Connect with us

Oleh: Sonny Majid

PARTAI Keadilan Sejahtera (PKS) telah melakukan roadshow ke sejumlah parpol. Dari hasil kunjungan-kunjungan tersebut, ada yang menarik khususnya ketika para pejabat teras partai yang telah berganti logo tersebut bertemu dengan para petinggi Partai Gerindra. Mereka mengajak partai besutan Prabowo Subianto itu untuk mengusung ide Undang-Undang Perlindungan Ulama.

Sepertinya ide UU tersebut dimaksudkan untuk mengonsolidasi suara warga Muslim, guna menghadapi Pemilu 2024. Dalam konteks mendesain “isu konsolidator” mungkin sah-sah saja. Namanya juga partai politik, ingin mendulang suara sebesar-besarnya untuk perolehan kursi di parlemen.

Justru saya punya pandangan agak berbeda. Usulan UU Perlindungan Ulama justru membuka skenario sekaligus menguatkan PKS sejak awal pendiriannya selalu menggunakan isu-isu agama untuk tujuan politik.

Advertisement

Jika UU tersebut terealisasi, memberikan kelonggaran terhadap ajaran-ajaran agama (khususnya Islam) yang mengarahkan pada radikal negatif. Bisa-bisa ajaran wahabi, takfiri, yang cenderung diasosiasikan oleh organisasi Ikhwanul Muslimin,  Hizbut Tahrir semakin bebas. Tanpa adanya UU itupun, ajaran yang dibawa oleh para penganutnya masih berkeliaran bebas. Terlebih terdukung dengan adanya kemajuan dunia digital.

Ketika komunis oleh kita sudah dicap sebagai bahaya laten, tetap harus diwaspadai, bahaya laten wahabi – takfiri dll, yang selalu menggunakan isu agama untuk memicu konflik horizontal, mengadu domba antar pemeluk agama maupun antar-sesama pemeluk agama.

Memang organisasi yang dikategorikan selalu mengarahkan pada radikal negatif, seperti HTI, FPI atau semacamnya sudah dibubarkan, namun ingat ajaran-ajaran ideologinya masih massif kita temui di tengah masyarakat. PKS saja sampai hari ini masih mengandalkan “liqo-liqo” guna meng-kapitalisasi agama sebagai isu politik sekaligus medan pergerakannya.

Lantas bagaimana dengan fenomena ustad-ustad “dadakan,” belum lagi “ustad mualaf dadakan” yang setiap ceramahnya justru menebar kebencian kepada agama yang sebelumnya dianutnya. Ditambah lagi yang mendadak jadi “agen” dalam penyebaran isu khilafah. Apakah kebencian yang mereka tebarkan harus dilindungi dengan ide UU Perlindungan Ulama ini? Kemudian para artis-artis “hijrah” yang mendadak ustad.

Atau jangan-jangan ide UU Perlindungan Ulama ini adalah bagian dari lanjutan skema isu “kriminalisasi ulama” yang selama ini didengungkan oleh kelompok-kelompok tersebut. Meski sebenarnya saya meyakini masih ada masyarakat Indonesia melihatnya bukan sebagai “kriminalisasi ulama” tapi lebih pada tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh individu, orang, personal yang dilabeli – didesain sebagai “ulama – ustad.”

Advertisement

Justru ke depan menurut saya lebih penting perlu adanya kebijakan yang spesifik tentang pelarangan ideologi “wahabi – takfiri” ataupun semacamnya yang mengarahkan masyarakat menjadi radikal negatif. Layaknya ideologi komunis – sosialis yang sudah menyentuh pada pelarangan ajaran.

Ini kan jadi sedikit rada aneh, di lain sisi mereka masih saja menyuarakan isu kebangkitan komunis – meski sekarang dilakukan sudah agak tertutup, namun di lain sisi ajaran wahabi – takfiri dll justru dicarikan jalannya agar “lebih terbuka.”

Indonesia ini memiliki sejarah panjang mengenai perkembangan masuknya ajaran-ajaran agama. Pihak-pihak yang dimandatkan – dipercaya sebagai tokoh agama, rasanya tidak mungkin di-kriminalisasi.

Gelar “tokoh agama” (ulama – ustad – ajengan – kyai) itu status sosial yang diberikan langsung oleh masyarakat dengan melihat tingkat keilmuan (khususnya ilmu pengetahuan agama) seseorang. Jadi rasanya gak mungkin ada “kriminalisasi ulama.”

Advertisement

Ketika komunis oleh kita sudah dicap sebagai bahaya laten, tetap harus diwaspadai, bahaya laten wahabi – takfiri dll, yang selalu menggunakan isu agama untuk memicu konflik horizontal, mengadu domba antar pemeluk agama maupun antar-sesama pemeluk agama.

Hampir rekam jejak peperangan besar, penyebabnya tak lain karena menggunakan agama sebagai isu dan tujuan politik kekuasaan.

Advertisement

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Populer