Connect with us

Opini

Demokrasi Kita?

Oleh: @Verimuhlis *

Sejak reformasi 1998, perjalanan demokrasi Indonesia telah memasuki babak baru dengan perbaikan seluruh tatanan sistem pemerintahan. Berbagai eksperimentasi telah dilakukan dengan munculnya figur-figur yang dipercaya menjalankan roda kepemimpinan mulai BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Sosilo Bambang Yudhoyono. Namun, perbaikan dan ekperimentasi tersebut seolah menemui kebuntuan terutama dalam menjamin kesejahteraan masyarakat.

Terbukti, pembangunan ekonomi yang memihak pasar belum mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Angka pengangguran cenderung meningkat, kemiskinan bertambah dan perilaku kriminal dapat dijumpai di mana-mana. Begitu pula keutuhan masyarakat semakin terancam oleh merebaknya anarkhisme sosial di ruang publik seperti konflik pilkada, tragedi kekerasan atas nama agama, dan konflik lainnya yang merugikan negara.

Ditambah lagi, pada saat yang sama, praktik politik yang bertentangan dengan prinsip demokrasi ternyata makin subur. Perilaku korupsi, jual beli suara, politisasi ruang publik seolah tak mampu dibendung. Masyarakat pun kecewa sehingga kehilangan kepercayaan terhadap aktor-aktor demokrasi yang duduk di pemerintahan. Pertanyaannya, ada apa dengan demokrasi kita padahal kita yakini sebagai sistem terbaik daripada yang lain?

Advertisement

Itulah pertanyaan dasar yang mengemuka dalam diskusi “Pemilu 2014 dan Tuntutan Demokrasi Kita” yang diselenggarakan Perhimpunan Menata Tangsel di BSD, Rabu (3/12).

Menjawab pertanyaan tersebut, penting sekali memahami sifat demokrasi sendiri yang tidak serta-merta dapat diterapkan di semua bentuk kehidupan tanpa didukung oleh perangkat-perangkat nilai sebagai modal sosial demokrasi. Sebab secara kultural, demokrasi merupakan sebuah sistem yang lahir dari pergulatan panjang masyarakat Eropa yang sarat dengan nilai-nilai khas sehingga tidak dapat diadopsi begitu saja di tempat lain. Butuh modal sosial cukup kuat agar bisa membumi dan berhasil mencapai idealitas bersama.

Sebagaimana dianalisis Francis Fukuyama dalam The Great Disruption; Human Nature and the Reconstitution of Sosial Order, bahwa demokrasi sulit berhasil diterapkan di luar Eropa karena tidak adanya koherensi dengan nilai-nilai yang berlaku. Amerika Serikat efektif mewujudkan demokrasi liberal karena berdiri di atas individualisme dan prinsip kebebasan yang diwarisi oleh budaya protestanisme dan budaya Inggris. Sementara, di Amerika Latin seperti Brazil, Argentina, dan Chile dengan akar budaya katolik serta tradisi imperialis yang mewarisi ketergantungan besar pada sebuah otoritas membuat demokrasi lamban bahkan bermasalah.

Begitu pula di Indonesia. Perjalanan demokrasi dengan dinamika yang tak menentu menjadikan proyek kenegaraan dan kebangsaan belum menemukan titik terang. Seringkali penerapan demokrasi meluluhlantakkan keutuhan nilai-nilai yang menjadi perekat solidaritas sosial. Masyarakat seolah dipaksa mengikuti praktik demokrasi, terutama pada moment pemilu dengan kampanye besar-besaran, tanpa dituntut untuk mengerti substansi dasarnya.

Advertisement

Harus diakui, selama lebih dari satu dekade Indonesia hanya berhasil menerapkan demokrasi prosedural. Hal ini disebabkan paradigma keliru yang mengibaratkan demokrasi sebagai mesin raksasa yang mampu membersihkan semua kotoran, siapa pun pemimpin dan partai politiknya.. Akibatnya, politisasi masyarakat di ruang publik yang mengancam keutuhan nilai sosial sangat kentara. Padahal, demokrasi bukan hanya menuntut partisipasi politik tetapi juga peran kultural yang dinamis dari seluruh masyarakat.

 

Kondisi Masyarakat

            Meski demokrasi datang dari luar, bukan berarti selalu bersifat eksklusif terhadap nilai-nilai kearifan lokal. Sebaliknya, eksternalitas demokrasi harus dicarikan dasarnya sebagai kaki langit agar bisa berjalan efektif sesuai yang diharapkan. Tidak mungkin menerapkan demokrasi di Indonesia dengan berkiblat sepenuhnya kepada Amerika Serikat. Tentu, budaya sebagai ontologi bangsa menjadi satu-satunya modal sosial cukup berharga seraya mengidentifikasi historis-kultural perjalanan bangsa.

Advertisement

            Seperti jamak diketahui, bahwa akar aristokrasi dan imperialisme Belanda telah menyisakan feodalisme yang membuat kerdil pandangan hidup masyarakat. Ketergantungan luar biasa atas penguasa menjadi kultus ketundukan tak berdalih. Hirarki sosial menjadi jembatan bagi individu untuk menyerahkan diri pada kelas sosial di atasnya. Hampir semua tindakan dipilih bukan berdasarkan pertimbangan rasional. Kondisi inilah yang tetap mewarnai mayoritas masyarakat sampai sekarang sehingga masih sulit untuk berpartisipasi dalam sistem demokrasi.

            Demikian pula dalam konsep kepemimpinan. Awalnya, pemimpin bukan dipilih langsung melainkan “dipercaya” atas dasar kharisma dan keahlian yang tidak dipromosikan. Dalam artian, ikatan solidaritas menjadi faktor dominan dalam memutuskan segala sesuatu. Konsep seperti ini masih tetap melekat pada diri masyarakat dalam suatu komunitas sehingga wajar ketika dihadapkan pada mekanisme pemilihan demokratis hanya sekedar ikut-ikutan saja.

Secara keseluruhan, masyarakat Indonesia modern -meminjam istilah Ferdinand Tönnies—terbagi ke dalam dua tipe, yaitu gesellschaft (masyarakat) dan gemeinschaft (komunitas). Masyarakat tipe pertama diikat oleh aturan hukum dan bersifat individualistis yang dapat ditemukan pada masyarakat industri perkotaan. Sedangkan tipe masyarakat kedua lebih diikat oleh nilai-nilai yang berlaku dalam suatu komunitas seperti terdapat pada masyarakat tradisional dengan keintiman budaya cukup tinggi.

Sejatinya, penerapan demokrasi di Indonesia melihat pada dua tipe masyarakat tersebut sehingga tidak terkesan dipaksakan. Menyamakan keduanya berarti mengeneralisir keadaan yang pada gilirannya akan membuat suram masa depan bangsa. Sebab bagaimana pun, demokrasi sangat sulit diterapkan pada masyarakat tipe kedua karena tidak adanya koherensi antar satu sama lain.

Advertisement

Oleh karena itu, Indonesia masih butuh waktu agar bisa mewujudkan demokrasi yang mapan, prosedural maupun substansial, yang mampu mengantarkan bangsa pada kesejahteraan. Diperlukan kesabaran dan keluwesan dalam melangkah hingga akhirnya benar-benar berjalan diametris dengan semangat bangsa (spirit of nations). Tentunya, sikap mengedepankan kepentingan pribadi dengan memanfaatkan kebodohan masyarakat harus ditekan sedemikian rupa.

*H.Veri Muhlis Arifuzzaman (Ketua GEMA ORMAS MKGR Banten dan Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qalam)

Populer