Connect with us

Belum lama ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar launching pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes), entah kenapa pikiran langsung berkecamuk, ada keinginan menyampaikan usulan pembahasan. Daripada terus berkutat dalam pikiran, mungkin sebaiknya dilampiaskan lewat tulisan ini.

Ditemani secangkir kopi dan sudah pasti rokok kretek, tulisan ini berangkat dari tema pelaksanaan Munas-Konbes NU yang digelar di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), 24-26 November 2017, jika tidak ada perubahan. Jika tidak salah temanya adalah “Deradikalisasi dan Penguatan Ekonomi Rakyat.”

Mungkin perlu diinfokan terlebih dulu, Munas-Konbes merupakan forum tertinggi kedua setelah Muktamar yang digelar dua kali dalam setahun dan sudah barang tentu ini menjadi momen penting. Bagaimana tidak, kegiatan ini dihadiri seluruh pengurus NU se-Indonesia dari unsur syuriah dan tanfdziah yang juga dihadiri utusan organisasi ulama dari 35 negara. Panitia Munas-Konbes menjelaskan acara ini dibuka oleh Presiden RI Joko Widodo kemudian ditutup oleh Wakil Presiden M. Jusuf Kalla. Sudah tergambar-kan bagaimana nilai strategisnya.

Tentang divestasi saham 51% Freeport adalah isu pertama yang diusulkan agar dibahas dalam forum itu. Divestasi saham Freeport ini bukan sebatas persoalan ekonomi pada sektor pertambangan semata, tapi ini juga tentang nilai kebangsaan. Mungkin bedanya, jika radikalisasi identik dengan ideologi atau paham, konteks kebangsaan pada kasus divestasi ini dilihat dari sisi ekonomi. Ya..meskipun ekonomi juga punya ideologi, punya sistem. Kenapa perlu dibahas?

Advertisement

Masalahnya, selama ini kompromi antara Pemerintah dan Freeport selalunya melalui proses panjang. Perusahaan tambang dari Negeri Paman Sam (Amerika Serikat) itu kerap berulah. Mereka terkadang tidak mengindahkan kesepakatan, bahkan sesekali menabrak peraturan perundang-undangan. Setelah pengumuman divestasi, beberapa kali kita di-informasikan Freeport menolak skema yang diusulkan oleh Pemerintah.

Efek buruk dari sering mbalelonya Freeport tersebut dikhawatirkan bisa merusak hubungan antar-dua negara, Indonesia dan AS. Entah benar atau tidak, dalam Kontrak Karya (KK) tahun 1997 silam, semestinya masalah divestasi 51% kelar dibahas pada Desember 2011. Belakangan pemerintah sempat mengizinkan kembali ekspor konsetrat plus setoran jaminan pembangunan smelter sebesar 120 juta Dollar AS.

Hiruk-pikuk divestasi mulai ramai sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Tambang Mineral dan Batubara yang keluar pada Januari. PP inilah membuat Freeport meradang. Ada  sejumlah persyaratan diubah melalui PP tersebut. Salah satunya adalah perubahan status KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), membangun smelter dan divestasi 51%.

Pemerintah sendiri menjelaskan, divestasi ini dimaksudkan dalam rangka kepemilikan nasional Indonesia untuk stabilitas pendapatan negara. Freeport diwajibkan membangun Smelter yang harus dirampungkan sampai 2022 untuk memperoleh perpanjangan pertama 10 tahun sampai 2031, dan kedua sampai 2041 dari pemerintah, sebagaimana UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

Advertisement

Lantas dimana NU perlu menyikapi? Adalah mendorong Pemerintah agar bersikap tegas terhadap Freeport untuk serius mengikuti aturan yang telah ditetapkan. Jika Pemerintah mencla-mencle, maka divestasi ini bisa saja keluar dari jalurnya.

Jika Freeport tetap membangkang, sudah barang tentu mencoreng kewibawaan hukum negara. Inilah tadi yang dimaksud divestasi saham Freeport berkaitan dengan nilai kebangsaan, kedaulatan sebagai sebuah bangsa. NU juga perlu bersuara agar skema divestasi yang dirancang Pemerintah dan Freeport memberi kontribusi yang berkeadilan untuk kemakmuran masyarakat Papua.

Dengan keadilan ekonomi tersebut, maka secara tidak langsung inilah yang dikatakan sebagai upaya penguatan kawasan yang menjadi consern desain pembangunan Pemerintah. NU di dalam Munas-Konbes perlu meminta kepada pemerintah agar upaya perbaikan lingkungan akibat dampak kegiatan penambangan menjadi poin penting untuk segera ditindaklanjuti. Masalah ini sepertinya belum terdengar.

Di luar divestasi, dalam Munas-Konbes NU masih in– jika kondisi para petani dan nelayan ikut dibahas. Seringkali di lapangan, petani-nelayan kesulitan mengakses permodalan dari lembaga keuangan, bank. Semisal dengan memprioritaskan peningkatan kewirausahaan petani-nelayan.

Advertisement

Sangat mungkin, Presiden menginstruksikan agar dana desa peruntukannya menggerakan roda ekonomi petani-nelayan, selain peningkatan infrastruktur desa. Hal ini dipilih, jika tawaran kemudahan akses permodalan melalui lembaga keuangan masih agak sulit dilakukan, lantaran perlu adanya perubahan peraturan perundang-undangan tentang keuangan dan perbankan.

Masalah utang Pemerintah juga bisa menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan. Kondisi utang pemerintah setiap tahunnya terus bertambah, meskipun rasio utang dengan Produk Domestik Bruto (PDB) menurun alias masih di level aman. Intinya begini, makin rendah rasio, maka semakin membaik utang di Indonesia.

Sekadar diketahui sejak Januari sampai dengan Agustus 2017, total utang Pemerintah mencapai Rp3.825,79 triliun. Kenaikan terjadi pada Juli 2017 sebesar Rp45,81 triliun. Dengan asumsi PDB dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 sebesar Rp13.613 triliun, maka rasio total outstanding utang Indonesia terhadap PDB sebesar 28,1%.

Rasio utang ini di bawah ambang batas maksimal yang ditetapkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60%. Persentasi rasio utang dari PDB 28,1%  jika dibandingkan pada 2016 sebesar 28,3% hanya turun tipis. Sebaliknya jika dibandingkan pada 2015 sebesar 27,4% berarti mengalami kenaikan rasio.

Advertisement

NU perlu mengingatkan kepada Pemerintah agar lebih berhati-hati dan bijak dalam skema utang ini. Kenapa demikian? Karena utang (pinjaman, red) tidak lepas dari desain besar lembaga-lembaga keuangan internasional dalam penguasaan ekonomi. Sekali lagi, ini sebatas usulan isu yang mungkin menarik untuk dibahas dalam Munas-Konbes NU.

Penulis: Sonny, Pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Pamulang.

 

Advertisement

Populer