Connect with us

Opini

Mentalitas Pemberi dan Penerima

Oleh: (@Verimuhlis) H.Veri Muhlis Arifuzzaman

(Ketua Perhimpunan Menata Tangsel dan Alumni Pondok Pesantren Daal El-Qalam)

Bagi penikmat anjuran sedekah, terdapat kalimat jenaka: “tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah”. Kalimat itu menyiratkan seorang pemberi adalah lebih baik dari yang menerima. Ini membuat orang berlomba untuk sebanyak mungkin memberikan yang terbaik. Sungguh sikap mulia, di hadapan Yang Pemurah dan bagi penerima karena diringankan beban dirinya.

Masalahnya, apakah si penerima akan selamanya dalam posisinya? Seperti yang terjadi dalam banyak program kepedulian yang lahir seiring peradaban manusia. Agama Islam adalah agama yang paling getol menempatkan sikap memberi sebagai dasar keagamaan. Bahkan seseorang yang rajin shalat lima waktu, akan divonis pendusta agama jika saja tidak peduli pada sesama yang kesusahan ekonomi, apalagi pada yatim-piatu.

Advertisement

Memberi zakat misalnya. Zakat merupakan salah satu rukun Islam. Dalam al-Qur’an zakat banyak digandengkan dengan perintah shalat. Artinya, shalat itu paralel dengan pembersihan harta, dengan mengeluarkan sebagian harta yang ditentukan oleh syari’ah, baik nishab maupun haul. Zakat sengaja ditetapkan dengan dua fungsi: individual dan sosial.

Secara personal, para muzakki akan melawan dirinya sendiri yang cenderung mencintai harta yang diraih dengan jerih payah. Dan secara komunal akan memberi efek luar biasa bagi penguatan tatanan sosial ekonomi.

Bisa dibayangkan jika tidak ditetapkan syariat zakat, shadaqah, dan sebagainya. Kemana kaum duafa bisa membaca kehadiran Maha Pemurah? Kaum dhuafa merasa dilindungi secara teologis, di samping ditentukan oleh hukum yang dibuat oleh negara.

Hanya saja, mentalitas penerima kadang berpotensi negatif jika pemberian dipahami sebagai suatu keharusan distribusi kepedulian semata. Tidak sedikit para penerima terjebak pada kasih sayang tak berkesudahan sampai usia senja.

Advertisement

Kenyamanan menerima itu melahirkan ketergantungan berlebihan dan membentuk mental yang kontra produktif dengan pemanfaatan potensi ekonomi. Setiap waktu pemberian, para penerima menengadah tangan tanpa berpikir untuk menjadi pemberi di kemudian hari.

Khusus pengelolaan zakat di tanah air, ada upaya menjadikan zakat bermakna bermakna bagi produktifitas seseorang. Pada dekade 1990-an, para pengelola zakat mencanangkan produktifitas dana zakat bagi pembangunan ekonomi ummat.

Seiring waktu, produktifitas zakat mendapat pembenaran di masyarakat, mengingat efek kemandiriannya. Para penerima zakat tidak sedikit yang menjadi pemberi zakat di kemudian hari, setelah usaha yang disuntikkan maju pesat.

Memang ijtihad ini punya resiko normatif. Para ahli hukum Islam telah menempatkan zakat sebagai harta yang dibagikan sekali habis. Zakat merupakan titipan dari kaum berpunya yang hanya didistribusikan sesuai peruntukan berdasarkan al-Qur’an surat At-taubah ayat 60.

Advertisement

Para pengelola zakat bukanlah sebagai pihak yang berhak meminjamkan dana zakat seperti posisi lembaga kreditur lainnya. Pergeseran pengelola zakat ini mengidap persoalan melanggar norma fungsi seorang amil.

Rupanya produktifitas dana zakat itu digemari oleha para aktifis kepedulian sosial. Mereka menginginkan fungsi zakat seperti kail, untuk mengerem tingkat risiko mental menerima. Memberi harus diiringi dengan pendidikan kewirausahaan. Hingga dana zakat seolah dijadikan pinjaman yang bisa diestafetkan untuk para penerima lainnya.

Setelah produktiftas zakat itu berjalan, belakangan mental menerima dengan standar produktifitas itu dialihkan dengan fungsi wakaf chase. Model donasi ini sangat cocok untuk donasi produktif dibandingkan dana zakat yang sedianya diberikan untuk sekali habis. Terutama bagi kalangan yang telah mengalami nestapa kemanusiaan.

Lepas dari pergeseran dana produktif itu, nyata-nyata masyarakat telah mendapatkan manfaatnya. Masyarakat butuh model kepedulian sosial yang pas, yang tidak menjadikan mereka mendapat empati tak berkesudahan setiap kali menerima. Dan tentu saja akan mendapat pelajaran, bahwa kala menerima donasi sosial, harus berpikir keras untuk menjadi pemberi di kemudian kelak.

Advertisement
Banner BlogPartner Backlink.co.id

Populer