selamat.” (HR Muslim). Dan pada Hadits lain disebutkan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, sejatinya sebagai seorang Muslim kita menjaga perkataan kita. Sebisa mungkin kita menghindar dari perkataan yang tidak perlu. Kebiasaan ngegosip, melebih-lebihkan pembicaraan, membumbui berita dari “katanya” ke “katanya”, ikut-ikutan mengecam hal yang belum jelas kedudukannya, melaknat dosa orang lain layaknya Tuhan, sebaiknya ditinggalkan.

Lebih tegas lagi, Rasulullah bersabda: “Bukanlah seorang mukmin orang yang kata-katanya kotor, kasar, menusuk dan melaknat.” Jika yang dilaknat adalah perbuatan dosa, maka biarlah Tuhan yang melakukan-Nya. Sebab sebagai seorang hamba, belum tentu kita lebih suci daripada orang yang kita maki, lebih mulia daripada yang kita hina.

Advertisement

Akhirnya, akan lebih bermakna kalau kita renungi perkataan Malik bin Anas dalam menyikapi perbuatan dosa orang lain. Ia berkata:

“Lȃ tanzhurȗ fî dzunȗb al-nȃs ka’annakum arbȃb wa unzhurȗ ilȃ dzunȗbikum ka’annakum ‘abȋd, fa irhamȗ ahl al-balȃ’ wa irhamȗ Allȃh ‘alȃ al-‘ȃfiyah.” (Jangan memandang dosa-dosa orang seolah kamu adalah Tuhan, perhatikanlah dosa-dosamu sebagai seorang hamba. Kasihinilah mereka yang terkena musibah (cobaan) dan bersyukurlah kamu selamat).

* H.Veri Muhlis Arifuzzaman adalah Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam

Advertisement


Populer