Opini
Memaknai (kembali) Solidaritas Nasional
![](https://kabartangsel.com/wp-content/uploads/2013/11/Veri-Muhlis-Arifuzzaman-MKGR-Banten.jpg)
Oleh: H.Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag., M.Si.
(Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)
Seiring meluasnya medan konflik yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, keharusan merekatkan kembali solidaritas nasional menjadi suatu keniscayaan. Ragam konflik karena faktor agama, etnis atau ras, kepentingan politik di pilkada, pemekaran wilayah atau karena faktor ketidak-adilan menuntut kita untuk terus menerus mengembangkan nilai-nilai kebangsaan. Termasuk upaya itu ialah dengan menggali konsensus Pancasila yang makin hari makin terlupakan.
Demikian percikan pemikiran yang penulis sampaikan dalam diskusi “Meneguhkan Solidaritas Nasional Pemuda” di Bintaro, Tangerang Selatan, Rabu (6/11).
Pancasila sebagai dasar negara menyediakan nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia. Setiap sikap atau tindakan warga negara harus disandarkan pada nilai tersebut guna mencapai cita-cita bersama, yaitu kehidupan yang damai, adil, makmur dan sejahtera. Cita-cita itu dupayakan secara kolektif oleh setiap komponen bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Rakyat Indonesia. Sedangkan salah satu sila utama dari Pancasila adalah sila ketiga “Persatuan Indonesia”.
Sila ketiga merupakan perekat solidaritas nasional. Sila ini mengandung arti bahwa rakyat Indonesia dalam hidup bermasyarakat terikat dalam satu komunitas nasional bernama “bangsa Indonesia”. Mereka mengaku dengan ikhlas, cinta serta rela berkorban demi negara-bangsanya. Meski demikian, dalam mengembangkan wawasan kebangsaan, ciri golongan seperti etnis, suku, agama, adat maupun budaya tetap dihormati dan ditempatkan secara proporsional dalam persatuan dan kesatuan bangsa. Kearifan lokal (local wisdom) tetap dipelihara, dijaga, dan dikembangkan sejalan dengan wawasan kebangsaan.
Sejarah membuktikan bahwa lahirnya solidaritas nasional dipicu oleh ikatan emosional atas dasar kesamaan nasib, yakni ketertindasan karena penjajahan. Kondisi itu kemudian melahirkan perasaan yang sama untuk selanjutnya berjuang menggapai kemerdekaan. “Kemerdekaan” merupakan sebuah kata bermakna luas meliputi kemerdekaan fisik, sosial-ekonomi, dan lain-lain di mana keinginan luhur seluruh rakyat ditambatkan. Kemerdekaan adalah cita-cita bangsa yang diperjuangkan sejak masa kolonial bahkan hingga sekarang.
Secara de facto dan de jure, satu fase kemerdekaan Indonesia memang sudah diraih. Kokohnya ikatan nasional rakyat Indonesia telah berhasil mengusir penjajahan dari bumi pertiwi. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa keberhasilan itu baru sebatas kemerdekaan fisik semata. Sementara kemerdekaan sosial-ekonomi menuju Indonesia damai dan sejahtera masih terus diupayakan.
Persoalan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial, kesenjangan pembangunan termasuk masalah korupsi dan terkikisnya jiwa bernegara terus melilit kehidupan bangsa. Celakanya, di tengah kondisi itu, solidaritas sosial antar sesama semakin menurun. Setiap individu atau warga negara sibuk memikirkan hidup masing-masing tanpa memerhatikan nasib sesama. Solidaritas nasional yang dibangun dengan kokoh beberapa tahun silam makin mencair.
Padahal bangsa Indonesia sangat familiar dengan semboyan “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Semboyan yang selama ini menjadi kekuatan lahir maupun batin dalam menghadapi masalah kebangsaan. Dalam semboyan itu terdapat kesadaran untuk mengurai berbagai persoalan atas dasar kebersamaan. Sebab tanpa kebersamaan dan persatuan, masalah apapun di negeri ini akan sulit diatasi.
Oleh sebab itu, di tengah berbagai persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, maka menjadi suatu keniscayaan untuk menguhkan kembali solidaritas sosial-nasional. Solidaritas sosial merupakan prasyarat utama dalam mendekati setiap persoalan. Solidaritas sosial menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (Emile Durkheim dalam Lawang, 1994: 181).
Solidaritas sosial menekankan pada perasaan kelompok (komunitas nasional) yang memiliki nilai-nilai atau kewajiban moral yang sama untuk memenuhi harapan-harapan peran (role expectation). Sebab itu, prinsip solidaritas sosial meliputi: saling bantu, saling peduli, saling berbagi serta bekerjasama dalam pembangunan. Dengan pengertian yang lebih tegas, solidaritas sosial-nasional mengandaikan adanya partisipasi nyata dari seluruh elemen masyarakat dalam mewujudkan cita-cita pembangunan.
Solidaritas sosial-nasional yang dikembangkan harus bersifat kolektif, melintasi perbedaan etnis, agama atau strata sosial. Dengan begitu, bebagai persoalan bisa dihadapi bersama dan berbagai kebijakan pembangunan tidak bersifat diskriminatif. Tak ada lagi sekat-sekat bahasa, agama, etnis, budaya, kelas, dan sebagainya kecuali rasa persatuan dan kesatuan untuk menggapai kehidupan yang damai, adil, dan sejahtera.
-
Banten5 hari ago
Bank Banten Raih Penghargaan “BUMD dengan Akselerasi Pengembangan Ekonomi Keuangan Daerah”
-
Pemerintahan7 hari ago
Sukseskan Coklit, Benyamin Davnie Imbau Warga Tangsel Berikan Informasi yang Benar dan Lengkap
-
Banten3 hari ago
Bank Banten Sambut Baik 4 Pemda Dalam Komitmen Penempatan RKUD
-
Pemerintahan5 hari ago
Benyamin Davnie: Judi Online Bawa Dampak Negatif
-
Tangerang Selatan3 hari ago
Kloter 13 JKG Jemaah Haji Asal Tangsel Tiba di Tanah Air
-
Pemerintahan5 hari ago
Lima Ribu Siswa di Tangsel Dapat Bantuan Biaya Pendidikan dari Pemkot
-
Pemerintahan5 hari ago
Bangun Gedung Baru SMPN 7 Tangsel, Benyamin Davnie: Untuk Tingkatkan Kualitas Pendidikan
-
Pemerintahan5 hari ago
Pilar Saga Ichsan Dorong Produk-produk Kriya dari Kecamatan Setu Agar Semakin Dikenal