Connect with us

Opini

Menyoal Janji Politik

Oleh: @Verimuhlis *

Dalam sistem hukum tata negara kita, pengingkaran janji politik oleh presiden, gubernur, walikota atau bupati sah-sah saja.

Setidaknya itu yang terjadi pasca amandemen UUD 1945. Setinggi apa pun janji yang dibuat, semanis apa pun harapan yang dilontar—terutama pada saat kampanye pilpres/pilkada—di atas kertas tak punya pengaruh apa-apa. Tak ada sanksi hukum. Dipenuhi atau diingkari, ditunaikan atau diabaikan, undang-undang memilih diam.

Padahal dalam sistem demokrasi langsung, jabatan tersebut merupakan mandat dari rakyat. Lewat kontrak politik pemilu, rakyat memberikan haknya untuk memerintah pada wakil-wakil mereka. Tentu dalam melakukan itu rakyat tak ‘sepenuhnya’ asal-asalan. Segenap janji, pandangan, dan visi-misi yang membangkitkan harapan selalu jadi bahan pertimbangan.

Advertisement

Namun apa yang terjadi tatkala undang-undang tak melindungi kontrak itu? Haruskah rakyat ikhlas menelan pil pahit ketika merasa dikhianati pemerintah? Bagaimana dan dengan cara apa rakyat menagih janji-janji politik? Inilah persoalan yang mesti segera diatasi. Memang terkesan klasik dan sepele. Tetapi dari sinilah kualitas demokrasi, salah satunya, ditentukan.

Pertama, tanpa jaminan undang-undang, kontrak itu sebenarnya tidak benar-benar nyata. Sebatas prosedural, tidak substansial. Ini sama saja dengan mengatakan: “bicaralah sepuasnya, berjanjilah sekenanya, lalu tidurlah tanpa beban.” Dengan kata lain, “mandat” yang diberikan rakyat hanya dijadikan alat pengantar kekuasaan. Sehingga, manifestasi pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat dianggap cerita masa lalu belaka.

Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, konsep kedaulatan menjadi kabur (jika tidak ingin dikatakan buyar). Menurut UUD 1945 tentang Kedaulatan, Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan ketentuan ini, berarti pemerintah harus bertanggungjawab kepada rakyat.

Akan tetapi, karena undang-undang itu tidak dilengkapi mekanisme pertanggungjawaban, maka kedaulatan rakyat sulit diwujudkan. Rakyat tidak bisa meminta pertanggungjawaban presiden, gubernur, walikota/bupati, baik secara langsung maupun melalui perwakilan DPR/DPRD.

Advertisement

Perencanaan Pembangunan

Ketidakberdayaan rakyat menuntut penunaian janji pemerintah ternyata berlaku dalam konteks lebih luas. Misalnya, terhadap rencana tindakan pemerintah yang tertuang dalam RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Andai dokumen tersebut diabaikan, terdapat inkonsistensi mencolok, rakyat tak punya hak kecuali meratap saja. Selebihnya hampir mustahil.

Disebut hampir mustahil karena satu-satunya cara hanyalah meminta pemerintah mundur dari jabatannya. Sementara dari aspek hukum perundang-undangan, peng-abai-an tersebut tidak menimbulkan akibat hukum. Pertanyaannya: bersediakah seorang pejabat mundur tanpa terjerat masalah hukum?

Pemberhentian pejabat pemerintah, seperti presiden dan wakil presiden, diatur dalam undang-undang dasar. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945, terdapat enam alasan presiden atau wakil presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Yakni: (1) terbukti melakukan pengkhianatan terhadap negara (2) korupsi (3) penyuapan (4) tindak pidana berat lainnya (5) terbukti melakukan perbuatan tercela, dan (6) terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau wakil presiden.

Advertisement

Dari enam alasan itu, tak ada satu pun yang menyebut bahwa presiden diberhentikan karena tidak memenuhi janji politik atau tidak menjalankan RPJP dan RPJM. Kondisi ini jelas berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Dengan meletakkan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka mekanisme pertanggungjawaban tampak lebih jelas.

MPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat punya otoritas meminta pertanggungjawaban preseden selaku mandataris. Kemudian melalui TAP MPR No.III/MPR/1978 khususnya Pasal 4 diatur soal sanksi bagi presiden apabila melanggar Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sanksi tersebut ialah diberhentikan dalam masa jabatannya. Tegas dan committed.

Oleh karena itu, upaya memberi ruang bagi MPR dalam meminta pertanggungjawaban presiden—begitu juga guberrnur atau walikota/bupati kepada DPRD dengan sedikit pengecualian—perlu dibuka selebar-lebarnya. Janji-janji kampanye yang dituangkan dalam visi-misi harus dicatat baik-baik. MPR juga perlu terlibat perumusan perencanaan pembangunan sehingga segenap kebijakan bisa diawasi dan dimintai pertanggungjawaban dilengkap sanksi-sanksi.

*Veri Muhlis Arifuzzaman, S.Ag., M.Si (Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)

Advertisement

Populer