Oleh: Veri Muhlis Arifuzzaman
Direktur Utama Konsep Indonesia (Konsepindo) Research & Consulting
Seminggu terakhir kita menyaksikan akrobat silaturhami politik. Tokoh satu dan lainnya saling kunjung dan berangkul. Tak jelas apa hasilnya. Hanya ilusi dan prediksi di media. Pengamat makin banyak, amatannya makin beragam.
Yang paling menyita perhatian tentu adalah posisi Partai Demokrat. Partai ini tak bisa diremehkan. Dia pemenang ke empat atau rangking ke empat. Beda tipis dengan Partai Gerindra, jauh di atas PPP atau PKS dan PAN. Partai Demokrat itu berpengalaman memerintah dua periode berturut-turut, kadernya banyak dan punya sumber daya. Jadi selalu memandang sebelah mata ke partai ini akan membuat kita picak dan picik sekaligus.
Yang lebih menyita perhatian lagi adalah kemana arah partai besutan keluarga Jendral Sarwo Edy Wibowo ini akan berkoalisi. Koalisi Partai Demokrat itu tak bisa disepelekan. Cuma beda tipis kok sama Gerindra. Artinya manuver diam Demokrat harus dibaca sebagai gerakan politik juga. Mungkin karena racun survey dan media sudah meresap, seakan tak ada capres lain yang bisa bertanding selain Jokowi dan Prabowo. Itu sih namanya setting. Bukankah tak ada satupun partai yang bisa mengusung capres cawapres sendiri? Apa artinya?, Berarti tak ada capres yang mendapat dukungan suara partai secara utuh. Tetap harus kerjasama, koalisi. Bahkan pemenang pemilu seperti PDI Perjuangan sekalipun wajib koalisi. Bagaimana dengan Partai Demokrat? Kenapa seolah tak ada yang sengaja datang dan membawa wartawan? Mungkin karena Partai Demokrat terlalu “PeDe” sudah mengusung capres sendiri, sudah menggelar konvensi. Entahlah karena apa, konvensi itu terlihat sepi, jauh dari hiruk-pikuk dan seakan dianggap sebagai pestanya tetangga sebelah bukan pesta warga. Entah ada strategi yang salah atau memang tak menarik minat.
Sekarang saat pengumuman pemenang konvensi sudah dipublis dan Dahlan Iskan yang menang, waktunya sudah terlambat. Dahlan yang baik hati, bagus, berprestasi dan merakyat itu kalah pamor jadi capres, tak mungkin bisa dicalonkan. Partai lain sudah koalisi. Tinggal Golkar yang masih belum pasti. Dahlan mungkin kecewa tapi realitas politik membuatnya harus menerima keadaan dengan lapang dada.
Kembali ke Partai Demokrat, strategi sunyi yang dijalankan SBY memang tepat. Partai ini tak perlu terlalu ngoyo terlihat masih nafsu berkuasa, sudah 10 tahun kok memegang pemerintahan. Bahkan dalam keadaan diobok-obok, Partai ini masih bisa meraih suara 10% tak terlalu terpaut jauh dengan Gerindra yang berjuang berdarah-darah.
Partai Demokrat sekali lagi menunjukan kelasnya sebagai priyayi. Ningrat berderajat dan bermartabat. Tak mau datang merunduk ke Ibu besar, tak sudi pula berkuda di tanah terkenal Hambalang, Partai Demokrat tunjukkan dirinya punya cita rasa dan citra diri.
Dengan modal suara 10% mau diapakan? Itu pertanyaan yang sudah dijawab. Petinggi partai ini mengatakan semua bisa terjadi. Gabung dengan Jokowi, bersama dengan Prabowo atau membentuk Poros Baru bersama Partai Golkar atau diam saja kemudian berada di luar pemerintahan.
Dari empat kemungkinan tersebut, kemungkinan ketiga kini jadi pembicaraan khalayak. Itu karena opsi tersebut sangat realistis. Suara Demokrat dan Golkar sudah cukup untuk bisa mengusung pasangan capres dan cawapres sendiri. Wajar jika kemudian muncul nama pasangan yaitu Aburizal Bakrie (ARB) ARB dan Pramono Edi Wibowo.
Jika betul Poros Baru ini terbentuk mungkinkah bisa mengalahkan yang lain? Namanya juga politik, selalu ada kemungkinan. Paling tidak tiga alasan bisa menjadi dasarnya. Pertama, Golkar Demokrat sama-sama partai besar, berpengalaman dan memiliki jaringan luas. Kedua, ARB dan Pramono Edy juga dianggap memiliki “fulus” hal paling penting dalam kampanye di Nusantara yang amat luas ini. Ketiga, pasangan lain (poros Jokowi maupun poros Prabowo) bukan tanpa kelemahan. Jika kelemahan itu mampu dimanfaatkan oleh kekuatan Poros Baru bukan tidak mungkin akan dikalahkan.
Jadi, kita tunggu saja dalam dua hari ini akan bagaimana akhir ceritanya. Yang jelas, jika tiga pasangan bertanding, sangat mungkin dua putaran. Survey terakhir menunjukan trend Jokowi menurun. Tak ada pasangan yang mencapai 50% plus.
Politik adalah seni kemungkinan. Selamat menikmati kesenian ini.