Connect with us

Legislatif

Veri Muhlis: Balada Pilu Kepemimpinan Muda

Pertengahan 2008 silam, bertepatan dengan momentum peringatan 10 tahun reformasi dan 100 tahun kebangkitan nasional, dentuman wacana kepemimpinan muda bergemuruh di belantika politik nasional. Tak ada pesimisme yang tanpak dalam setiap pembicaraan tentang kebangkitan kaum muda. Opstimisme semakin mengejala dengan keberanian beberapa tokoh muda yang mendeklarasikan diri maju pada pemilu 2009.

Kini, masyarakat telah menyaksikan sendiri kalangan muda yang tampil di tingkat DPD, DPRD, DPR RI dan beberapa kursi eksekutif daerah. Rekam jejak mulai terbaca meski masih terbatas pada beberapa gelintir orang saja. Sayangnya, jelang pemilu 2014, wacana kepemimpinan nasional kaum muda terutama untuk RI 1 kembali tenggelam. Calon presiden (capres) didominasi kaum tua. Praktis hanya Jokowi (52 tahun) yang paling muda meski baru sebatas isu belaka. Sisanya, rata-rata di atas 60 tahun.

Paling banter, calon pemimpin muda ada pada posisi calon wakil presiden (Hari Tanoesoedibjo, 48 tahun) dengan latar belakang pengusaha. Lalu pertanyaannya, kemana ‘tokoh muda’ yang dikenal kritis dan radikal dalam setiap pergulatan kebangsaan? Kenapa seolah lenyap jelang perayaan pesta demokrasi 2014? Mengapa wacana kepemimpinan muda tak sekuat dulu padahal figur yang tampil di pentas politik nasional tetap itu-itu saja? Itulah rentetan pertanyaan yang mengemuka dalam diskusi bertema “85 Tahun Soempah Pemoeda: Fajar Baru Kepemimpinan Muda” di BSD City, Rabu (30/10) pekan lalu.

Terhadap pertanyaan tersebut, saya ajukan dua jawaban. Pertama, karena problem internal terkait kesadaran yang didasarkan atas kesamaan idealisme, cita-cita, dan kepentingan. Kedua, problem eksternal berkenaan dengan budaya politik dan kondisi sosial bangsa. Problem itu melumpuhkan total semangat dan kekuatan pergerakan pemuda yang saling berkelindan satu sama lain.

Advertisement

Problem Internal

Sudah jamak diketahui bahwa kesadaran tidak lahir dari ruang kosong nan hampa. Kenyataan ini tak berarti wacana kepemimpinan muda lahir tanpa pergulatan yang melibatkan refleksi kritis terhadap perjalanan sejarah sebelumnya. Hanya saja, pemuda gagal menarik benang merah antara kesadaran historis dengan aplikasi kesadaran tersebut dalam konteks kekinian. Akibatnya, reformulasi perjuangan dan pergerakan berhenti sebatas wacana dan belum membumi.

Kesadaran untuk bangkit merebut kepemimpinan nasional memang menggenangi jiwa kaum muda. Namun karena kegagalan kontekstualisasi, kesadaran yang tergenang berubah secara gradual menjadi beku dan akhirnya apatis. Dalam artian, berlaku hukum gerak mekanis dari kuantitas yang melompat menjadi kualitas. Sayangnya, perubahan menuju kualitas disebabkan gerak internal alami (personal) tanpa ditopang oleh kesadaran yang bergerak melalui hukum dialektika sejarah.

Karena itu, reformulasi perjuangan dan pergerakan penting sekali guna meretas kebuntuan jalan bagi kesadaran yang tergenang. Tentu kelahirannya harus mempertimbangkan dua aspek sekaligus, yaitu aspek historis sebagai refleksi kritis atas masa lalu dan aspek kekinian di mana kondisi sosial, kultural, dan ekonomi menuntut untuk diadaptasi dan dipertimbangkan. Kegagalan dalam reformulasi ini menyebabkan kesadaran kurang berfungsi sehingga dalam memperjuangkan idealisme serta mewujudkan cita-cita kurang radikal.

Advertisement

Lebih lanjut, kegagalan tersebut tidak saja membuat perubahan tampak absurd tetapi juga berpotensi memperparah conditio sin quo non. Pada satu sisi di tingkat eksekutif kepemimpinan nasional, ‘tokoh muda’ seolah mengucapkan bravo kepada kalangan tua. Namun di sisi lain, pada tingkat legislatif, kekuasaan diburu sedemikian rupa dengan mengedepankan kepentingan masing-masing. Persis tak ubahnya pergulatan politik generasi lama. Semu, seolah hanya berganti rupa saja.

Problem Eksternal

Sejatinya, sebelum terjun ke dunia politik praktis, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan berkaitan dengan kondisi sosial bangsa. Dari segi budaya politik, misalnya, tipe pemilih masyarakat Indonesia tidak seluruhnya rasional. Masyarakat belum sepenuhnya beranjak dari budaya parokial ke budaya partisipan.

Sebab itu, harus ada upaya perubahan paradigmatik terlebih dahulu. Hal ini penting karena setelah gagal melakukan indoktrinasi dan koordinasi antar sesama generasi dalam satu formula perjuangan, lapisan pemilih yang akan disentuh adalah masyarakat bertipe parokial bahkan mayoritas pragmatis-transaksional.

Advertisement

Belum ada kepastian bahwa pemilih dari kalangan muda menjatuhkan pilihannya pada calon pemimpin muda. Apalagi partai besar memberi porsi kecil untuk mengusung calon dari kalangan muda. Maka di sini nyaris tak ada peluang melakukan perubahan melalui jalur pemilu, kecuali dengan mereformasi sistem kepartaian terutama masalah kaderisasi.

Budaya politik parokial juga praktik jual-beli suara serta persoalan kaderisasi partai menjadi masalah yang harus segera dituntaskan secara mendasar. Pemuda tak dapat ujug-ujug mencalonkan diri di tengah kondisi semacam ini. Jika dipaksakan, maka bisa dipastikan kalah jauh dengan politisi lama yang punya cukup modal.

Karena itu, seharusnya tiap proses dan tantangan perjuangan mesti dilewati dengan memperbaiki semua lini. Misalnya, dengan mengisi beberapa peranan di partai politik untuk kemudian melakukan pendidikan politik ke warga negara. Perjuangan model demikian mengarah pada dua ranah sekaligus, yakni ranah struktural dan kultural. Keduanya harus sama-sama dilakukan hingga pada titik tertentu terlihat tanda-tanda perubahan, baik di kalangan masyarakat grassroot maupun di tingkatan partai sendiri.

Saya pikir hal itu merupakan hamparan jalan yang perlu dilakukan untuk mewujudkan perubahan. Bukan sekadar wacana tua-muda yang diabadikan dalam pikiran. Apalagi sekedar cuap-cuap tanpa aksi dan tujuan jangka panjang.

Advertisement

Penulis ingat pernyataan filsuf Madrid, Ortega Y. Gasset, bahwa antara generasi tua dan generasi muda selalu terdapat pertentangan terus-menerus yang menyertai pergantian zaman dan berdampak pada perubahan tatanan sosial. Pertentangan yang dimaksud adalah pertentangan ideasional, di ranah struktural maupun kultural, sehingga menumbuhkan dialektika kesadaran demi terciptanya tatanan baru yang lebih baik.

H.Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag.,M.Si.H.Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag., M.Si.

(Ketua Umum ORMAS MKGR Banten dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)

Twitter: @Verimuhlis

Website: verimuhlis.com

Advertisement




Populer